Sunday, January 11, 2009

Kronologi Tragedi Kebenaran

* Catatan atas Tiga Cerpen Kuntowijoyo

-- Kuswinarto

CERITA pendek memang karya fiksi. Sebagai fiksi, ia tentu terikat hukum fiksionalitas. Peristiwa di dalamnya tentu bukan peristiwa yang terjadi di dunia nyata (realitas objektif). Ia hanya terjadi di dunia ciptaan pengarang: dunia fiksi. Ia hanya potensial terjadi di dunia nyata. Setidaknya, itu peristiwa nyata (sejarah) yang sudah difiksikan.

Tidak berarti isi cerita pendek (cerpen) hanya kebohongan atau justru menjadikan keliru apa yang benar. Cerpen (paling absurd dan paling surealis pun) mengandung kebenaran. Hanya saja, kebenaran cerpen tak musti senada seirama dengan kebenaran realita dan logika kita.

Cerpen punya kebenaran sendiri (kebenaran fiksi). Namun, tak berarti realitasnya beda 100% dengan realitas objektif. Sebab, cerpen sering digunakan untuk menunjukkan kebenaran realitas objektif kepada pembaca, karena orang tak melihat (tak menyadari) kebenaran itu. Sering pula cerpen untuk mengentaskan kebenaran dari lautan kesalahan. Atau, menyurutkan lautan kesalahan dengan satu matahari kebenaran. Cerpen sering mencerahkan batin kita.

Kuntowijoyo (alm.) sastrawan berwibawa. Ia pernah meraih hattrick, tiga kali beruntun juara I pemilihan cerpen Kompas. Cerpen juara itu jadi judul antologi cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam antologi cerpen Kompas 1997, bahkan tiga cerpen Kuntowijoyo juara. Selain Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (AMK) yang juara I, ada Jangan Dikubur sebagai Pahlawan (JDsP) juara II, dan Rumah yang Terbakar (RyT) juara III.

Tiga cerpen ber-setting tempat dan budaya perdesaan itu menarik. Ada pesan yang disampaikan secara berkelanjutan. Ini kalau diurutkan menurut waktu penciptaan (bukan urutan juara). Menurut waktu penciptaannya, urutannya adalah AMK, RyT, baru JDsP.

Gambaran Cerita�MDUL�

Supaya benang merah tulisan ini jelas, berikut digambarkan isi ketiga cerpen. AMK menceritakan "Dia", kuli miskin yang ingin kaya. Keinginan itu tidak diwujudkan dengan kerja keras dan kerja cerdas, tapi lewat jalan pintas: pergi ke dukun (guru). Oleh dukun, dia disuruh bertapa dan puasa 7 hari 7 malam, lalu mengambil (dengan gigitan) telinga orang meninggal di Hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon).

Tapa dan puasa, berhasil. Tinggal satu laku untuk bisa kaya: mengambil telinga mayat. Cerpen AMK dimulai saat malam hari "Dia" ke kuburan. Tak mudah, sebab kubur orang meninggal Selasa Kliwon dijaga selama 7 hari.

Tapi, guru memberinya jimat Begananda (aji penyirep). Para penjaga kubur pun tertidur kena sirep. Dia sukses menggali kubur dan mengangkat mayat. Tapi saat akan menggigit telinga, datang 4 ekor anjing. Diusir pergi, tapi selalu datang lagi. Terpaksa dia berkelahi dengan anjing. Suasana jadi rebut, para penjaga kubur pun terjaga. Usaha untuk jadi kaya pun gagal.

Cerpen RyT menceritakan masyarakat desa tepi hutan. Ada dua dusun dipisahkan oleh pematang: dusun seberang selatan dan dusun seberang utara. Masyarakat selatan adalah petani dan abangan. Yang utara, pedagang dan santri. Cerpen ini fokus pada masyarakat selatan yang punya pendirian harus beda dengan orang utara.

Aturan orang selatan: (1) tak boleh kawin dengan orang utara dan (2) tak boleh mendirikan suaru seperti orang utara. Maka saat Pak Jo (orang selatan) mau bikin surau, ia diprotes keras dan surau terpaksa dibuat di tepi dusun. Pak Jo wafat, tak ada penerusnya, lalu surau disulap Bu Kasno jadi rumah bordil. Ada yang setuju, ada yang tidak. Penduduk sekitar masjid (sudah bisa membuat masjid), termasuk Ustaz Yulianto Ismail, sangat tidak setuju dengan Bu Kasno.

Ustaz Yulianto mau menghentikan rumah maksiat itu. Kesempatan tiba. Suami Bu Kasno meninggal, rumah bordil kosong karena diliburkan. Malam, Ustadz membakarnya. Santri mengucap alhamdulillah. Tapi, terbakar pula dua remaja yang pacaran di rumah itu. Si pria dari utara, si wanita dari selatan. Tahu itu, Ustaz mengucap astaghfirullah, lalu pingsan.

Cerpen JDsP menceritakan Sangadi, satu-satunya orang di desanya yang dikubur sebagai pahlawan. Kisah Sangadi diceritakan tokoh "Saya" (lurah yang di ujung masa jabatannya di periode kedua) kepada para anggota LMD. "Saya" tahu persis siapa Sangadi.

Sangadi hidup di zaman Belanda, Jepang, hingga awal kemerdekaan Indonesia. Ia kepala rampok yang kebal, kejam, pecandu narkotik, pemerkosa, pembunuh. Ia bekerja pada Belanda sebagai penjaga kebun tebu, lalu dihukum 20 tahun karena membunuh orang saat kalah judi. Tapi baru 15 tahun ia dikeluarkan dari bui karena Belanda kalah oleh Jepang. Ketika Belanda mencoba kembali ke Indonesia, Sangadi bekerja pada Belanda sebagai mata-mata.

Karena tak becus kerja, dia hendak diberhentikan. Sangadi pun berang, lalu menantang Belanda. Sangadi ditembak, tapi ia kebal peluru. Maka ia ditangkap dan diseret dengan jip. Tubuhnya hancur dan ditinggal begitu saja oleh serdadu Belanda. Seorang mata-mata Indonesia melihat peristiwa itu. Ia mendekatinya. Sangadi minta disiram air. Setelah disiram, ia meninggal, lalu dikubur di makam desa. Setelah aman, ia dipindahkan ke makam pahlawan.

Tragedi Kebenaran

Tragedi kebenaran bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan, data pendukung, dan rasionalitas yang mendasari pendapat/pernyataan, penilaian, dan putusan. Itu menyebabkan lemahnya pendapat/pernyataan, penilaian, dan putusan, apalagi bila dasarnya hanya sensasi atau tanggapan inderawi.

Pada gilirannya, tragedi itu bisa berakibat situasi terbalik: yang salah dianggap benar dan yang benar justru dianggap salah. Kualitas kebenaran itu sangat bergantung pada tingkat pengetahuan, data pendukung, dan rasionalitas. Pengetahuan dan data yang minim tentang sesuatu, kurangnya kemampuan dan kemauan berpikir panjang dan jernih, potensial menyebabkan tragedi kebenaran ketika kita menanggapi sesuatu: orang (benda) atau peristiwa.

Dalam AMK, Kuntowijoyo memberi warning bahwa tragedi kebenaran bisa terjadi oleh kekurangtahuan, data yang minim, pikiran yang kurang panjang dan jernih. Hal itu ditunjukkan saat para penjaga kubur terbangun dan sempat melihat "Dia" memukul anjing. Penilaian para penjaga kubur terhadap tokoh "Dia" terpecah jadi dua, seperti pada ending AMK berikut.

"Pencuri!" kata seorang.

"Penyelamat!" kata yang lain.

Pembaca tahu "Dia" pencuri, tapi penjaga kubur tidak tahu. Mereka hanya tahu "Dia" memukul anjing, lalu pingsan.

Komentar/penilaian berbeda itu menentukan terjadi tragedi kebenaran atau tidak. Tak terjadi tragedi jika dalam perkembangannya penilaian "Dia" pencuri-lah yang menang. Jika sebaliknya, terjadilah tragedi kebenaran. Situasi seperti itu bukan tak mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Sangat riskan, sebab menyangkut kualitas seseorang. "Dia" harum namanya jika yang menang penilaian bahwa dia penyelamat. Padahal, dia maling!

Pada RyT, fase polarisasi penilaian pada AMK sudah terlewati. Dalam AMK, ada dua penilaian: "Dia" pencuri dan "Dia" penyelamat. RyT bisa dikatakan lanjutan AMK dengan "Dia" penyelamat sebagai penilaian yang menang (dipercayai orang banyak). Padahal, itu penilaian yang salah. Maka, di RyT terjadi tragedi kebenaran.

Kasus yang terkait dengan itu adalah terbakarnya sejoli di rumah bordil yang dibakar Ustaz Yulianto. Pendapat masyarakat terhadap kematian sejoli itu sama, yakni sejoli itu sengaja bunuh diri (membakar diri) di rumah bordil karena cintanya tak direstui orang tua. Orang tua tak merestui karena ada pantangan: orang selatan tak boleh kawin dengan orang utara.

Tragedi kebenaran terjadi karena masyarakat menilai benar sesuatu yang salah. Dan itu tak terkoreksi. Ustaz Yulianto tahu persis masyarakat salah. Namun, ustaz tidak meluruskannya. Sebab, untuk melakukan itu, ustaz harus mengakui dirinya telah membakar rumah bordil. Memang riskan bagi ustaz jika mengakui. Maka ketika tahu ada orang terbakar saat rumah itu terbakar, ustaz kaget, mengucap astagfirullah, lalu pingsan.

Dalam JDsP, tragedi kebenaran terjadi dan sudah jadi masa lalu (sejarah). Sangadi yang penjahat, malah dijadikan pahlawan. Informasi yang dijadikan dasar penetapan pahlawan itu sangat minim, hanya laporan mata-mata bahwa Sangadi menantang dan disiksa Belanda.

Logikanya pun pendek, mungkin begini: menantang dan disiksa Belanda = perjuangan Indonesia. Sangadi menantang dan disiksa Belanda. Maka, ia layak jadi pahlawan. Apalagi, saat di-PHK Belanda, Sangadi meyakinkan untuk dipahlawankan. Begini ucapan Sangadi: "Semua Belanda bajingan! Enyahlah kau dari bumi Indonesia!" Maka sempurnalah tragedi kebenaran itu.

Dalam JDsP pun ada saksi, tapi ia tak menciptakan penilaian berbeda. Saksi itu "Saya" (lurah). Ia menceritakan Sangadi kepada anggota LMD. "Saya" ingin menghapus tragedi kebenaran. Ia tahu banyak Sangadi karena Sangadi sahabat almarhum ayahnya dan baik kepadanya.

Pelenyapan tragedi itu tampak pada penjelasan "Saya" di-ending JDsP berikut: Nah, kalau kita mengingat kisahnya sebelum mati, sudah pantaslah dia (Sangadi) jadi pahlawan. Tetapi, kalau mengingat wanita-wanita yang diperkosa dan orang yang dibunuh rasanya sepantasnya dia mendapat balasan. Adapun kebaikannya kepada saya, memberi uang halal, saya kira sudah terbalas dengan tutup mulut saya selama hampir lima puluh tahun.

Implikasi

Jelas, tiga cerpen itu antara lain menjelaskan tragedi kebenaran. AMK memperlihatkan betapa tragedi kebenaran sangat mungkin terjadi. Pada RyT, tragedi kebenaran terjadi dan tidak terkoreksi. Pada JDsP, tragedi kebenaran terjadi dan sudah menjadi masa lalu, tapi saksinya merasa berusaha menghapuskannya demi tegaknya kebenaran.

Cerpen yang baik, kata Y.B. Mangunwijaya, merupakan jagad cilik yang mencerminkan jagad gede. Apa yang dikemukakan cerpenis bisa dikorelasikan dengan dunia nyata. Memang, tragedi kebenaran bukan mustahil terjadi di dunia nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sejarah Indonesia. Hingga, penjahat pun bisa harum namanya di Makam Pahlawan.

Bagi pembaca, tiga cerpen itu setidaknya mengurangi sikap gegabah dengan cara lebih berhati-hati dalam berpendapat, berkomentar, menilai, dan mengambil keputusan. Sebab, tragedi kebenaran sangat berbahaya karena dapat merugikan orang lain yang seharusnya tidak rugi dan menguntungkan orang yang seharusnya menerima hukuman. Tegasnya, tragedi kebenaran membawa kita pada situasi ketidakadilan.

* Kuswinarto, esais

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Januari 2009

No comments: