Sunday, January 18, 2009

Bingkai: Masa Depan Sastra Indonesia

-- Beni Setia*

RABU petang (7-1), seorang kawan mengirim SMS lolongan untuk satu prosesi (bakal) penguburan. "Turut berduka cita atas makin terpuruknya kehidupan Sastra di Indonesia. Setelah koran MI menghapus sastra dari jiwanya, sekarang giliran R"--perbaikan ejaan dan penyingkatan nama oleh penulis. Dan sampai malam, saya tidak tahu harus bagaimana menjawab tohokan itu.

Baru di pagi hari saya memutuskan meneruskan pesan itu, dan mendapat umpan balik yang lebih mengagetkan. Teks-teks yang membimbing pada kesimpulan ironik: Sastra Indonesia mengalami set back, kembali ke era Amir Hamzah--ditulis sebagai pilihan sunyi identitas rahasia setelah selama ini si bersangkutan lebih dikenal sebagai insinyur, dokter, guru, wartawan, politikus, pejuang kemerdekaan atau apa saja yang di ruang publik kelihatan necis, berkelas, dan terhormat. Zaman di mana penyair murni macam Chairil Anwar kelihatan aneh, suka numpang tidur, banyak ngutang di warung dan numpang makan di rumah pacar, banyak merokok--dibeli eceran dari honorarium puisi--dan mencuri buku.

Apakah sastrawan murni akan mengalami masa surut, jadi yang batuk-batuk dan berhalesduk seperti ikon seniman dramatron televisi 70-an. Sekaligus, apa penyebab dari beberapa koran mempertimbangkan kehadiran rubrik sastra.

Ini terkait dengan fakta: edisi Minggu koran S di Jawa Timur, mulai Maret 2008 (?) mem-push resensi buku ke rubrik sastra, sehingga satu halaman harus dibagi dua, sebelum kemudian menghapus keduanya. Atau suplemen budaya 4 halaman tiap Sabtu koran PR di Jawa Barat sejak November 2008 hanya terbit dua minggu sekali dan dengan teks sastra yang siap digusur iklan yang masuk di limit deadline cetak.

***

Booming industri pers, terutama koran, dipicu gairah berpendapat dan mengkritik sebagai bagian dari kebebasan berekspresi di satu sisi, dan kemudahan menerbitkan koran karena Departemen Penerangan dan izin formal untuk usaha penerbitan dihilangkan. Penerbitan koran kini memasuki era pasar bebas, mengikuti sorga liberalisme.

Sebab itu, tiap penerbitan koran menjadi tergantung pada hukum ekonomi, di mana seluruh investasi ditoleransi selama sesuai dengan jadwal dan rencana pencapaian BEP--dan diikuti maraknya laba. Kalau investasi melebihi plafon terencana atau BEP tak sesuai jadwal, penerbitan itu harus dihentikan sebelum kerugian makin besar.

Sepuluh tahun terakhir kita melihat koran, tabloid, dan majalah yang diterbitkan oleh kelompok usaha pers besar tak terbit lagi karena alasan manajemen semacam itu. Tinggallah produk inti, yang sekuat tenaga dipertahankan dengan mempertimbangkan efek lain dari terbitan berkala yang berkorelasi dengan kehadiran pelanggan--pihak ketiga yang membelanjakan uangnya untuk promosi.

Iklan nyawa industri pers, bukan pelanggan yang diberi informasi dan analisis berita, meski kuantitas eksistensi totalnya dijadikan bargaining of position pada pihak pengiklan. Tak heran kalau ada redaktur budaya yang digeser karena ia ngotot minta halaman sastra tidak dikalahkan kebutuhan menampilkan iklan mendadak. Tak heran bila satu, setengah, atau seperempat halaman iklan lebih berharga dari puisi, cerpen atau esei.

Koran adalah industri. Majalah adalah industri. Satu per empat halaman beriklan lebih mendatangkan untung ketimbang sepersepuluh halaman puisi yang si penulisnya harus dihonorin. Mungkin akan menarik bila satu halaman budaya itu merupakan wujud CSR dari usaha penerbitan pers yang menangguk untung dari iklan di halaman lain--atau punya diversifikasi bisnis non-koran yang menguntungkan. Tapi bagaimana kuat dan tingginya tekad CSR budaya itu, pendekatannya selalu jangka panjang dan rubrik sastra pun dikalahkan iklan bisnis otomotif, properti dan kampanye partai sehalaman. Kini ditambah keuangan dunia yang lesu, ekspor yang merosot, pabrik yang hanya memanaskan mesinnya, harga kertas dan penunjang cetak yang tinggi, dan ekonomi rakyat yang kolaps yang menyebabkan halaman sastra dikorbankan demi iklan politik yang akan menggila 4--8 bulan ini.

Untungnya, kematian rubrik sastra MI tidak murni disebabkan berebut halaman dengan iklan, tapi lebih oleh dampak tak langsung dari polemik di antara Boemipoetra dengan TUK c.q. Utan Kayu International Literary Biennale 2007. Ketika itu ada opini yang menyerang TUK dan Biennale di MI, yang terbit dengan persetujuan si redaktur sastra MI, sementara M TV (anak perusahaan holding company yang menaungi MI) menjadi media partner Biennale.

***

Bisa dikatakan rubrik sastra MI jadi korban malpraktek--menyangkut masalah etika bisnis--sedangkan S, PR, dan R lebih karena pertimbangan instink (animalistic) bisnis yang menempatkan CSR sastra pada prioritas ekor bila potensi buat menangguk iklan di depan mata. Sastra direduksi kebutuhan meladeni belanja politik partai, calon anggota Dewan dan presiden pada 8 bulan ini--ada peraturan resmi ihwal pemerataan penayangan iklan politik.

Ini wajar bisnistikal. Yang abnormal justru fenomena sastra Indonesia yang selalu menumpang hidup pada kerangka dasar industri pers Indonesia. Ada masa Horison hidup dari tunjangan industri pers Indonesia, kini Horison hidup dari langganan (subsidional) Dindiknas dan Depag. Mungkin setengah tahunan lagi sastra Indonesia berdenyut oleh CSR industri pers Indonesia, koran terutama. Apa tak ada alternatif?

Jawabannya mungkin kita harus melirik dunia maya internet. Sastrawan mandiri mempublikasikan karyanya dalam blog pribadi dan dapat fee dari biaya download teks dari provider. Mungkin juga butuh manajer yang mampu mendatangkan iklan di blog dan dapat bayaran sesuai seberapa sering dan seberapa lama blog diklik. Kalau tidak, ya menunggu hibah CSR koran, sekian persen dari iklan.

Selain subsidi karya seperti anugrah KLA atau Pena Kencana itu. Meski Pena Kencana kini dengan rasionalisasi, sebab honorarium 100 puisi a Rp500 ribu menyebabkan biaya produksi antologi puisi lebih mahal dari antologi cerpen yang hanya 20 cerpen a Rp1 juta. Logika bisnis main, dan bukannya penurunan kualitas puisi seperti kata Linda Christanty.

Sastra sedang ditekuk pertimbangan bisnis. Sastra sedang dibunuh oleh etos abad XX, padahal awal kebangkitan humanistik dunia, cq renaisans Eropa, diawali, dan dirintis melalui sastra Yunani. Sebel!

* Beni Setia, lahir di Bandung, 1954. Menulis cerpen, puisi, serta esai sosial-budaya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009

No comments: