-- Arie MP Tamba
SEBAGAI seorang pembaca karya sastra, saya mempercayai apa yang dikatakan Jauss yang kemudian lebih dikenal sebagai paham teori resepsi, bahwa karya sastra bukanlah sebuah obyek yang berdiri sendirian dan menawarkan wajah yang sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Sebab, lanjut Iser (temannya Jauss), setiap pembaca selalu berpartisipasi aktif dalam pembacaannya, sesuai cakrawala harapan atau pengetahuan kesusastraannya masing-masing.
Tentu saja saya bisa menerima adanya pendekatan pembacaan lain, seperti yang dilakukan kaum formalis, yang berkutat dengan aspek intrinsik karya sastra seiring perkembangan teorisisasi karya sastra di lembaga akademis ataupun berhasil ditegakkan seorang figur kritikus sastra berpengaruh.
Dan saya juga bisa memaklumi, pilihan pendekatan Marxis yang ingin meneropong sejauh mana sebuah karya sastra memiliki kekuatan sosiologis memetakan pertentangan kelas dan kecenderungan-kecenderungan politik yang ada di masyarakat, atau bahkan pendekatan biografis-psikologis seperti pernah dilakukan Arief Budiman terhadap Chairil Anwar, dan pada tingkat tertentu juga HB Jassin ketika menyusun teori angkatan, yang mengandaikan adanya hubungan langsung kepengarangan seseorang dengan perkembangan politik di masyarakat, dll.
Lalu, saya juga kerap memilih mengoperasikan pendekatan resepsi pembaca, yang secara lugas diilustrasikan Fish, bahwa setiap pembaca sesungguhnya tak pernah menghampiri sebuah karya sastra dengan kepala kosong, karena pembaca selalu membawa kopor berisi berbagai keputusan teoritis, ideologis, bahkan mental strategis, yang bisa saja personal.
Seperti pernah disinggung Subagio Sastrowardoyo tentang sajak-sajak D. Zawawi Imron, yang kalau diibaratkan meski seorang wanita yang tidak cantik, tapi karena terlanjur menyukainya, maka bagi Subagio sajak-sajak Zawawi-lah yang terbaik. Meski, dari kesukaannya itu, Subagio harus menghadapi risiko: betapa semakin intens ia ’menggauli’ karya-karya Zawawi, ia kemudian menemukan belang-bontengnya, cacat-panunya, atau kelemahan-kekurangannya.
Dan semua paradigma pembacaan ini, tentu saja termasuk kritik sastra. Kritik sastra adalah sebuah seni sastra, di samping karya sastra. Bila karya sastra mengandalkan konten dan bentuk, cerita, pesan, penokohan, plot, imajinasi, angan-angan, fantasi, bahkan harapan-harapan seorang seniman – maka kritik sastra – menawarkan evaluasi, pengamatan, penilaian, koreksi, usulan, atau sekadar komentar minimal, tentang karya sastra tersebut.
Paling tidak, begitulah Budi Darma (1995) memahaminya, dan saya menyepakatinya. Artinya, tak ada perbedaan yang signifikan antara kritik sastra akademis ataupun kritik sastra kreatif, seperti pernah ramai diperbincangkan d koran-koran dan majalah sastra. Atau, tak ada pula bedanya antara kritik sastra akademis dengan kritik sastra koran misalnya. Sebab, yang jadi tujuan adalah bagaimana mendapatkan kritik sastra yang baik. Atau, bagaimana kita kemudian mendapatkan evaluasi atas sebuah karya sastra.
Bila karya sastra yang baik menggerakkan pembacanya merenungkan kembali nilai-nilai kehidupan tertentu, dengan cara baru; maka, kritik sastra yang baik semestinyalah menimbulkan pencerahan bagi pembacanya, akan karya yang sedang dikritik. Dengan begitu, tak ada lagi perbedaan dalam bentuk apa kritik sastra itu disampaikan. Apakah dalam bentuk artikel, resensi, perbincangan panjang, esai menarik, atau sebuah buku ulasan khusus.
Sebab, yang jadi tujuan adalah bagaimana mendapatkan sebuah ’karya baru’, yakni sebuah ’kritik sastra’, berdasarkan sebuah ’karya lama’ yang dibahas si pengulas. Maka, bila kita mendapatkan sebuah karya kritik sastra yang ’kerdil’ dibandingkan karya sastra yang dibicarakannya, bisa ditafsirkan bahwa sebagai pembaca, si pengulas sedang menunjukkan kegagalannya membaca karya sastra itu. Atau, bila kita menemukan sebuah kritik sastra yang bagus atas sebuah karya sastra yang biasa-biasa saja; segera bisa dipahami, bahwa si pembaca sedang melebih-lebihkan penilaiannya tentang karya sastra tertentu.
Hingga, yang terbaik adalah bagaimana kita menemukan sebuah karya yang baik, mendapatkan kritik sastra yang tak kalah baiknya. Itulah yang kita alami ketika membaca kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono, kemudian Sutardji Calzoum Bachri mengkritiknya dengan keras dan sama kayanya di majalah sastra Horison!
Atau, kita boleh mengacungkan jempol atas sorotan dan perbincangan yang dilakukan A Teeuw terhadap puisi-puisi para penyair penting Indonesia yang terkumpul dalam Tergantung Pada Kata. Demikian juga, kita merasa diperkaya oleh pemaparan cerdas dan simpatik Dami N Toda, atas pembaruan yang ditawarkan Novel-novel Baru Iwan Simatupang. Karya sastra bermutu, diimbangi oleh kritik sastra berkualitas!
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 18 Januari 2009
No comments:
Post a Comment