Sunday, January 18, 2009

Lelang Lukisan untuk Berobat

-- Siswantini Suryandari

DALAM kesendirian, ia tetap memiliki kekuatan untuk menulis dan membaca. Cintanya terhadap dunia sastra tidak terbantahkan. Sampai tubuh tidak lagi bisa melawan rasa sakit, di jari-jari tangannya hanya ada pena dan kertas. Secarik tulisan pun bisa membuatnya tetap bersemangat melanjutkan sisa hidup.

Di usia senja, NH Dini hidup sendirian di Wisma Langen Werdhasih, Lerep, Ungaran, Jawa Tengah. Sebuah rumah yang diperuntukkan kaum lansia.

Kesehatannya juga mulai terganggu. Setelah sembuh dari penyakit hepatitis B dan operasi batu empedu, pemilik nama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini kini harus merasakan penyakit lainnya.

Antara lain vertigo, telinga sebelah kanan berdengung, dan tulang lututnya keropos.

Hidup sebagai novelis sastra di Indonesia, uang yang diperolehnya tidaklah melimpah. Apalagi, sebagai seorang pengarang yang sudah menekuni profesinya selama hampir 60 tahun, baru dua tahun terakhir ini menerima royalti honorarium. Sebelumnya Dini hidup seperti parasit. Itulah istilah yang diberikan untuk dirinya. Sebab Dini sangat bergantung pada bantuan teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.

Apalagi untuk mengatasi vertigo, Dini harus melakukan terapi pijat refleksi di kaki dan tangan sebelah kanan, serta tusuk jarum di pusat kepala, serta di bawah, atas, dan belakang telinga.

Pijat refleksi dan tusuk jarum itu dilakukan dua minggu sekali di Kota Semarang.

Padahal selama ini novelis kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936 itu untuk menopang hidupnya, harus menjual barang-barang pribadinya. Dini pernah menjual beberapa hadiah yang diperoleh saat tinggal di Prancis selama 4 tahun lamanya, antara 1996-2000, seperti jam tangan, giwang emas, untuk menyambung hidup.

Hadiah itu diperolehnya sebagai bentuk ucapan terima kasih karena Dini sering dititipi tanaman, kucing, hamster oleh tetangga atau temannya yang sedang pergi liburan.

Lelang lukisan

Dini tidak ingin bergantung terus pada orang lain. Prinsip harga diri yang ditanamkan orang tuanya terus terpatri di hatinya. Dia ingin mandiri membiayai hidup dan kesehatannya. Untuk itulah ia bertekad melelang koleksi lukisan yang dibuatnya sendiri. Hasil lelangnya itu untuk biaya pengobatannya.

Menurut Ariany Isnamurti yang membantu proses pelelangan lukisan NH Dini, untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan biaya hidup di Wisma Lansia, Dini menjual lukisan-lukisan karyanya bergaya dekoratif Tionghoa.

''Sudah ada 4 lukisan yang terjual dari sekitar 20 lukisan yang akan dilelang. Rata-rata harga lukisannya di atas Rp5 juta. Jika berminat, bisa melihat foto-foto lukisan itu di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin,'' ucap Ariany kepada Media Indonesia, kemarin.

Rekan-rekan Dini dalam komunitas baca Goodreads Indonesia akan membantu pelelangan lukisan itu, bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi HB Jassin. ''Rencananya lelang lukisan itu dirangkaikan dengan acara diskusi buku karya Nh Dini, sekitar awal Februari atau awal Maret ini,'' lanjutnya. Rasanya tidak percaya apabila ada seorang novelis sastra dengan nama besar kini tinggal sendirian di rumah lansia. Apalagi hidupnya tergantung pada bantuan teman ataupun melelang barang-barang pribadinya. Namun itulah faktanya.

Tinggal di rumah lansia bukan setahun ini. Dini pernah menetap di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, sejak 16 Desember 2003. Di Graha Wredha Mulya ini, Dini tetap mengembangkan minatnya membuka taman bacaan. Sebelumnya dia pernah memiliki taman bacaan NH Dini di Sekayu, Semarang, yang didirikan pada 1986. Kemudian taman bacaan ini diteruskan sampai ke Yogyakarta.

Dini mengajak anak-anak mencintai buku dan memiliki hobi membaca buku. Sekitar 3.000 koleksi bukunya memenuhi taman bacaan yang didirikannya.

Di rumah lansia itu Dini tetap bisa mengembangkan hobinya menulis. Dia bisa menghasilkan novel berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003). Sebuah novel tentang seorang suami yang berlaku tidak adil terhadap istrinya. Inilah kelebihan Dini. Dia tetap senang menulis di saat umur sudah senja. Kemudian hampir satu tahun terakhir ini, Dini pindah ke rumah lansia di Ungaran, Semarang.

Feminis

NH Dini adalah novelis sastra yang mengusung tema-tema perempuan. Dia pun mendapat julukan sebagai novelis feminis. Banyak yang memberikan pendapat karya-karyanya adalah sebuah pengalaman pribadi. Beberapa novelnya seperti Namaku Hiroko, Dua Dunia, Pada Sebuah Kapal diduga merupakan pengalaman batin si penulis.

Beberapa karyanya yang juga populer di antaranya La Barka, Orang-Orang Tran, Pertemuan Dua Hati, dan Hati yang Damai.

Diakui Dini, meski sudah 60 tahun menekuni dunia sastra, produksi novelnya tidaklah banyak. Sebab Dini butuh waktu lama merangkai cerita. Untuk pembuatan novel Pada Sebuah Kapal saja, perlu 10 tahun.

NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Dini sudah memiliki bakat menulis sejak kelas 3 sekolah dasar. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Pernikahan mereka dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang yang kini tinggal di Kanada dan Pierre Louis Padang, tinggal di Prancis.

Sebagai istri diplomat, Dini pun harus pindah-pindah tempat. Dini kemudian bercerai dari Coffin pada 1984. Dini memilih kembali ke Indonesia.

Dari novel-novelnya, Dini banyak berkisah tentang bagaimana perjuangan perempuan memperoleh keadilan dalam menjalankan kehidupan. Dia pun tergolong cukup terbuka dalam memilih kalimat untuk novelnya, terutama berbicara masalah seks.

Mungkin karena pergaulannya dengan banyak orang asing di berbagai negara, membuat Dini tidak sungkan-sungkan mengungkapkan masalah seks secara terbuka dalam karyanya.

ndari@mediaindonesia.co.id

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Januari 2009

No comments: