Sunday, January 11, 2009

Oase Budaya: Sejarah Sastra (yang) Belum Mendunia

-- Dwi Fitria

DI dunia internasional sastra Indonesia tertatih, kondisi yang seharusnya bisa diubah.

Sastra Indonesia belum mampu berbicara di kancah sastra dunia. Teknologi komunikasi yang semakin canggih tak berbanding lurus dengan perkembangan sastra Indonesia. Jauh di masa lalu, sastra Indonesia malah memiliki peran yang jauh lebih penting dalam kancah sastra dunia.

“Zaman dulu ketika teknologi tak secanggih sekarang, Indonesia justru memiliki karya yang amat berarti bagi sastra dunia. Lihat saja karya-karya Pujangga Lama, serat-serat, sajak-sajak Islam, I La Galigo, hingga puisi-puisi Jawa” ujar Radhar Panca Dahana.

Saat ini peran sastra Indonesia teramat minor, nyaris tak punya arti yang signifikan, bahkan di tingkat regional. Menurut Radhar sastra Indonesia saat ini hanya mampu berbicara di negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, di tengah-tengah kemajuan teknologi, dan perkembangan jalur informasi yang memungkinkan sastra disampaikan dalam medium yang amat beragam, sastra di Indonesia masih menekankan semata pada cara “lama.” Yaitu percetakan. “Kurangnya penguasaan terhadap jalur-jalur lain semisal e-book, membuat sastra Indonesia tak berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Radhar

Faktor lain yang juga merupakan penghambat yang amat signifikan adalah sedikitnya pengarang Indonesia yang menggunakan bahasa-bahasa internasional sebagai medium ekspresi mereka. Kebanyakan masih semata mengandalkan bahasa lokal. Penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing yang minim menurut Radhar juga menjadi penyebab gaung sastra Indonesia yang kurang terdengar. “Dibandingkan dengan masa 60-an dan 70-an, penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing, saat ini amat berkurang.”

Hal yang sama juga ditekankan sastrawan Warih Wisatsana, penerjemahan karya sastra kontemporer Indonesia yang tak memadai merupakan salah satu penyebab mandegnya perkembangan sejarah sastra Indonesia

Kurang Aktif

“Dibandingkan dengan negara Asia saja, semisal Jepang, Indonesia termasuk amat ketinggalan. Jepang dengan amat aktif menghadirkan karya-karya sastra karya anak negeri mereka dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa dunia.“

Di mata dunia, nama sastrawan Indonesia yang tak terlalu asing masih bisa dihitung dengan jari, Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Lewat jasa seorang penerjemah berkebangsaan Australia bernama Max Lane, karya-karya Pramoedya Tetralogi Pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Perburuan, Cerita dari Jakarta dan masih banyak lagi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pramoedya mendunia karena membawakan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya.

Sayangnya di luar Pram, belum ada karya anak bangsa lain yang mendapatkan
pengakuan luas secara internasional.

Hal ini amat bertolak belakang dengan Jepang yang sudah sejak lama aktif menerjemahkan karya-karya yang dianggap kanon. Selain itu masyarakat Jepang juga aktif menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Jepang. Penerjemahan yang berkembang baik inilah yang membuat warga dunia cukup
akrab dengan karya-karya sastra Jepang. Nama-nama semisal Akutagawa
Ryonusuke, Abe Kobo, Natsume Soseki. Atau yang terkontemporer dari negeri
matahari terbit ini, pengarang Haruki Murakami dengan karya-karya
Norwegian Wood, Kafka On The Shore, Dance, Dance, Dance, dan masih banyak
lagi.

Sastrawan Jepang sudah dua kali masuk ke dalam jajaran pemenang Nobel. Pada 1968, Yasunari Kawabata memenangi hadiah bergengsi ini. Selanjutnya pada 1994, Kenzaburo Oe memenangi hadiah ini. Sementara sastrawan Jepang lainnya, Yukio Mishima setidaknya tiga kali dinominasikan untuk menerima penghargaan ini.

Nama Pramoedya beberapa kali disebut sebagai penerima Hadiah Nobel, namun hal itu tak kunjung menjadi kenyataan hingga kematian Pram pada 30 April 2006 lalu. Selepas Pram, belum ada sastrawan Indonesia lain yang disebut-sebut sebagai calon kuat penerima penghargaan sastra paling bergengsi itu.

“Karya sastra Jepang sudah memiliki sebuah sejarah yang panjang dalam kancah sastra dunia. Cukup panjang untuk memberikan pengaruh cara masyarakat dunia untuk mempersepsi sastra dunia secara keseluruhan. Belum demikian halnya dengan sejarah sastra Indonesia, “ ujar Warih.

Penerjemahan karya-karya memiliki peran yang amat penting memperkenalkan
kebudayaan Indonesia di mata dunia. “Memperkenalkan karya sastra kita ke kancah internasional akan membantu sinergi dalam bidang-bidang lainnya. Selain sebagai sebuah bentuk diplomasi budaya, juga membantu mengubah stereotipe. Sekaligus mengubah kesalahan cara pandang dunia luar terhadap Indonesia.”

Selain penerjemahan, sebab lain yang cukup kuat memengaruhi stagnasi sastra Indonesia adalah tiadanya juru bicara yang kuat mewakili sastra Indonesia, sebuah tugas yang semestinya dipegang oleh para akademisi atau kritikus sastra. Dahulu ada A. Teeuw yang dengan amat konsisten memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia. Sekarang memang banyak peneliti asing yang masih menaruh perhatian yang sama terhadap sastra Indonesia, namun mereka tak secara konsisten memberikan perhatiannya, sebab banyak masalah lain di Indonesia yang juga menarik perhatian mereka.

Mengglobalkan Sejarah Sastra

Namun kondisi ini bukannya tanpa harapan, Warih menunjuk karya pengarang Ayu Utami dan Gus tf Sakai sebagai beberapa contoh yang akan cukup kuat untuk memberikan warna “Indonesia” kepada sastra dunia. “ Selama para sastrawan bisa mulai berpikir dengan cara yang lebih global. Berpikir global tapi berperilaku lokal istilahnya, ”

Kondisi ini bukan berarti bahwa karya sastra Indonesia tak mampu bersaing di dunia internasional, selain karya dua penulis tadi, cukup banyak karya anak bangsa yang memiliki muatan yang amat layak untuk diketengahkan ke dunia internasional. “Yang penting memiliki jangkauan tematis yang mengglobal.“

Untuk bisa mencapai ini diperlukan dukungan dari semua pihak. Selama ini para penulis yang lahir menurut Warih lebih merupakan hasil pembelajaran yang otodidak dan bakat alam dari masing-masing penulis. Belum ada kurikulum khusus dalam sistem pendidikan Indonesia yang mendorong berkembangnya sastra secara lebih sistematis.

Oleh karenanya amat diperlukan sebuah kurikulum yang bisa membantu mengkatalisasi perkembangan sastra Indonesia. “Di banyak negara, belajar membaca sastra, dan menulis dalam arti yang sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari kurikulum. Sehingga para penulis di sana matang dengan jauh lebih cepat,” kata Warih.

Sementara menurut Radhar, jalan keluar dari keadaan yang sungguh tak
menggembirakan ini terletak pada kemampuan komunitas sastra sendiri untuk
memperkuat basis intelektual mereka. “Sastra Indonesia memerlukan juru bicara yang fasih dan memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah dan dunia sastra Indonesia. Juga konsisten membawa sastra Indonesia ke dunia internasional. Juru bicara ini juga harus memiliki pengetahuan yang luas dan senantiasa terkini mengenai perkembangan sastra di dunia internasional,” ujar Radhar.

Penguasaan bahasa asing yang memadai menurut Warih juga merupakan kunci lain untuk makin memperkaya wilayah jelajah para sastrawan Indonesia melamlaui sejarah sastra nasionalnya. Banyak membaca hasil karya sastra dunia akan memperkaya cara pandang, memperkaya kemungkinan tema, juga membantu para sastrawan masuk ke dalam pergaulan internasional.

“Penguasaan bahasa asing yang baik bahkan memungkinkan dihilangkannya klaim komunitas, seperti banyak terjadi sekarang, sebab seorang sastrawan yang bisa berbahasa asing dengan baik akan lebih mudah berhubungan langsung dengan pihak luar,” ujar Warih.

Untunglah menilik perkembangan generasi sastrawan yang lebih muda sekarang, Warih melihat sudah ada banyak kemajuan. “Di Bali contohnya, para penulis berusia 19-20 tahun saat ini dengan mudah mengujarkan apa yang dahulu di generasi saya perlu waktu cukup panjang untuk mengujarkannya,” ujarnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 11 Januari 2009

No comments: