Sunday, January 18, 2009

Menyejukkan Jakarta yang Sumpek lewat Seni

-- Eri Anugerah

JAKARTA tidak berhenti dengan kemacetannya saja. Hiruk-pikuk perpolitikan turut serta 'mengotori' dan 'merusak' pemandangan kota metropolis ini. Aneka selebaran dan spanduk-spanduknya berada di sepanjang dan sudut jalan. Sarana dan prasarana publik tak luput dijadikan sasaran 'otak politik'. Jakarta semakin terasa tidak nyaman. Apalagi dalam beberapa hari belakangan ini, hujan tanpa ampun terus-menerus mengguyurnya. Banjir diiringi derita menambah hiasan kumuh kota metropolis yang sudah telanjur kumuh ini.

Namun, dalam dua minggu belakangan ini ada juga pemandangan yang berbeda di sekitar jalan-jalan protokol dan di beberapa sudut kota yang dulunya bernama Batavia ini. Coba Anda lewati Jalan Sultan Agung, Dukuh Atas, Jalan Pintu Kecil, Pasar Pagi, Stasiun Kereta Cikini, Jalan Piere Tendean, depan kantor Trans TV, Stasiun Kereta Cakung, Kwitang, Jalan TB Simatupang, depan gedung Antam Tanjung Barat, dan depan Kebun Binatang Ragunan.

Di tempat-tempat tadi, bisa dijumpai mural-mural yang mengutip bait-bait puisi dan prosa bertema Kota Jakarta, yang ditulis antara lain oleh Afrizal Malna, Ajib Rosidi, Arifin C Noer, Chairil Anwar, Eka Budianta, F Rahardi, Goenawan Mohamad, Hamsad Rangkuti, Misbah Yusa Biran, Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, dan Sitor Situmorang.

Kali ini karya sastra seperti melompat ke jalanan dengan terang-terangan mewarnai wajah kota dalam rangkaian Biennale Seni Rupa Jakarta XIII 2009. Jika selama ini karya sastra dinikmati di ruang-ruang tertentu dan sangat terbatas, oleh kalangan yang terbatas pula, dengan program Jakarta Biennale 2009, warga bisa menikmati pesona karya sastra melalui kaus, mural, dan stiker.

"Program Sastra di Ruang Kota akan menebar teks-teks sastrawi secara luas yang menghiasi tembok-tembok kota dan fasilitas-fasilitas publik," ungkap Marco Kusumawijaya, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta yang menggelar acara Biennale Seni Rupa Jakarta XIII 2009, kepada Media Indonesia.

Pelaksana kegiatan, Mirwan Adnan, menambahkan, pada intinya Sastra di Ruang Kota merupakan program yang berusaha lebih mendekatkan karya sastra Indonesia kepada publik melalui berbagai media, berupa 12 ribu lembar stiker, 10 mural, dan 500 kaus yang dibagikan gratis.

Dibuka lewat pameran fotografi, pameran Ruang Perempuan di Galeri Cipta III TIM, awal Desember lalu, bienial (dua tahunan) 2009, ini menampilkan format yang berbeda ketimbang bienial yang digelar di tahun sebelumnya.

Jakarta Biennale 2009 yang berlangsung selama lima bulan, yaitu sejak 2 Desember 2008 hingga Maret 2009 mendatang ini mengusung tema Arena. Medium seni rupa yang akan digelar kemudian ditampilkan dalam beberapa lintasan genre, mulai dari pameran seni rupa, pentas tari, teater, sastra, hingga lokakarya seni yang melibatkan masyarakat umum, bahkan seni komik yang melibatkan beberapa penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang.

Di bienial tahun ini, menurut Ade Dharmawan, Direktur program Jakarta Biennale 2009, ada tiga zona. Pertama, zona pemahaman, ditujukan untuk seniman dan publik dalam melakukan refleksi, interpretasi, dan kolaborasi untuk memahami apa sebenarnya yang terjadi di Ibu Kota negara ini.

Kedua, zona pertarungan, karena melihat gejala terkini bahwa tak bisa melihat seni rupa dari satu angle saja, tapi melalui interdisiplin. Tak hanya melibatkan seniman, tapi juga desainer, media, aktivis sosial, ilmuwan sosial, dan pembuat film untuk membuat proyek di ruang publik. Sementara itu, ketiga adalah zona cair, yaitu tertuju ke wilayah lebih luas.

"Ini metafora, bagaimana di Asia Tenggara terjadi, akan ada venue, kita tarik kegiatan tak hanya di ruang seni, tapi juga ruang publik, halte, stasiun, dan perkantoran. Kita juga mengajak komite yang lain untuk bekerja sama. Misalnya, bersama komite sastra di dewan, kita memilih sastrawan dari 1930-an sampai sekarang lalu kita perkenalkan ke ruang publik," ungkap Ade.

Sastra dalam lingkup besar tak diinginkan hanya terjebak pada konsep artistik, tapi juga lewat riset, kolaborasi, dan mengajak masyarakat untuk berkolaborasi. "Jadi, kita inginnya seni akrab dengan masyarakat."

Kurator di bienial ini, Agung Hujatnika Jenong, menambahkan, secara keseluruhan zona-zona yang dijaring tak hanya di lingkup komunal, tapi juga diharapkan lebih luas dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat.

Apalagi kondisi di Jakarta yang selalu disuguhi kondisi jalanan kota yang macet setiap hari, yang belakangan disesaki dengan selebaran dan spanduk caleg-caleg dan partai politik tanpa memedulikan kaidah keindahan. Maka menghadirkan seni di tengah-tengah masyarakat, seperti mural bertuliskan syair puisi tampaknya lebih manusiawi. Menyejukkan.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Januari 2009

No comments: