-- Mushthafa*
ANCAMAN kepunahan bahasa ibu —atau yang populer disebut bahasa daerah— terjadi di seluruh Nusantara. Agustus lalu, Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam seminar ‘’Empowering Local Language Through ICT’’ di Jakarta mengungkapkan bahwa dari 742 bahasa daerah di Indonesia, 169 bahasa terancam punah karena berpenutur kurang dari 500 orang. Hanya 13 bahasa saja yang penuturnya lebih dari satu juta orang.
Menghadapi masalah ini, masyarakat lokal di berbagai penjuru Nusantara memberi perhatian —di antaranya— dengan menggelar kongres bahasa daerah. September 2006 di Semarang diselenggarakan Kongres Bahasa Jawa IV. November 2007 di Bandar Lampung dilangsungkan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat. Di penghujung 2008, tepatnya 15-19 Desember lalu, di Pamekasan digelar Kongres Bahasa Madura.
Peta persoalan yang dihadapi bahasa ibu terkait dengan ancaman kepunahannya saat ini di antaranya berakar pada problem dokumentasi, fungsi dan sosialisasi, serta kelembagaan. Dokumentasi karya berbahasa ibu kurang digalakkan, sementara orientasi fungsionalnya juga masih penuh tanda tanya, dan sulit pula menemukan lembaga sosial formal maupun nonformal yang secara konsisten mengawal pelestarian bahasa ibu.
Dalam konteks bahasa Madura, tak dapat dimungkiri bahwa pesantren hingga kini menjadi salah satu lembaga yang turut merawat pelestarian bahasa Madura. Selain digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dalam pengajian kitab-kitab kuning, di pesantren-pesantren tradisional bahasa Madura dipandang sebagai simbol tatakrama pergaulan sehari-hari. Akan tetapi, peran pesantren dalam melestarikan bahasa Madura saat ini mulai terancam karena transformasi kelembagaan yang dialami pesantren. Banyak pesantren tradisional yang mulai mengadopsi sistem pendidikan formal dan perlahan mulai meninggalkan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar keilmuan dan bahasa pergaulan.
Pada titik inilah kita kemudian dapat merasakan tarik-menarik, atau mungkin ruang negosiasi, antara bahasa ibu dan bahasa nasional. Di satu sisi, seperti diuraikan oleh Soedjatmoko (1984: 135-139), di era pembangunan memaknai kemerdekaan, bahasa Indonesia telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa kenegaraan, bahasa perantara dalam pergaulan antardaerah, serta menjadi wadah tunggal informasi untuk kemajuan dan pembangunan. Transformasi sosial, seperti meningkatnya mobilitas horisontal dan vertikal, proses urbanisasi serta proses modernisasi, telah memperluas penggunaan bahasa Indonesia.
Di sisi yang lain, bahasa ibu tak mampu menunjukkan secara jelas fungsi praktis dan progresif yang signifikan, terutama dalam iklim perubahan sosial yang begitu cepat dan semakin mendunia. Bahasa ibu tampak ‘’hanya’’ memiliki fungsi sebagai penjaga nilai-nilai kebudayaan lokal. Jadi, semacam fungsi konservasi nilai saja. Itu pun di tengah gerusan zaman yang menantang pendefinisian ulang nilai-nilai kebudayaan lokal tersebut berhadapan dengan nilai dan peradaban global.
Dengan kondisi demikian, tak heran jika berbagai lembaga kultural di masyarakat seperti pesantren, atau juga seni tradisi, yang sebelumnya —mungkin tanpa disadari banyak pihak— cukup banyak berpartisipasi dan berkontribusi merawat bahasa Madura secara perlahan mulai berkurang peranannya. Kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap sistem pendidikan pesantren untuk juga ikut mengakomodasi ‘’sistem negara’’ atau untuk menjadi lebih ‘’modern’’ secara dilematis menggiring berkurangnya porsi penggunaan bahasa Madura di pesantren sebagai bahasa keilmuan dan bahasa pergaulan. Sementara itu, seni tradisi semakin kurang diminati, karena desakan kultur global yang berciri monolitik. Politik kebudayaan nasional ternyata berdampak pada peminggiran peran bahasa ibu.
Sampai di sini kita melihat bahwa perhatian dan sikap negara untuk memosisikan bahasa ibu dalam kaitannya dengan bahasa nasional ternyata masih belum cukup jelas. Bahasa ibu tak dipandang sebagai bagian dari masalah nasional. Padahal, daya tahan dan kelestarian bahasa ibu tak cukup hanya dipikirkan dan diselesaikan oleh masyarakat penggunanya saja. Untuk itu, strategi dan politik kebudayaan (nasional) yang akan dikembangkan dengan kenyataan masyarakat yang menggunakan dwibahasa ini (bahasa ibu dan bahasa nasional) sudah semestinya dipertegas.
Di wilayah manakah bahasa ibu akan dikembangkan dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari? Siapa dan langkah apa saja yang perlu dilakukan di lapangan? Mungkinkah memperkuat kembali bahasa ibu melalui momen-momen kultural yang secara tradisional dan popular diselenggarakan masyarakat —yang belakangan cenderung digantikan dengan bahasa nasional? Dengan mengeksplorasi pertanyaan semacam ini, nantinya mungkin akan lebih jelas pula jalan keluar terkait dengan pranata sosio-kultural yang secara khusus bergiat melestarikan bahasa ibu tersebut. Artinya, rekomendasi pengembangan dan pembinaan bahasa ibu akan menemukan jangkar kulturalnya dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu contoh kecil dari dialektika bahasa ibu dan politik kebudayaan nasional dapat diangkat dari kasus penyerapan istilah asing. Akhmad Baihaqie, seorang lulusan Universitas Al-Azhar Kairo jurusan Bahasa dan Sastra Arab, dalam salah satu tulisannya mempertanyakan mengapa bahasa Indonesia lebih banyak menyerap istilah asing dari bahasa Inggris dan Arab. Mengapa tidak memanfaatkan ratusan bahasa daerah sebagai sumber kata serapan, seperti yang dilakukan Majma Lughah al-Arabiyah (Pusat Bahasa Arab) yang cenderung menghidupkan kembali kosakata arkais dalam khazanah kebahasaan yang mereka miliki untuk digunakan dan dipopulerkan kembali? Politik bahasa seperti dalam contoh ini dapat menjadi gambaran tentang negosiasi antara bahasa ibu dan bahasa nasional.
Perumusan strategi budaya untuk melestarikan kekayaan lokal bahasa ibu ini tampaknya akan lebih baik jika dimulai dari bawah, dari masyarakat penutur bahasa ibu itu sendiri, dengan pelaku-pelaku yang bergiat di lembaga formal maupun nonformal yang bersentuhan langsung dengan pelestarian bahasa ibu. Sepertinya, masalah politik dan strategi kebudayaan bahasa ibu menjadi salah satu agenda strategis yang penting dibicarakan tidak saja oleh para pemerhati bahasa dan budaya daerah, tetapi oleh elemen bangsa yang lebih luas. Wallahualam.
* Mushthafa, Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 18 Januari 2009
No comments:
Post a Comment