Sunday, December 01, 2013

Riau Rhythm Chambers: Menarik Perhatian Kurator Esplanade Singapura

-- Aristofani Fahmi

"Kami tertarik dengan sajian musik dari Riau Rhythm. Saya berharap kita bisa berkomunikasi lebih lanjut, agar dapat merancang program yang cocok untuk Riau Rhythm di Esplanade. Please send me email about your work, and keep in touch...’’

DEMIKIAN petikan perbincangan singkat antara Licia Sucipto, Programing Officier, Rydwan Anwar Associate Producer Esplanade Theatre Singapore, bersama personil Riau Rhythm Chambers Indonesia (Riau Rhythm) di cafe Komunitas Salihara. Perbincangan santai itu berlangsung selepas pertunjukan di panggung Teater Salihara pada helat Indonesia Performing Arts Market (IPAM) 2013 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 16 November 2013. Sebagaimana diketahui, gedung pertunjukan Teater Esplanade, yang juga disebut gedung durian itu, menjadi salah satu destinasi monumental bagi karya-karya seni yang telah melalui proses kuratorial.

Perbincangan di atas merupakan salah satu tujuan penyelenggaraan IPAM yang sudah digelar sejak 2002 tersebut. Bahwa kelompok kesenian yang memiliki proses kreatif dan karya-karya terbaik Indonesia dapat secara langsung disaksikan oleh kurator, buyer, direktur festival, dan direktur pusat seni (arts centre) yang berasal dari berbagai negara. Delegasi dari luar negeri ini sengaja hadir untuk menyaksikan secara langsung yang kemudian dipertimbangkan untuk dipentaskan di depan audiens mereka. Atau bahkan ada juga yang berpentas keliling dunia. IPAM adalah program yang sangat baik sebab akan membuka jaringan global, terutama bagi kelompok seni atau seniman yang belum memiliki relasi internasional.

IPAM 2013
Penampilan peserta IPAM tahun ini dibagi dalam beberapa kategori, yakni Booth Performance, Showcase Performance, serta  Fringe Performance. Peserta Booth Performance adalah pertunjukan atau atraksi seni pada booth atau sejenis stan expo yang digelar di area Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Sajiannya antara lain, penampilan tari, musik, dan pameran kerajinan alat musik. Untuk penampilan kategori Showcase terpilih tiga koreografer, antara lain: koreografer Fitri Setyaningsih dari Yogyakarta, koreografer Eri Mefri dari Padang, serta koreografer Indra Zubir dari Jakarta. Showcase Performances digelar di panggung teater Salihara dan hanya dapat disaksikan oleh para delegasi luar negeri. Penampilan kategori Fringe menghadirkan 27 peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, menghadirkan karya tari, seni musik, dan teater. Penampilannya disebar di beberapa tempat pertunjukan di Jakarta.

Untuk karya tari dan musik banyak digelar di panggung komunitas Salihara. Untuk pertunjukan seni teater, digelar di panggung Teater Kecil, TIM. Ada juga penampilan musik yang di laksanakan di ruang publik seperti rumah makan dan restoran yang memiliki ruang yang representatif untuk dijadikan tempat pentas. Seperti di rumah makan Payon yang memiliki pendopo sederhana. Di sana ditampilkan karya tari kontemporer oleh koreografer Hartati dari Jakarta, Orkes Keroncong Sinten Remen dari Yogyakarta, serta tari klasik Jawa oleh sanggar Soeryo Sumirat dari Solo.

Selain di panggung Salihara, ada juga peserta Fringe Performance di cafe Red White Jazz Lounge yang memang menjadi salah satu ruang bagi komunitas Jazz. Di venue ini ditampilkan Indra Lesmana, kelompok Jazz Simak Dialog, Nyak Ubiet. Sedangkan Dewa Budjana berpentas di Goethe Haus. Riau Rhythm masuk kategori Fringe Performance yang berpentas di panggung Salihara.

Terbaru dari Riau Rhythm
IPAM 2013 merupakan momentum tepat bagi Riau Rhythm yang beberapa tahun belakangan nyaris vakum. Kesempatan main di panggung IPAM menggairahkan lagi kelompok ini dalam berkarya. Menurut produser Riau Rhythm, Hari Sandra dari Malay Music Institute, sudah lama Riau tidak mengirimkan tim musik pada event-event seni  nasional. ‘’Selama ini musik dari Riau selalu menjadi pengiring untuk event tari,’’ tutur Hari Sandra seusai pentas. Persoalan terbesarnya adalah pembiayaan. Riau Rhythm akhirnya dapat berangkat mengikuti IPAM, setelah mendapat bantuan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Panggung Teater Salihara merupakan salah satu panggung impian bagi kesenian yang memiliki kinerja serius, tidak terkecuali Riau Rhythm. Perlu digaris bawahi kata ‘serius’ dalam hal ini. Serius sebab bukan hanya penampil yang menyuguhkan karya berkualitas, tapi juga panggung dan penontonnya. Panggung Salihara memang dibangun dengan kelengkapan artistik maksimal dengan tenaga teknisi yang profesional. Tata lampu detail, serta sound system yang sempurna (precise), menjadikan panggung Salihara sebagai salah satu panggung favorit. Demikian juga dengan penonton. Dengan ‘kualitas Salihara’ mereka yang hadir sengaja datang untuk melihat/mencari kualitas. Sepertinya iklim apresiasi sudah terbangun maksimal, sebab penonton betul-betul menyimak dengan seksama pertunjukan tanpa ada suara-suara yang dapat mengganggu jalannya pertunjukan.Inilah suasana apresiasi yang ideal.

Riau Rhythm sendiri mengusung karya-karya terbaru berjumlah empat komposisi musik berdurasi sekitar 50 menit. Karya terbaru Riau Rhythm kali ini banyak terinspirasi dari nyanyian-nyanyian tradisi Riau Daratan, misalnya ‘’Nandung si Talang’’. Karya ini mengadaptasi melodi suling sederhana yang biasanya menjadi musik kelengkapan upacara suku Talang Mamak di kabupaten Indragiri Hulu. Melodi sederhana ini dimainkan pada flute oleh Itok, biola oleh Ogik Satriani, dan cello oleh Cendra dan Habib. Gambus yang dimainkan oleh Violano dan perkusioleh Tito Aldila ditempatkan sebagai instrumen yang membangun ruang dimana melodi dan ritme membentuk elaborasi musikal. Hal ini membuat melodi sederhana Talang Mamak berubah menjadi lebih kompleks.

Sedangkan karya kedua ‘’Botimang-Hoyak Tacobuar’’, merupakan penggalan melodi dari karya sebelumnya dalam album Riau Rhythm dalam format combo band. Namun kali ini digarap dengan beragam jenis musik tradisi lainnya seperti randai, serta nyanyian Batimang. Nyanyian untuk menidurkan anak ini digarap sangat tenang dengan harmoni melodi yang indah. Tidak ada gemuruh perkusi di sini. Kali ini ‘’Hoyak Tacobuar’’ menggunakan instrumen akustik-tradisi yang diambil dari kabupaten Kampar-Riau.

Karya berikutnya berjudul ‘’Dentang-Denting-Dentum’’ juga menampilkan hal yang berbeda. Karya yang menggunakan 3 buah gambus sebagai instrumen utama ini dikemas segar dan ringan sekaligus rumit dalam detail musikal. Kesan segar didapatkan ketika karya ini dimulai, dimana para pemain mencairkan suasana tegang yang tercipta dari sajian karya sebelumnya. Karya ini dimulai oleh melodi acak, seolah seluruh personel rebutan untuk memulai. Namun, salah satu pemain gambus, Ogik Satriani, berubah menjadi sosok yang dominan. Merasa tugasnyalah yang memulai. Suasana chaos ini secara musikal dapat ditafsirkan menjadi prolog dari karya yang akan dimainkan. Prolog tersebut menjadi abstraksi dari inti karya ‘’Dentang-Denting-Dentum’’, di mana di dalamnya didominasi oleh bentuk-bentuk improvisasi solo oleh tiga instrumen gambus. Teknik improvisasi merupakan ciri utama dalam musik Jazz, dimana beberapa pemain menyajikan melodi bebas namun terikat oleh bentuk dalam susunan akor. Improvisasi merupakan susunan melodi yang lahir dari penguasaan teknik instrumen dan imajinasi musikal pemainnya. Improvisasi mengabarkan virtuositas (kemampuan mapan) pemainnya: sejauh mana daya musikalitas (skill) pemain yang berimprovisasi. Ini bukan hal baru dalam penggarapan musik tradisi, namun setidaknya Riau Rhythm memberikan pilihan lain pada pendengarnya.

Karya ‘’Lukah Gila’’, sangat tepat menjadi sajian penutup. Karya ini dikemas riuh, namun masih menghadirkan detai bunyi. Teknik unison (seluruh instrumen memainkan melodi yang sama) dengan tempo yang cepat menjadi hal utama. Melodi yang dimainkan merupakan tafsiran melodi dari teknik tingkah dalam calempong Kampar. Interval instrumen calempong tidak persis sama dengan interval musik barat. Namun lebih fleksibel ketika dimainkan bersama dengan instrument biola, gambus, dan cello, sebab nada yang dihasilkan berasal dari media tanpa pembatas (fretless). Teknik unison menjadi sedikit sulit karena dimainkan dalam ritme yang berubah-ubah antara ritme genap dan ganjil.

Penampilan Riau Rhythm ini sedikit berbeda dengan hadirnya nyanyian-nyanyian langka dari daratan Riau. Langka sebab tidak banyak yang mau ataupun mampu menyanyikannya. Secara teknis, teknik head voice yang jernih menjadi tuntutan utama. Beruntung bagi Riau Rhythm memiliki vokalis Giring Fitrah yang memenuhi persyaratan tersebut. Giring dapat dengan cepat beradaptasi dengan komposisi karya sesuai tuntutan komposer.Nyanyian Giring tidak dilantunkan dengan mengada-ada. Giring lahir dari kebudayaan nyanyian-nyanyian tersebut berkembang. Terpenting dari segalanya, Giring mau belajar.

PR Besar Riau Rhythm
Selain perbincangan antara kurator Esplanade di atas, ada juga komentar ringan dari beberapa kalangan. Penyair dan founder Komunitas Salihara, Goenawan Muhamad, misalnya. Memberikan respon pendek dengan kalimat, ‘’garapan-tradisi yang menarik’’, kepada penulis. Selain itu, respon seperti, ‘suka’, ‘menarik’, ‘keren’ juga terlontar dari penonton. Mungkin mereka basa-basi sebab sebagian dari mereka adalah kenal dengan personil Riau Rhythm. Namun inilah pekerjaan besar bagi Riau Rhythm dalam menjawab tantangan. Tantangan terhadap eksistensi proses kekaryaan. Sebagian besar kelompok seni (musik) tidak lama bertahan karena digerus zaman. Terkalahkan oleh kebutuhan di luar artistik, bernama uang. Sehingga eksplorasi artistiknya menjadi dangkal, untuk kebutuhan kompetisi seni yang bersifat instan.

Tentang uang, sebagian besarorang akan mengatakan, ...ah, seni juga butuh uang... Tepat! Untuk itu diperlukan system managerial yang baik. Di mana segalanya tertata rapi, dan dikerjakan oleh orang lain, bukan personil yang main di panggung. Riau Rhythm sudah memiliki potensi kekaryaan yang memadai, komposer dengan pengalaman yang mumpuni serta personil dengan kemampuan bagus dan disiplin latihan yang tinggi. Apa lagi saat ini ditangani oleh Hari Sandra, manager dengan jaringan yang luas. Jangan menunda! Ada yang menunggu. n

Aristofani Fahmi, musisi dan penikmat seni yang rajin menonton seni pertunjukan. Selain itu rajin juga menulis esai, terutama mengkaji seni musik.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Desember 2013

No comments: