-- Theresia Purbandini
BENDERA demokrasi yang telah berkibar sejak tahun 1998 hingga kini belum mampu menggaungkan sastra di telinga masyarakat yang makin terjebak dalam deru arus modern. Namun dunia sastra yang masih minim perhatian dan kurang diperhitungkan, dewasa ini makin menggeliat di sejumlah kolom-kolom koran daerah maupun nasional.
Karena desakan kebutuhan akan komunikasi dan informasi yang makin muktahir telah merajai peradaban kehidupan sosial masyarakat, maka kebutuhan informasi yang dulu mungkin hanya bisa didapat melalui tatap muka, tetapi kini seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih dewasa ini, sudah dapat diakses melalui koran, radio, televisi, telepon bahkan internet.
Tuntutan kebutuhan terhadap informasi dalam masyarakat sebagian telah dapat dipenuhi melalui sarana telematika. Melalui sarana telematika orang dengan cepat dapat dengan mudah mendapatkan informasi dari belahan dunia mana pun. Sihar Ramses Simatupang yang juga aktif sebagai pewarta sastra selain menelurkan beberapa antologi puisi menuturkan tentang fenomena jurnalistik berinternet (cyber journalism) yang menjadi alternatif selain majalah atau koran. “Makin banyak media justru makin banyak karya sastra yang dapat diangkat. Di balik nama besar sebuah koran ataupun majalah, kualitasnya terkadang dipertanyakan, kendati diterima,“ ujarnya saat dihubungi oleh Jurnal Nasional, Jumat, (16/01/09).
Fenomena Cyber
Fenomena jurnalistik berinternet inilah yang sempat menjadi perdebatan sekitar pertengahan tahun 2001 yang dianggap tidak baku dalam melahirkan karya sastra dibanding media cetak yang pada awalnya sempat pula menuai protes karena pernah diragukan kualitasnya. “Sastra kontemplatif sempat tidak diakui secara konstekstual dalam dunia media,” tambah pria yang juga mempublikasikan karya puisinya di berbagai situs ini.
Walaupun sedikit yang menonjol seperti majalah sastra Horison dan Kalam, dan di balik nama besar media cetak seperti Kompas, Republika, Sihar menganggap internet tak hanya menjadi basis yang sekadar spiritualis dan kultural tapi juga mementingkan metafora sebagai bagian dari penciptaannya. “Sayangnya, pengelola cyber sendiri kurang begitu serius sehingga jarang ada yang bertahan. Mungkin karena pengaruh demokrasi sehingga terjadi seleksi internal yang mengakibatkan perpecahan,” ujar Sihar mencoba menggambarkan proses di situs sastra internet.
Meskipun sudah tak asing lagi namun pemanfaatan jurnalistik berinternet masih terbilang kalah dibanding media cetak khususnya surat kabar, majalah, dan jurnal-jurnal karena biayanya hingga saat ini terasa lebih murah serta mudah didapatkan.
Berbeda dengan Zen Hae, yang mengungkapkan sejauh penelusurannya, kritik sastra dalam internet dianggapnya hanya cacian maki sesaat yang hampir tak pernah ditelaah secara teoritis. “Sebenarnya sah-sah saja, mengkritisi tanpa dilandasi teori; namun tetap harus mengkritik secara ‘disiplin’,” kata penyair yang juga menerbitkan buku kumpulan cerpen Rumah Kawin (Kata Kita, 2004) ini.
Seorang kritikus yang ideal, bagi Zen harus menarik jarak dari kebisingan serta menelaah secara teoritis, meskipun diakui kritik yang ia lebih apresiasi tak melulu harus berlandaskan pakem teoritikal. Ini juga disepakati oleh Sihar. “Kritikus sastra seharusnya memang dilatarbelakangi pengetahuan sastra dengan telaah akademis, didukung pengetahuan filsafat, ekonomi, politik, yang akan memperkaya nilai ekstrinsik karya sastra,” pungkas Sihar.
Kelahiran nama besar kritikus sastra seperti HB Jassin diakui Sihar dan Zen dapat dianggap sebagai salah satu generasi kritikus sastra pada era era 50 hingga 60-an. "Kini, Saut Situmorang, Ribut Wijoto, Nirwan Dewanto, Ahmadun Yosi Herfanda, cukup diakui karena produktivitasnya,” papar Sihar memberi contoh. “Banyak pula kritikus yang tidak cukup menonjol di perkampungan atau daerah, namun secara nasional kurang menonjol,” ujar Zen menambahkan.
Memberikan Pencerahan
Banyaknya kecenderungan pengamat yang berperan ganda diusulkan oleh Sihar akan lebih baik adanya bila munculnya keseriusan satu bidang yang dilakoninya. “Seharusnya ada orang dari akademisi sastra yang muncul sebagai pengamat yang telah dilatari bekal cukup. Menjadi pertanyaan, apakah dunia sastra yang tak bisa mendekatkan diri dengan lembaga akademis atau sebaliknya?” tanya Sihar.
Secara obyektivitas mungkin sebuah kritik tak dapat dipertanggungjwabkan maksimal. Hal ini diakui Sihar akan menjadi bahan penelitian yang sulit dibuktikan, mengingat maraknya kerjasama antara penyair dan pengamat yang terkadang terpengaruh oleh gaya penulisannya sendiri. “Sebatas kritikus mampu menguraikan segi terdalam dari sebuah karya sastra, dan memberikan pencerahan bagi pembaca melebihi sisi penulisnya, itu akan menjadi kritik yang baik,” kilah Sihar.
Sementara perkembangan media tidak berbanding searah dengan regenerasi pengamat sastra yang menelaah karya sastra fenomenal. Seperti yang dilontarkan oleh Zen mengenai novel Ayu Utami yang berjudul Saman yang tak menuai kritik sebanyak apresiasi terhadap karyanya. “Karya sastra lahir begitu banyak, bahkan masih banyak lainnya yang melalui penerbit-penerbit kecil dan yang lahir melalui antologi karya-karya sastra lainnya, namun masih harus dibedah lebih dalam,” sambung Sihar.
Berbicara tentang metode kritik yang mendapat pengaruh dari Barat, ditanggapi Zen dengan sikap apatis. Seperti novel yang muasal dari Belanda, atau puisi yang berasal dari Paris atau Arab, sedangkan yang murni dari Indonesia mungkin pantun atau hikayat yang juga merupakan turunan dari Melayu yang sudah bercampur dengan budaya lokal.
“Kita mendapatkan sastra karena pengaruh budaya Barat, jadi biarkanlah mengalir tanpa harus dicari asal usulnya karena semua pengaruh dari luar itu bukanlah ancaman,” ujar Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang memprakarsai sayembara kritik sastra setiap tahunnya.
Di sisi keterpengaruhan ini, Sihar setuju dengan Zen. Menurutnya metode kritik sastra dapat saja melompat dari dunia global maupun nasional, karena teori Yunani dan lisan Jawa dengan pemikiran Arab telah bergulir jalin-menjalin menjadi satu napas dalam dunia sastra mutakhir.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 18 Januari 2009
No comments:
Post a Comment