-- Asep Salahudin*
"Integrated Reality#1" 60x90 cm Digital Type C Print Karya Rizky R. Utama (OQ).* SSAS
HAMPIR tidak ada yang menyangsikan kebesaran nama Haji Hasan Mustapa dalam tradisi dan budaya Sunda. Haji Hasan Mustapa inilah yang pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2009 dalam sebuah seminar dikaji di al-Jamiah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung atas kerja sama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Monash University, dan Pusat Studi Sunda.
Haji Hasan Mustapa disebut-sebut sebagai The Great Sundanese Mystic (Seorang Sufi Besar Sunda). Ajip Rosidi mendeskripsikannya sebagai mistikus dan filsuf Islam yang hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda.
Perhatian Haji Hasan Mustapa sangat luas membentang mulai persoalan tasawuf sampai etnografi Sunda. Tema-tema yang dibahasnya dielaborasi dengan perenungan mendalam dan dibalut dengan gaya ungkap metaforis sehingga seringkali memberikan ruang bagi pemaknaan yang beragam di samping kemungkinan untuk diapresiasi dengan salah paham.
Di tangan Haji Hasan Mustapa, tradisi bukan sebagai sesuatu yang statis, namun benar-benar dihidupkan kembali dengan muatan makna baru termasuk tradisi keislaman. Ketika cerita Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi dikedepankan, ada muatan makna religiositas lokal yang mencuat.
Pribumisasi
Seandainya pada 1980-an, Abdurrahman Wahid pertama kali melontarkan gagasan pribumisasi Islam yang menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing sehingga tidak perlu lagi ada yang namanya agenda pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah, maka sesunggunya kalau kita cermati jauh sebelum itu kesadaran yang sama telah tumbuh dalam jiwa Haji Hasan Mustapa tentu saja dengan ideom yang berbeda.
Bagaimana misalnya, Haji Hasan Mustapa menegaskan tentang keniscayaan Islam berdialog secara kreatif dengan tradisi lokal (Sunda). Ketika Islam datang ke tatar Pasundan, kedatangannya itu tidak identik dengan proses peminggiran terhadap budaya lokal yang sudah hidup ratusan tahun lamanya, tetapi justru harus mengakomodasi budaya yang hidup. Dalam ungkapannya yang menarik, "Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab." Dalam pemaknaan Islam pribumi, Islam dibebaskan dari puritanisme, radikalisme, dan segala bentuk pemurnian Islam dan pada saat yang sama kearifan lokal tetap terjaga tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.
Perkawinan budaya
Proses kreatif mengawinkan Islam dengan budaya lokal inilah yang seringkali menimbulkan salah pengertian bahkan ketegangan di antara para ulama, apalagi Islam yang dikembangkan Haji Hasan Mustapa bukanlah Islam eksoteris (fikih), namun Islam esoteris (tasawuf). Ia kerap dituduh sebagai zindik dan kapir seperti dalam pengakuannya: beja majarkeun kaula//geus leungit elmuning santri//geus ngaruksakeun agama//jadi kapir jadi zindik//zindikna jadi mungkir//kana tutur lampah rasul//kana salat puasa//ana malik kula nyeuri//kahuruan ngajawab jeung handuruan. Namun akhirnya, Haji Hasan Mustapa sebagai seorang pemikir soliter hanya cukup mengapresiasi ketidaksetujuan ulama lainnya itu dengan ungkapan:
Kiwari tacan arusum
Nepi kana pamake kami
Heulaanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Sapedah kula kitu
Matak risi nu sisip budi
Budi daya kula
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masyaallohna
Kajen teuing hararemeng galih
Moal matak doraka
Bahkan, ia juga dengan atraktif menyerukan kepada alim ulama dan para khatib untuk setia dan terus berkhutbah dan berceramah dengan menggunakan media bahasa Sunda sebelum dua tahun yang lalu Ajip Rosidi menegaskan bahwa agama adalah rasa dan yang paling efektif untuk menyampaikannya adalah dengan bahasa rasa (bahasa Sunda) sehingga tidak perlu khatib ceramah memakai bahasa Melayu jika tidak justru mereka ikut ambil bagian dalam proses sakratulmautnya bahasa Sunda. Haji Hasan Mustapa menulis:
""Pondokna wae, ngawalatrakeun pangaji Kuranul Adim, Alloh jeung para Nabina sing walatra kahartina kasurtina, sugan sabasa-sabasana. Jadi diurangna pangheulana hutbah mending ku basa Sunda. Barangtangtu panglaerna jampe wudu, jampe adus, telikin ku basa Sunda".
Manusia kosmopolit
Kedalaman perenungan keagamaan Haji Hasan Mustapa sedikit banyak dipengaruhi oleh track record dirinya yang cukup tuntas mendalami ilmu-ilmu agama mulai dari fikih, nahwu, sharaf, tauhid, sampai tasawuf. Belajar tidak hanya di nusantara kepada Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra`I (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura), namun sampai ke luar negeri ke Syekh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, Sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi yang ada di Mekah.
Haji Hasan Mustapa pada sisi lain, juga merupakan cermin manusia kosmopolit yang tidak kehilangan jati diri kesundaannya. Ia tuntas memahami kultur Sunda, Arab, dan juga kultur lainnya seperti Jawa dan Madura. Tiga yang terakhir itu dilakukan ketika melakukan lawatan budaya secara intens bersama karibnya tahun 1889 Snouck Hurgronye keliling Jawa dan Madura seperti didokumentasikannya dalam Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java.
Kekayaan pengalaman ini pada gilirannya telah membentuk Haji Hasan Mustapa menjadi pribadi yang toleran, bijak, dan selalu berpikir dengan paradigma ragam banyak kemungkinan. Paradigma seperti ini yang dengan penuh kesadaran, membuat Haji Hasan Mustapa lebih tertarik untuk mengemas pemahamannya dalam bentuk dangding dan guguritan di samping dialog imajinatif yang cerdas dan jenaka. ***
* Asep Salahudin, Pemerhati kebudayaan Sunda, mahasiswa doktoral Unpad Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Januari 2009
No comments:
Post a Comment