-- Misbahus Surur*
BETAPA kelam yang mengendap dalam labirin peristiwa, kerap melahirkan momentum yang senantiasa ingin dikenang oleh generasi masa kini. Kendati, untuk sungguh-sungguh mencecap pesan sebuah zaman atas sajian ciptaannya, tidaklah mudah. Paling tidak, kita harus rela menghanyutkan diri pada dalamnya senarai ragam peristiwa yang diguratkan oleh sebuah takdir. Tentu juga atas segala hal yang menggumpal dalam pernik tragedi. Membaca dan menapaktilasi sejarah sastra Indonesia di awal pertumbuhannya (dengan embel-embel modern) adalah membaui haru-biru aroma itu. Mereka (para seniman-sastrawan tempo dulu), bagi kita setidaknya, bukan menggores percik hampa atau sebatas merajut frase luka. Tapi juga menelorkan sebuah formula.
Dus, saatnya kita mengurai fragmen-fragmen yang terendap dalam periskop sejarah, meskipun melalui kolofon momen historis. Tentu bukan saja berniat menyaring debu timpangnya, melainkan juga untuk mengelaborasi zaman; menyembulkan seribu kejernihan yang menyembunyi. Bertolak dari keadaan itu, menurut Gandhi misalnya, berkaca pada pengalaman India yang koloni Inggris, pada awalnya melalui teks kaum kolonialis mengontrol bangsa, lalu menghegemoni negara. Namun melalui teks pula masyarakat negeri ini berekspresi dan menemukan ruang reaksi yang paling tajam. Mereka menelanjangi selubung kepentingan kapitalisme beserta ideologinya dengan senjata teks, meskipun persenjataan fisik (alutsista) juga punya peran penting.
Dalam perjalanannya yang cukup panjang, sastra Indonesia telah menampilkan ihwalnya masing-masing. Beragam misi diemban kumpulan manusia penatah kata itu. Ada yang murni menghamba kebenaran, namun tak sedikit pula (?) yang hanya mengabdi ketentraman pseudo. Dalam sejarahnya, kita lalu mengenal tradisi sastra Balai Pustaka (BP), yang bahkan tradisi ini dijadikan pijakan lahirnya sastra Indonesia modern. Meskipun di masa yang bersamaan, hidup pula beratus tradisi yang entah itu dengan sebutan apa. Mungkin karena seringnya absen diperbincangkan dalam konstelasi sejarah sastra, yang membuatnya lenyap --dan masalah sebutan, kala itu memang tak terlalu dipentingsoalkan. Tradisi ini banyak digeluti para seniman-sastrawan, terutama penulis partikelir di Nusantara. Mereka inilah yang pada zaman kolonial sering kena cemooh rezim penguasa dengan buah karya ''bacaan liar'' dan stigma sastra genre ''roman picisan''. Para sastrawan dan peneliti sekarang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai tradisi sastra non-Balai Pustaka (non-BP).
Bila kita mengenal akrab novel-novel yang kala itu menjadi ikon penerbit BP, semisal Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya HAMKA, Tak Putus Dirundung Malang (1929) dan Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Nur Sutan Iskandar dan masih banyak lagi, seharusnya kita juga perlu mengakrabi berbagai wajah novel sezamannya. Karena sebelum tradisi BP digulirkan, tradisi di luar itu juga berkembang.
Sejarah telah mencatat --kendati pasang surut-- munculnya ratusan penulis dan penerbit partikelir (mungkin juga ribuan) dari kalangan pribumi. Karya-karya mereka masih menggunakan bahasa Melayu rendahan/pasaran. Dan inilah satu pembeda yang mencolok dari verbalisasi sastra ala BP (novel-novel tradisi BP menggunakan bahasa Melayu tinggi/standar). Tulisan mereka hadir seakan menelusup dan mengurai sendiri apa yang disembunyikan rezim yang menunggang sejarah (borok kolonialis). Tak ayal, kala itu, tiap papan yang tergores oleh karya mereka, kerap menebarkan ritme resistensi. Mungkin nama negatif yang lekat selama ini, karena watak subversifnya. Pengarangnya kebanyakan orang-orang kiri, karena gerak yang dengan terang-terangan mengikhtiarkan perlawanan atas hegemoni pusat (kuasa kolonial). Hingga pemerintah Belanda mengecapnya sebagai ''bacaan liar''. Riwayat pengarangnya seperti H. Moekti dengan Hikajat Siti Mariah (1910); Tirto Adhi Soerjo dengan Boesono (1910) dan Nyai Permana (1912); Mas Marco Kartodikromo dengan Studen Hidjo (1918), Sjair Rempah-rempah (1919), Mata Gelap (1919) dan Rasa Merdika (1924); Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1920) dan ratusan riwayat pengarang yang lain.
Membiaknya bacaan liar ini disikapi pemerintah kolonial dengan phobia yang sedemikian rupa. Serasa kekuatan subversif inlander (dalam karya sastra) mampu mengguncang keangkuhan penghuni negeri rendah itu. Kolonialis masih menyimpan kepercayaan tinggi akan kedahsyatan ekses kata-kata yang (mungkin) tertuang, terselip atau sengaja dijepitkan penulis yang rata-rata kiri itu. Pendek kata, kekuatan artikulasi sekelompok inteligen (baca: intelektual) itu diyakini Belanda sebagai anasir perlawanan. Karena itulah, dengan semena-mena dan tindakan represif, kolonialis berusaha menyumbat suplai bacaan untuk rakyat; dengan membredel, menyegel puluhan mungkin juga ratusan penerbit swasta, bahkan memenjarakan si pengarang. Akan tetapi, sebagai inteligen, yang telah sengaja berniat menggariskan diri pada fungsinya: penyuara nurani rakyat, para pengarang itu tak pernah gentar melawan. Dan nasionalismelah, sejatinya umpan pembiakan ''roman picisan'' di era kolonial itu. Rasa nasionalisme bumi putra yang tinggi menjadi sebab (men)dasar meletupnya produksi sastra ini.
Meskipun dikecam sebagai bacaan liar, kata subversif tentu tak selamanya bernada melawan secara negatif. Bahkan kalau ditelisik ke masa lalu, gerakan subversif sastra justru bermuatan sebaliknya (wujud riil heroisme yang tinggi). Maka, tak aneh bila karya sastra yang dilahirkan pengarang-pengarang pribumi itu dulunya merupakan karya sastra yang paling diburu masyarakat. Baik penikmat sastra murni maupun bukan.
Tradisi BP yang nota bene sebagai penerbit tunggal (baca: resmi) bagi pemerintah jajahan, tidak banyak diminati. Karena tradisi sastra BP diopinikan sebagai anak kandung kolonialis. Dengan begitu, tentu dianggap berafiliasi ke pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun di lain tempat, tradisi sastra di luar itu --sastra oposan, roman picisan (non-BP)-- dianggap pemerintah sebagai anak jadah yang kelahirannya sangat tidak diharapkan. Dan, termasuk dalam tradisi ini adalah karya sastra yang produsennya orang-orang peranakan Eropa/indo (keturunan dari hasil perkawinan pribumi dan Eropa), dan peranakan Tionghoa.
Tradisi sastra peranakan Eropa yang pengarangnya menaruh hati pada penderitaan inlander itu semisal Max Havelaar oleh Multatuli --nama samaran Eduard Douwess Dekker, yang jamak kita ketahui punya kecenderungan menentang praktik kolonialis dan superioritas warga Eropa di tanah Hindia. Iwan Simatupang pada satu kesempatan pernah menyebut mereka ini sebagai ''Paradoks dari Kolonialisme''. Karena sang kolonial sendirilah yang pada hakikatnya menanamkan benih-benih pembangkangan terhadap kolonialisme. Contoh lain adalah Rubber (1931) karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs. Novel ini cukup banyak peminatnya dari kalangan pribumi. Bahkan oleh pemerintah Hindia, pengarangnya dianggap pengkhianat, seperti halnya Max Havelaar yang reaksioner. Sampai-sampai M.H. Szekely-Lulofs dijuluki ''Multatuli Perempuan''. Kemudian, Drama Di Boven Digoel karya Hoay (peranakan Tionghoa), di mana Rieger (1989) menganggapnya sebagai karya monumental yang hanya dapat disejajarkan dengan roman-roman ''Pulau Buru''-nya Pramoedya Ananta Toer.
Lantas apakah benar seperti yang diyakini para pengamat sastra saat ini, terutama para pemerhati sastra poskolonial, bahwa pendirian sebuah kantor dan penerbitan kala itu yang bernama Kantoor Voor de Volkslectuur/Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang merupakan pergantian dari Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), hanya sebuah usaha tandingan mematikan kreativitas bumi putra dengan karya picisannya yang reaksioner? Juga hanya sebatas jalan melapangkan politik etis (balas budi) picik Belanda; dalam hal ini misi edukasi yang merupakan salah satu peranti bagi pembenahan tragedi kemanusiaan Cultuur Stelsel (tanam paksa).
Apalagi, juga tercium desas-desus, berdirinya BP pada mulanya sengaja diniatkan untuk menyumbat aliran bacaan liar yang kian deras, yang membuat gerah pemerintahan Belanda. Indikasi dari adanya dugaan tersebut, bisa dilihat dari karya-karya terbitan BP pra-kemerdekaan yang menokohkan bangsa penjajah sebagai protagonis; begitu pula mengelu-elukan tokoh-tokoh inlander yang mendukung bangsa penjajah. Aura ini bisa kita rasakan pada novel Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan semacamnya. Kendati karya-karya BP tidak jamak berwatak demikian. Dalam artian, tidak semua karya BP mendukung status quo penjajah. Sebaliknya, karya-karya yang diterbitkan para penerbit partikelir (swasta) menampilkan sosok bumi putra sebagai tokoh-tokoh antagonis yang terstigma jahat, licik, penjilat, dan picik.
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam suatu pernyataanya --setelah sekian tahun bekerja di kantor yang nota bene milik pemerintah kolonial itu-- mengamini hal ini. Sebelum kemerdekaan, ketika BP masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, novel-novel yang diterbitkan BP jarang, bahkan tidak banyak, yang mengulas tentang politik. Kalau ada masalah politik, itu hanya diceritakan dalam dua novel saja, yaitu Cinta Tanah Air-nya Nur Sutan Iskandar (1944) dan Palawija-nya Karim Halim (1944).
Akan tetapi analisis kontemporer menyebutkan, novel-novel yang seakan memprotagoniskan penjajah itu ternyata juga berwatak subversif. Cuma sayang, kata-kata subversif yang tersirat dalam novel tak terbaca masyarakat, atau tak terendus. Berbeda dengan tradisi sastra non-BP yang kontras menghadapi tirani. Dengan pencipta yang rata-rata golongan kiri, dengan bahasa yang berapi-api (tersurat); menghasut untuk memberontak dan reaksioner. Novel-novel seperti ini bukan pula novel yang diklaim masuk jajaran anakronis (menyalahi zaman). Mungkin karena mewarisi karakter yang sebenarnya dari jati diri bangsa saat itu (rindu kebebasan dan lelah dieksploitasi). Sastra non-BP tak jarang juga lebih bisa menampilkan hal-hal yang menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tema-tema yang diangkat pun dapat mewakili realitas yang ada (mengambil peristiwa-peristiwa nyata yang populer), meskipun kurang mempertimbangkan dampak moral maupun politisnya. Toh, kendati tetap disebut bacaan liar atau roman picisan (panglipur wuyung), nyatanya sastra non-BP dalam masyarakat pribumi kala itu, tetap lebih dominan dibanding sastra tradisi BP. Pertanyaannya, jika permulaan sastra Indonesia modern misalnya, dipatok dari tradisi BP atau angkatan Pujangga Baru, cukup mewakilikah karya-karya mereka terhadap penderitaan rakyat di masa penjajahan itu?
Walhasil, dengan menengok dan menimbang kembali sejarah sastra Indonesia, adalah sebuah usaha mendefinisikan ulang secara riil kesusastraan dan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Kapan sastra Indonesia modern ada dan mengada, semua berawal dari membaca dan menyingkap sisi lain dari sastra Indonesia itu sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah perjuangan untuk menempatkan kembali bahasa nasional sebagai wahana menyatukan ke-bhinekaan Nusantara. Dengan begitu, kita diharapkan mampu memperjuangkan kembali cita-cita negara Indonesia; tumbuhnya kesadaran historis dan tetap bersikap kritis terhadap kemungkinan adanya rekonstruksi historisitas yang bisa jadi hanya fiktif. (*)
* Misbahus Surur, pembaca sastra, mahasiswa S-2 UIN Malang
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Januari 2009
No comments:
Post a Comment