-- Deddy Arsya*
BAGAIMANAPUN kondisinya hari ini, sebuah wilayah teritorial dan administratif yang bernama Sumatera Barat dalam perjalanan sejarahnya, “menganggap” integrasi lahir dari harmoni atas konflik. Meskipun dalam kenyataannya, ketegangan tersebut terjadi tidak melulu di tataran ide, tetapi telah masuk dan merembes ke lingkup yang lebih keras dan terkadang brutal. Namun secara umum, dialektika sepanjang sejarah daerah ini, menjadi penting dalam membantu perkembangan embrio pemikiran dari zaman ke zaman.
Zelfeni Wimra mencoba mengajak membicarakan (untuk tidak mengatakan memperdebatkan) bagaimana sesungguhnya peta perjuangan penulis generasi mutakhir. Hubungan sastra atau kepenulisan secara umum dengan hegemoni dan ekonomi acap pula disinggung olehnya. Ia sering membenturkan dua kepentingan tersebut, antara menulis sebagai perjuangan di satu sisi dengan menulis sebagai sumber nafkah di sisi lain. Antara penulis yang dapat dilahirkan kondisi alam begitu saja dan dengan kondisi yang sengaja diciptakan untuk melahirkan gariah kepenulisan yang kokoh.
Yang mengikuti perkembangan kepenulisan di Sumatera Barat satu atau dua tahun terakhir akan tahu, tulisan Zelfeni Wimra di koran ini yang berkepala Penulis [Muda], Apa yang Kau Perjuangkan? (22/7/2007) dibalas dengan tulisan pula oleh Faiz Mohamad dengan argumen biasa yang digunakan banyak pekerja kratif: Kita harus tetap berkarya, tak perlu merumuskan siapa lawan siapa kawan. Selama persoalan ada, selama itu pula penulis (sastrawan) berjuang.
Tetap sesungguhnya, diskursus semacam yang diangkatkan Zelfeni Wimra dan Faiz Mohamad telah diulang-tayang beberapa kali hampir sejak puluhan tahun yang silam. Setidak-tidaknya sejak kapitalisme masuk ke dalam ruang kerja kreatif dan menjadi tato yang tidak bisa hilang di kulit tubuh.
Di tahun yang sama, konflik pemikiran lain yang kita temukan di koran ini terjadi antara Nurul Fahmi (15/10/2007) yang mencoba membantah tulisan Profesor Hassanudin WS (7/10/2007). Sang Profesor mengatakan, generasi muda larut dalam sifat hedonis yang manja, kehilangan identitas keintelektualan, dan nyaris tak punya pijakan yang kokoh di tengah hempasan perubahan yang sarat.
Nurul Fahmi intinya mengatakan bahwa sang Profesor terlalu menohok yang muda. Padahal jika hendak jernih melihat, prestasi generasi terkini tidak kalah hebat. Profesor seharusnya menyadari generasi tertentu milik zaman tertentu pula. Studi komparatif lintas generasi selayaknya dipandang dengan bijak dan jernih, dengan menempakan penilaian berdasarkan konteks zaman yang tepat. Tidak hantam-buta seperti itu.
Setelah bantahan terhadap tulisan Profesor keluar atau diterbitkan, entah redaktur koran yang tak mau memuat umpan-baliknya, atau sang Profesor yang tidak lagi bernafsu untuk menghajar balik. Yang jelas, diskursus menjadi dingin, hambar, dan nyaris tanpa riak yang berarti. Seorang teman mengatakan, hampir di setiap koran Minggu di daerah ini kita menemukan kembali tulisan-tulisan yang tak menggairahkan (maaf atas kalimat ini).
Nah, nasib serupa terjadi pada kasus Zelfeni Wimra dan Faiz Mohammad yang berkonflik hanya serupa patuih tongga saja. Tak ada kelanjutan yang berarti yang dapat memuaskan tanya-jawab kita. Apakah yang hilang dari halaman koran-koran daerah ini, terutama pada Edisi Minggu yang banyak memuat tulisan-tulisan kebudayaan khususnya seni dan ulasan sastra beberapa tahun belakangan ini?
Saya ajukan: Diskursus segar yang membangkitkan gairah berpikir di antara kita. “Kita”, yang bisa dalam ruang lingkup pekerja kreatif maupun masyarakat luas secara umum. Kalau pun ada dialektika, hanya berlangsung sepintas lalu, di mana satu pihak terpaksa mengalah, dikalahkan oleh redaktur koran mungkin, atau mengalahkan diri. Dan dialektika berhenti dengan sendirinya.
Dialektika yang diperkirakan bakal hangat, bergemuruh, dan berlantun-lantun terjadi ketika Profesor Salmadanis berbicara di sebuah forum mengomentasi puisi-puisi Taufik Ismail. Puisi Taufik, dikatakan sang Profesor, “sejajar” dengan ayat-ayat al-Quran. Namun, dugaan awal itu meleset. Satu tulisan bantahan, dan satu umpan-balik dari sang Profesor, tampaknya sudah cukup menjadikan suasana tentram-damai kembali.
Kita memang bisa berbangga hati karena beberapa waktu belakangan ini, kita banyak menemukan tulisan-tulisan kebudayaan setiap minggu. Tetapi kita nyaris hanya membaca catatan-catatan yang seperti diktat, maupun laporan-laporan yang juga bisa kita temukan dalam banyak buku dan setumpuk jurnal antropologi. Lalu untuk apa sesungguhnya kita membeli koran Minggu jika tulisan-tulisan kebudayaan yang dimuat di dalamnya telah pasai kita baca di banyak buku.
Tulisan-tulisan yang barangkali kemudian hanya berupa fegmen-fregmen yang tak selesai saja. Kita mungkin memang tidak perlu cemas kekurangan penulis di Sumatera Barat ini. Apalagi penulis sastra dan budaya. Banyak penulis muda lahir dan berkembang, lalu dengan cepat menerobos koran-koran nasional. Untuk koran daerah saja, kita menemukan penulis-penulis muda yang masih segar dan penuh semangat dengan kuantitas tulisan yang mencengangkan kita.
Lalu, jika demikian adanya, untuk apa lagi kita mesti berdialektika, berkonflik pemikiran? Jika persoalannya, biarkan saja orang-orang “bertengkar”, kita harus tetap berkarya, harus tetap menulis. Kita tentu bisa saja khawatir bahwasanya kita sesungguhnya tengah berjalan di atas danau musim dingin. Jika musim berubah, kerak-kerak es di atas danau yang kita pijak akan retak dan mencair, kita akan tercebur dan mati beku.
Atau dengan kata lain, pekerja kreatif di Sumatera Barat ini hanya akan menunggu mati saja karena perlahan-lahan kehilangan gairah berdialektika, karena cendawan yang tumbuh di musim hujan itu tidak dikawal oleh diskursus yang segar. Karena tidakkah penyegaran pemikiran terletak atau lahir dari dialektika yang terus-menerus dan berkelanjutan?
Sesungguhnya, tulisan Esha Tegar Putra di koran ini (04/01/2009) dengan kepala Jejaring Kesusastraan [Refleksi Kesusastraan Sumatera Barat], sedikit banyak sudah mencoba mengetangahkan sebab di wilayah kesusastraan maupun di wilayah kesenian lainnya secara umum. Kurangnya apresian dan kritikus yang rajin dan tekun (karena masyarakat kita yang rabun membaca dan menulis—seperti yang diduga Taufik Ismail), menyebabkan koflik pemikiran tak begitu muncul ke permukaan.
* Deddy Arsya, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ilmu Budaya - Adab, IAIN Imam Bonjol Padang
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment