-- Aswin Rizal Harahap
SINRILI’ telah membawa Syarifuddin Daeng Tutu melanglang buana. Ia menghibur sambil menyampaikan petuah bijak leluhur dalam sastra bertutur khas budaya Makassar, Sulawesi Selatan. Meskipun sarat pesan moral, kesan serius sirna di balik kejenakaan ayah empat anak ini.
Sinrili’ disampaikan sambil memainkan alat musik gesek, seperti pada biola. Alat musik yang dimainkan sambil duduk bersila ini terbuat dari kayu pohon nangka, kulit kambing, dan dibentangi tiga senar berbahan kuningan. Alat untuk menggesek dibuat dari ekor kuda. Senar dan ekor kuda yang saling bersentuhan menghasilkan bunyi mirip rebab.
Suara Daeng Tutu menyatu dalam lantunan irama musik yang monoton. Ia terdengar seperti orang yang berbicara diiringi musik ketimbang bernyanyi. Sinrili’ biasa dia sampaikan dalam hajatan, seperti perkawinan dan syukuran rumah baru.
Banyak hal dia tuturkan saat menyampaikan sinrili’. Isinya dari falsafah bijak yang diajarkan leluhur hingga mengkritisi kondisi terkini. Kritik sah saja disampaikan lewat sinrili’ mengingat pada masa Kerajaan Gowa empat abad silam, seni bertutur itu menjadi media komunikasi antara raja dan rakyat.
Daeng Tutu memadukan nasihat dan kritik dalam sinrili’. Metode penyampaian yang dulu hanya menggunakan bahasa Bugis-Makassar ia selingi dengan bahasa Indonesia. Ia ingin para pendengar memahami substansi informasi yang disampaikan. Maklum, Daeng Tutu sering membawakan sinrili’ di depan para pejabat yang umumnya tak mengerti bahasa Bugis-Makassar.
Dia juga berani mengubah gaya tradisional para pembawa sinrili’ sebelumnya yang cenderung kaku dan serius. Ia mengolaborasi penyampaian informasi dan kritik lewat gurauan yang kerap membuat penonton tertawa. Inovasi itu bisa mencairkan suasana acara yang dibalut formal sekalipun.
”Sinrili’ bukan sesuatu yang sakral sehingga bisa dilakukan dengan berbagai cara. Jauh lebih penting para hadirin mengerti pesan yang disampaikan,” ujarnya.
Ciri khas itu belakangan membawa berkah bagi Daeng Tutu. Ia kerap dipercaya menjadi pembawa acara. Dalam peresmian kantor baru Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar beberapa waktu lalu, misalnya, ia membawakan acara dengan sinrili’. Acara itu berlangsung jauh dari kesan normatif. Sikapnya yang sesekali usil mengkritisi kebijakan pemerintah mengundang tawa hadirin, termasuk pejabat publik.
Pengaruh kakak
Kemampuan bermain sinrili’ Daeng Tutu dipengaruhi kakaknya, mendiang Sirajuddin Daeng Bantang, maestro sinrili’ yang meninggal dunia 2010. Saat masih duduk di bangku SMP, Daeng Tutu sering menemani sang kakak mementaskan sinrili’.
”Saya mulai tertarik sinrili’ dan selalu meminjam alat kakak untuk berlatih,” ujarnya.
Ia kian bersemangat menguasai sinrili’ karena pamannya, Syamsuddin Daeng Sirua, juga andal memainkan alat musik gesek itu. Lingkungan ini mendukung langkah Daeng Tutu untuk mempelajari sinrili’ otodidak. Ia lantas bergabung dengan sanggar seni yang didirikan kakaknya di Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa, pada 1980.
Saat ditetapkan menjadi pegawai negeri sipil tahun 1983, ia bertugas sebagai staf media pertunjukan rakyat tradisional di Departemen Penerangan Gowa. Kondisi ini memungkinkannya berkiprah lebih jauh mendalami sinrili’.
Perpaduannya dengan Sirajuddin Daeng Bantang menghasilkan berbagai terobosan baru dalam pementasan sinrili’. Tahun 1988, Daeng Tutu tampil dalam acara Asian Art Festival di Hongkong. Ia mementaskan sinrili’ bersama pertunjukan tari dan musik kontemporer.
Lima tahun berselang dalam pertemuan teater se-Indonesia di Makassar, ia menyuguhkan sinrili’ yang berkisah tentang Karaeng Pattingalloang, cendekiawan Kerajaan Gowa. Pertunjukan itu berlangsung meriah karena disertai drama yang mengisahkan kiprah Karaeng Pattingalloang.
Keberaniannya mengemas sinrili’ secara modern mengundang perhatian seniman di Eropa. Pada tahun yang sama, ia diminta menyuguhkan sinrili’ di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Swiss, Perancis, dan Austria. Di belahan Benua Eropa itu, Daeng Tutu dan kawan-kawan mengenang kehebatan Karaeng Pattingalloang yang pada pertengahan abad ke-17 telah menguasai lima bahasa.
Tahun 2005, Daeng Tutu tampil di Capetown, Afrika Selatan, tempat Syekh Yusuf dimakamkan. Di sini ia menceritakan sosok Syekh Yusuf dan kisah perjalanannya menyebarkan agama Islam dari Gowa hingga mancanegara.
Di kancah nasional, kiprah Daeng Tutu dalam memperkenalkan sinrili’ mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Ia kerap didaulat artis Nungki Kusumastuti untuk berbicara mengenai sinrili’ di laboratorium tari Institut Kesenian Jakarta. Saat berbicara di hadapan para mahasiswa, ia sering mengungkapkan keprihatinannya terhadap kelangsungan sinrili’.
Dari 20 anak muda binaannya di sanggar seni Sirajuddin, hanya segelintir yang berminat menekuni sinrili’. ”Mereka pun sekadar bisa memainkan sinrili’, tetapi tidak bisa sambil bertutur. Jika akhirnya terbentur kendala bertutur, biasanya mereka malas melanjutkan (sinrili’),” kata Daeng Tutu.
Itulah mengapa saat ini sinrili’ terancam punah. Apalagi, masyarakat pada umumnya cenderung lebih senang menggunakan jasa organ tunggal dalam hajatan mereka. Proses regenerasi yang terus diperjuangkan Daeng Tutu hingga kini belum terwujud.
”Buat saya, ini menjadi tantangan terbesar. Saya berharap salah satu anak saya mau menekuni sinrili’,” ujar lelaki yang menjadi satu-satunya pasinrili’ (pemain sinrili’) aktif di Sulsel.
Tantangannya semakin berat karena pemerintah kurang berkomitmen terhadap pelestarian kebudayaan tradisional. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah tak pernah lagi menyelenggarakan festival budaya secara rutin.
”Kesenian tradisional kian terasing di rumahnya sendiri. Generasi muda terpukau dengan pertunjukan yang semata mengedepankan estetika dibandingkan etika,” ungkap pria yang berencana tetap menjadi pasinrili’ setelah pensiun nanti.
Syarifuddin Daeng Tutu
• Lahir: Sungguminasa, Gowa, 28 April 1955 • Istri: Wahidah Daeng Cora • Anak: Nur Adniasari, Nur Syamsi, Nur Fatimah, Malik Abdul Azis • Pekerjaan:- Staf Departemen Penerangan Kabupaten Gowa, 1983-2000- Staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gowa, 2000-kini- Pengisi materi di Laboratorium Tari Institut Kesenian Jakarta, 2000-kini • Pementasan antara lain:- Asian Art Festival di Hongkong, 1988- Temu Teater se-Indonesia di Makassar, 1993- Tur Keliling Eropa di Jerman, Swiss, Austria, Perancis, 1993- Mencari keberadaan etnis Makassar dalam Suku Aborigin di Australia, 1996- Tur ke Capetown, Afrika Selatan, 2005
Sumber: Kompas, Kamis, 24 Maret 2011
No comments:
Post a Comment