MAKA terbuktilah semuanya. Bahwa hidup seseorang selalu berdekatan dengan kesepian. Dan itu sesungguhnya terjadi dalam diri siapa saja. Pun seorang presiden! Baharuddin Joesoef Habibie merasakan itu ketika suatu malam rantai sejarah itu melingkarinya, ia sangat kesepian. Pengakuan pria bertubuh kecil itu diungkapkan dalam Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (THC Mandiri, 2006).
Sedangkan maha karya Roman Klasik yang Menggugah ini, David Herbert Lawrence (1885-1930) menyuguhkan tentang kesepian yang sangat dalam. Jauh di bawah ngarai yang sepi. Bahkan lebih. Siapapun tokoh di dalamnya, semuanya ingin mengungkapkan tentang kesepian itu. Seberapa dekatnya, seberapa pun intimnya kehidupan itu terjadi, kesepian tetaplah ada dalam sudut hati seseorang. Itulah sebuah dasar dari semua dasar di dalam jiwa manusia.
Tetapi bagaimana semua itu tidak kelihatan di permukaan? Manusia sepertinya sangat bahagia dalam hidupnya. Tiada lain adalah penipuan. Penipuan terhadap diri sendiri dan tipuan terhadap lingkungannya. Begitulah Lawrence mengatakannya dengan jujur.
Roman klasik ini mengalami revisi sebanyak tiga kali. Memiliki perjalanan yang rumit. Di Amerika sempat ditolak, tetapi cetakan bajakannya tetap beredar. Malahan Lawrence mencicipi royaltinya yang dikirim oleh pemilik sebuah toko buku. Dengan karya ini pula, Lawrence dipandang terlalu vulgar mengungkapkan hal purba dalam hidup manusia. Seks. Tetapi sebenarnya Lawrence ingin mengatakan sebuah kejujuran hakiki dalam hidup ini. Tidak ada tipuan dengan mengatasnamakan kekuasaan, daerah biru, dengan bingkai kehormatan. Jika itu terjadi, betapa keroposnya jiwa manusia itu.
Lawrence seperti bersependapat dengan Sigmunt Freud. Hidup adalah seks. Jangan dustai itu. Jika ada yang melewatinya dengan seribu alasan seperti dikatakan Cliford maka hal itu adalah pelarian semata. Cliford mencoba untuk lari dari kenyataan. Hidup dalam angan-angan abadinya. Padahal, realitas dan harmoni itu memaksa untuk berjalan. Bahwa hidup manusia butuh seks! Namun apalah daya dirinya yang impoten dan lumpuh dengan segudang harta di Wragby? Tiada yang patut dibanggakan dan tak mesti dibanggakan, jika hal yang paling mendasar dalam hidup tidak mampu lagi dicapai.
Demikianlah sang isteri tercinta, putri Chatterley's, Connie yang kesepian itu. Lari dan berlari. Jauh dan menjauh. Mencari dan mencari. Walau akhirnya ia dapatkan dari seorang tukang kebun, karyawan Clifford ia tetap bahagia. Merasakan benar-benar jadi perempuan! Perempuan yang sempurna. Maka pada waktu itulah, tidak ada lagi norma, kelas, yang hanya menjadi tipu daya bagi orang-orang yang tak mampu membahagiakan dirinya.
Tetapi kebahagiaan selalu harus diperjuangkan. Harus ada yang dikorbankan. Connie mencampakkan kehormatan yang disandangnya di Wragby Hall. Sebuah istana yang angkuh. Ia menemukan di pondok kecil di tengah hutan. Di antara pohon oak dan bunga-bunga liar. Sementara, di Wragby Hall ia hanya mendapatkan kehormatan semu yang menjemu.
Roman ini sudah sangat tua. Tetapi realitasnya selalu ada di depan mata kita. Betapa manusia selalu lari dari kenyataan. Menutupi fitrah itu dengan sempurna. Lalu fitrah itu seakan-akan tabu adanya.
Ditulis dengan segudang narasi persoalan sosial, novel ini dianggap vulgar ketika ia bersentuhan dengan pencarian kenikmatan. Sangat vulgar. Tetapi demikianlah gaya Lawrence mengajak pembaca masuk dalam kehidupan Michealis dan Connie yang begitu jujur dan telanjang. Rasa Inggris yang romantis sangat kental, kritik sosialnya sangat tajam, begitu lihai Lawrence meletak posisi dan presisi.
Buku ini patut dibaca oleh orang-orang ambisi terhadap segenap kehormatan dan kekuasaan semu. Agar tahu, hidup pada dasarnya adalah menunggu kematian. Mempertahankan hidup merupakan pekerjaan yang sudah ditetapkan. Meneruskan generasi adalah fitrah. Sedangkan seks adalah perihal utama dalam hidup ini.
Sebuah buku yang sangat merusak gendang telinga kaum bangsawan. Anti kemapanan. Mempersoalkan keangkuhan. Karena memang, secara jujur dikatakan, cinta, seks, kepuasan batin adalah pencarian yang hakiki dari hidup ini.
Bila ada pendapat, teks sastra berkualitas akan mampu hidup mandiri, salah satunya pembuktian itu adalah karya DH Lawrence ini. Ia memang lekat dan akrab dengan cara manusia untuk bertahan hidup. Bertahan hidup dengan segala cara. [abdullah khusairi]
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 04 Januari 2009
No comments:
Post a Comment