-- Theresia Purbandini
SASTRA Indonesia bagai dihantui oleh sejarah sastranya. Pernyataan itulah yang dilontarkan Nirwan Dewanto yang mengakibatkan kesusastraan Indonesia terus bertempur di medan peperangan sendirian dan berpangkal pada ketinggalan dari pergaulan dunia sastra luar.
Tetapi nampaknya, perihal sejarah sastra menurut Binhad Nurohmat seorang penulis dengan salah satu kumpulan puisinya yang berjudul Kuda Ranjang (2004), dipandang tidak kuat bila menelisik sumber sejarah sastra di Indonesia. Karena tidak adanya lembaga ataupun individu yang membawahinya, semuanya hanya berdasar pada pengamat sastra yang mengakses hasil-hasil karya sastra melalui penerbitan besar seperti Gramedia, Balai Pustaka, Dian Rakyat, dll.
Sehingga karya sastra yang dianggap menyejarah menurut Binhad adalah karya-karya sastra yang dapat diakses untuk dipublikasikan. “Sebenarnya malah banyak fakta sejarah yang luput dari catatan sejarah kritikus. Sayangnya, dunia kritik, penerbit dan hadiah sastra menjadi bagian yang dibangun berdasarkan akses-akses yang sifatnya empiris,” kata penulis kumpulan puisi Demonstran Sexy ini.
Sejarah sastra dianggap pula oleh Binhad terbentuk pada kurikulum sekolah berdasar masing-masing angkatan dan juga sumber penulisan para kritikus. Tidak ada klimaks bagi Binhad dalam sejarah Sastra Indonesia. “Yang dianggap puncak dalam karya sastra adalah karya yang mendapat pengakuan dari para kritikus sastra, sehingga memberikan kekuatan pada audiens atas analisanya.”
Penulis-penulis lama seperti alm Chairil, WS Rendra dengan puluhan sajak termashyurnya diakui Binhad bahkan terkesan jadi lebih mengenal penulis asing. “Padahal di zamannya dulu, akses buku-buku terjemahan tidak sebanyak sekarang ini, tetapi dunia pendidikannya berusaha merangkul dunia luar yang kemudian dimanfaatkan oleh sastrawan terdahulu.”
Ditelikung Sejarah
Sementara logika yang berlangsung kini, melampaui persoalan sejarah sastra yang menelikung, seiring pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, internet yang dengan mudah diakses hingga website dan blog-blog gratis, menurut Binhad ujungnya kini adalah permasalahan publisitas.
Berbeda dengan Binhad, novelis dan penyair Sihar Simatupang mengatakan bahwa sejarah sastra Indonesia mengalami kegagalan. “Seharusnya periode angkatan tidak hanya berdasar pada satu momen politik saja, melainkan bisa diperluas menjadi pertahun, perprovinsi, pertema, perkecamatan, dll,” ujarnya.
Kurang meluasnya lahan sastra di Indonesia, dialamatkan Sihar berpangkal dan berujung pada tidakkreatifnya para pengamat. “Kalau pengamat mau berlelah-lelah menggali lebih dalam lagi mengenai hasil karya sastra yang lebih intrinsik dan ekstrinsik, maka niscaya akan lebih menemukan banyak karya yang memiliki kekuatan,” ujarnya berapi-api.
Menyetujui pendapat Binhad tentang permasalahan lingkaran publikasi sastra masa kini, diutarakan oleh Sihar kurangnya uluran tangan terhadap penerbit-penerbit kecil, koran-koran daerah bahkan buku-buku yang tidak mempunyai kekuatan untuk mendekati media. “Penuh perdebatan kontroversial mengenai masalah ini. Namun kita hanya bisa melihat garis luar dari yang telah terjadi,” ujarnya.
Solusi ditawarkan Sihar bagi para pengamat sastra Indonesia. “Selain menarik garis pembagian, periodeisasi, uji tematik serta timbulnya kesadaran mengolah persoalan estetik akan membuat para pengamat lebih berperan menjembatani sastrawan dengan pembaca,” katanya.
Catatan Kaki
Sejarah menurut Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ, adalah pengalaman di masa lalu yang dapat menjadi bahan pertimbangan agar tak mengulang kesalahan yang sama, atau bahkan sebagai penanda suatu momentum kejadian. Sejarah sastra merupakan ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu dan menjadi bagian dari ilmu sastra, yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, di mana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Sejarah mendulang banyak kenangan yang menyimpan memori di masa lalu. Sihar menuturkan bahwa berkreasi tidak relevan bila dibebani sejarah sastra. Kreasi bisa diangkat tanpa sejarah. “Mungkin saja ada penulis yang tidak membaca sejarah sastra Indonesia. Sebaiknya memang, sejarah sastra hanya dijadikan bahan-bahan pertimbangan saja,” tambah pria lulusan Fakultas Sastra Universitas Airlangga ini.
Tapi generasi Chairil dapat dianggap sebagai generasi penting dalam perjalananan sejarah sastra Indonesia. Menurut Zen Hae, keterbatasan akses pada zaman itu dijadikan keuntungan oleh Chairil dkk dalam meraup keuntungan sastra nasional. “Generasi yang beruntung, di mana buku-buku sastra terjemahan sangat terbatas dan distribusi yang sangat terbatas. Logikanya, zaman sekarang, yang sudah dengan mudah mengakses internet tetapi kenapa tidak bisa melahirkan generasi sehebat zaman Chairil? Selain dibayangi-bayangi sejarah sastra nasional, mungkin juga karena faktor bakat juga,” kata penyair yang menulis buku puisi Paus Merah Jambu (Akar, 2007).
Jika Sihar menilai sejarah sastra mengalami kegagalan, Zen Hae menyanggahnya dengan rileks. “Tidak ada yang gagal dalam sejarah sastra Indonesia, karena sejarah hanya sebagai pengetahuan, jangan dijadikan tempurung atau hambatan dalam berkembang, tetapi jadikan sebagai catatan kaki untuk langkah selanjutnya,” kilah Zen.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment