Thursday, January 15, 2009

Lintas Budaya: "Cuiho", Riwayatmu Dulu

-- Irwan Julianto

Judul di atas mengutip dua kata dalam lirik lagu ”Bengawan Solo” karya Gesang. Bedanya, tulisan ini tak ingin meroman- tisasi keindahan dan kekayaan warisan buda- ya Tionghoa peranakan di Indonesia. Tujuannya adalah refleksi soal akulturasi, bukan glorifikasi masa lalu.

Aneka jenis lemari cuiho khas Tionghoa peranakan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (14/1). Lemari buatan akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tersebut biasa digunakan untuk bekal bagi pengantin baru. Pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan yang berlangsung 15-25 Januari 2009 ini sekaligus menyambut Tahun Baru Imlek 2560 yang jatuh pada 26 Januari 2009. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images)

Tiga penari masih asyik berlatih di bawah asuhan Tan Gwan Hien (62) di ruang depan Gedung Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di Solo, Jawa Tengah, Selasa (13/1). Ketiga orang itu, Erik Nyoo dan Erynthus Nyoo, serta seorang perempuan berkulit putih, Thio Giok Khoen, memakai sampur kuning di pinggang.

Ketiganya bersama Tan Yoe Lien dan Hana Kho dari kelompok Wayang Orang PMS akan tampil dalam fragmen ”Rahwono Gandrung” di Bentara Budaya Jakarta 15 Januari malam ini, membuka Pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan yang akan berlangsung hingga 25 Januari nanti.

Kelompok Wayang Orang (WO) PMS sudah ada sejak tahun 1958 di bawah Bidang Kebudayaan PMS. Cikal bakal PMS adalah Chuan Min Kung Hui yang terbentuk 1 April 1932 dan merupakan gabungan dari enam organisasi sosial warga keturunan etnis Tionghoa di Kota Solo. Organisasi-organisasi itu mulai muncul pada tahun 1920-an. Pada tanggal 1 Oktober 1959, Cuan Min Kung Hui berganti nama menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta.

PMS memilih bergerak di bidang sosial, budaya, olahraga, dan pendidikan nirlaba. Meski awalnya merupakan gabungan warga keturunan etnis Tionghoa, dalam perjalanannya keanggotaan PMS bersifat terbuka untuk semua anggota masyarakat Surakarta tanpa memperhatikan latar belakang suku, ras, agama, dan kedudukan sosial.

Di bidang kebudayaan, PMS justru lebih banyak menyelenggarakan kesenian tradisional Jawa, seperti karawitan, wayang orang, dan ketoprak. Ketua Bidang Kebudayaan PMS Idayanti Willy Santosa alias Tjan Hing Nio mengatakan, kelompok wayang orang mulai terbentuk tahun 1958. Saat itu hampir seluruhnya beranggotakan keturunan Tionghoa.

”Sekarang yang keturunan Tionghoa hanya tinggal 35-an orang. Itu pun yang 20 orang sudah tua-tua. Sedangkan orang Jawa-nya ada 60-an orang. Semakin lama peminatnya terutama dari orang muda semakin sedikit," kata Idayanti di sela-sela memberi pembekalan kepada para penari.

”Kami ingin nguri-uri kebudayaan di sini karena budaya itu bagian dari diri kami karena kami lahir dan hidup di sini,” katanya.

Dalam pandangan Tan Gwan Hien (62), pelatih tari di PMS, pembauran antaretnis sangat efektif dilakukan melalui kesenian. ”Sebenarnya pembauran terjadi sejak dulu. Hanya karena kemudian dimunculkan istilah pribumi dan nonpribumi, malah terjadi pengotak-kotakan,” katanya.

Selain grup PMS, acara nanti malam akan dimeriahkan oleh grup gambang kromong ”Irama Betawi” dari Tangerang. Tidak banyak orang tahu bahwa gambang kromong adalah sebuah musik akulturasi berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa peranakan sebelum menjadi salah satu ciri khas budaya Betawi.

Hadiah perkawinan

Menu utama pameran adalah menyajikan aneka jenis mebel dan asesoris yang digunakan kelompok masyarakat Tionghoa peranakan di negeri ini untuk periode pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1960an. Salah satu yang menonjol pada mebel Tionghoa peranakan di Nusantara yang kemudian merdeka menjadi Indonesia adalah lemari cuiho. Bentuk, bahan dan ornamen lemari cuiho yang kini masih dikoleksi di Indonesia berbeda dengan lemari sejenis di rumah- rumah orang Tionghoa Teluk (Penang, Malaka, dan Singapura).

Istilah cuiho, menurut Musa Jonatan dalam buku Peranakan Tionghoa Indonesia - Sebuah Perjalanan Budaya (2009) yang akan diluncurkan pada acara pembukaan pameran, berasal dari bahasa Tionghoa, zihao, dalam istilah Hokkian disebut jiho, artinya merek atau nama toko. Di Jawa Barat ada perusahaan pembuat lemari, di antarnya Goan Jiho dan Tian Jiho. Jadi cuiho bukanlah berarti lemari, melainkan kependekan dari nama toko/perusahaan yang menjual atau menerima pesanan pembuatan mebel kayu bergaya peranakan Tionghoa pada dua-tiga dekade akhir abad ke-19 hingga dua dekade awal abad ke-20.

Lemari cuiho lazimnya dijadikan hadiah perkawinan dari orangtua kepada anak-anak mereka yang menikah. Sejak tahun 1920an tradisi ini digantikan dengan mebel-mebel bergaya Eropa. Lemari-lemari cuiho berukir tembus tiga dimensi berprada yang fotonya terpampang di depan adalah puncak karya pembuatan lemari cuiho di bumi Nusantara. Apalagi yang dinding samping kiri-kanannya juga diukir, yang di Indonesia kini nyaris tak ada lagi pemiliknya. Cui- ho pakaian yang lebih primitif panel atasnya hanya dilukis tangan. Harga per buah lemari cuiho berkisar dari mulai beberapa juta hingga lebih dari dua ratus juta rupiah.

Pada pameran di BBJ, Anda dapat menyaksikan aneka jenis lemari cuiho, mulai dari yang fungsinya untuk pakaian, pajangan, dan parfum, yang terdiri atas tiga susun (di Malaysia dan Singapura hanya dua susun), hingga untuk obat (dua susun) dan untuk dapur, dengan ciri khas dua panel ukiran di depan berbentuk lingkaran dan berkawat kasa.

Bahan yang digunakan untuk pembuatan cuiho umumnya adalah kayu jati dan kayu kuning (tembesu). Laci-laci dan panel lemari di bagian bawah banyak yang memanfaatkan keindahan corak kayu trembalu dan kayu akar ambon atau cendrana (burl- wood).

Budaya Tionghoa peranakan di Indonesia adalah hasil akulturasi belasan abad yang unik dan amat kaya, yang lebih bera- gam dibanding ekspresi budaya orang Tionghoa di Malaysia dan Singapura. Warisan budaya etnis Tionghoa peranakan di Indonesia, terutama kulinernya menurut Nono Anwar Makarim, telah ikut memperkaya dan diperkaya oleh budaya-budaya lokal. (eki)

Sumber: Kompas, Kamis, 15 Januari 2009

2 comments:

market value from ASP & Rekan said...

Dulu, itu sekarang langka dan dicari orang kan? http://pangaloan.blogspot.com/

Buku Lawas said...

aku punya lemari ini , asli sayang kondisinya udah gak bagus..maklum termakan usia dan waktu.salam http://antik-lawas.blogspot.com