-- Ilham Khoiri & Budi Suwarna
SIAPAKAH orang-orang yang meramaikan ”booming” penulisan fiksi sekarang ini? Sebagian berasal dari kalangan yang tak terduga: buruh, koki, ibu rumah tangga, atau TKW. Lewat tulisan, mereka mengekspresikan diri sekaligus melakukan lompatan sosial.
Memilih buku sastra di MP Bookstore, Jakarta. (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images)
Simaklah perjalanan tenaga kerja wanita (TKW) bernama Siti Mariyam Ghozali (40), kuli panggul Sakti Wibowo (30), koki hotel Nurhadiyansyah (26), dan ibu rumah tangga Sinta Yudisia (34). Orang-orang dengan bermacam profesi yang dulu dianggap jarang bersentuhan dengan dunia sastra ternyata berhasil menggembleng diri menjadi penulis, kemudian hidup dari karya tulisnya.
Siti berasal dari Desa Lipursari, Laksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Setelah empat kios yang menjual barang kelontong dan burung berkicau yang dikelolanya terbakar, lalu bercerai dengan suami, dan banyak utang, perempuan itu nekat mengadu nasib jadi TKW tahun 1995. Selama delapan tahun dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong dan Taiwan.
Menjelang tidur, Siti menuliskan keluh kesah, lantas mengirimkannya ke blog di internet. Saat pulang ke Tanah Air, tahun 2005, banyak teman memotivasinya untuk menerbitkan catatan itu. ”Awalnya, saya ragu. Mana ada TKW buat buku,” katanya.
Akhirnya dia mengirim juga kumpulan 22 cerpen berjudul Geliat Sang Kung Yan ke penerbit, tetapi masih tertahan. Tak kapok, Siti menulis dan mengirimkan novel Ranting Sakura, dan ternyata langsung diterbitkan Pilar Media di Yogyakarta, tahun 2006. Belakangan, Geliat Sang Kung Yan dicetak juga.
Kini dia telah menerbitkan lima buku, sebagian mengisahkan liku-liku kehidupan TKW. Siti yang hanya lulusan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) di Wonosobo seakan lahir kembali dalam wujud penulis terkenal dengan nama pena Maria Bo Niok. ”Sekarang saya malah sering diundang diskusi dan menyemangati para TKW menulis,” kata Siti.
Perubahan hidup akibat menulis juga dialami Sakti. Lulusan SMEA Negeri Wonogiri itu pernah mencari kerja di Jakarta, tetapi malah tertipu dan kehilangan semua ijazah sekolahnya. Dia pergi ke Solo, untuk kerja serabutan sebagai kuli panggul di pabrik roti, tukang gali pipa, dan buruh bangunan selama enam tahun.
Di sela-sela kerja dia berlatih menulis yang ia sukai sejak sekolah SMEA. ”Saya terus menantang sampai mana batas kemampuan menulis saya,” tambahnya.
”Ketika menjadi kuli galian, saya bawa kertas dan pulpen. Saat orang lain tidur pada jam istirahat, saya menulis cerpen. Malam hingga dini hari tulisan tangan itu saya salin dengan mesin ketik pinjaman,” kata Sakti.
Beberapa cerpennya dimuat di koran, bahkan salah satunya menyabet penghargaan cerpen terbaik di majalah Annida, Jakarta, pada tahun 2001. Semakin percaya diri, Sakti menerbitkan kumpulan cerpen Pelangi Hati (tahun 2002), lalu novel Merpati Ingkar Janji (2002), dan Novel Tanah Retak (2003). Begitu produktifnya, pemuda kalem ini telah menghasilkan 40 buku, 15 di antaranya novel.
Begitu buku pertama terbit, hidupnya berubah. Dia diterima bekerja sebagai editor di Syaamil, Bandung, lalu pindah ke Penerbit Dzikrul Hakim. Tahun 2007 Sakti memutuskan menjadi penulis lepas dan dipercaya menggarap skenario komedi dan reality show, seperti Misteri Ilahi (TPI) dan Kamera Kafe (Metro TV).
”Sekarang penghasilan dari menulis saya andalkan untuk menghidupi istri dan dua anak,” kata Sakti yang kini tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur.
Nurhadiyansyah juga menapaki dunia kepenulisan. Begitu lulus SMA di Depok, Jawa Barat, pemuda ini bekerja sebagai koki di hotel dan kafe di Jakarta. Tahun 2002 dia diberi buku Sebuah Pertanyaan untuk Cinta karya Seno Gumira Ajidarma. Tertarik, dia membeli buku-buku fiksi lain dan belajar menulis.
Tahun 2005 dia bergabung dengan Forum Lingkar Pena Depok. Disuntik semangat oleh teman-temannya, dia menulis cerpen Mengejar Kupu-kupu. Merasa lebih cocok jadi penulis, Hadi lantas berhenti jadi koki dan terjun total ke dalam dunia kepenulisan tahun 2007. Sambil bekerja sebagai editor di Lingkar Pena Publishing House, dia menerbitkan novelnya, Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (2008).
Lain lagi dengan cerita Sinta Yudisia. Ibu rumah tangga dengan empat anak ini terjun menulis cerpen dan novel secara serius tahun 2000 karena gemas melihat tema-tema novel di toko buku yang dianggap dangkal. ”Awalnya saya menulis untuk anak-anak. Namun, akhirnya diterbitkan,” ujar Sinta.
Ketika anak-anak sudah tidur, Sinta menyempatkan diri menulis hingga dini hari. Kadang dia menulis sambil memasak atau mengawasi anak-anaknya.
Sejauh ini Sinta telah menulis 40 buku, kebanyakan cerpen dan novel. Salah satu bukunya, Lafadz Cinta, terjual hingga 15.000 kopi. Novel terakhirnya adalah Road To The Empire: Kisah Takudar Khan. Sinta mengatakan, dari kegiatannya menulis buku fiksi, dia bisa membantu keuangan keluarga.
Kualitas
Bagaimana kualitas sastra karya penulis-penulis baru itu? Bagi penulis sastra, Linda Christanty, perbincangan soal kualitas sebaiknya ditunda dulu. Sebut saja tulisan yang bertebaran di penerbit dan dunia internet sekarang itu sebagai karya fiksi, tanpa harus diperdebatkan apakah itu sastra atau bukan. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah mendorong lahirnya banyak kritikus sastra sebagai imbangan atas booming penulis.
”Kita sangat kekurangan kritikus yang mampu memberi pendapat tentang baik-buruknya suatu karya. Kita butuh kritikus yang pedas, siap dibenci, dan membuat masyarakat kritis demi meningkatkan dunia sastra jadi lebih baik,” katanya.
Cerpenis dan pengamat sastra, Seno Gumira Ajidarma, menilai kini seluruh teori sastra sudah berubah, dan semua karya yang beredar di masyarakat tak bisa lagi diukur dari kategori estetika. Rezim estetik warisan Romantisme abad ke-18 itu sudah selesai. Dalam dunia pascamodern ini, ukuran jadi sangat plural.
”Semua orang bebas untuk mengekspresikan diri dalam bentuk yang dimaui. Tak perlu lagi debat soal kualitas estetika. Kalau dipaksakan debat, yang bodoh yang memulai (debat itu),” katanya. (Dahono fitrianto/ Susi ivvaty)
Sumber: Kompas, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment