Hanya sedikit museum yang bisa menerapkan manajemen modern. Lebih banyak lagi yang tak mampu keluar dari stigma lama, apalagi berniat menggugah kesadaran masyarakat.
ADA berbagai macam benda dan teks tertata apik dalam bangunan berarsitektur Hindia Belanda dan lokal. Namun, dalam kacamata sebagian besar orang, semua itu bagaikan onggokan barang tak berguna. Ada kalanya memunculkan kesan takut karena banyak yang membumbui dengan sedikit kesan mistis.
Setidaknya kesan seperti itu muncul di benak banyak orang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa terhadap 320 museum yang ada dan tersebar di Indonesia. Hampir semua museum itu bernasib sama, hidup segan mati pun tak mau. Kalau tidak terurus, dipastikan jarang dikunjungi orang. Semua itu menunjukkan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap bagian dari sejarah negeri sendiri.
Coba tengok saja statistik kunjungan dari tahun ke tahun. Angkanya tak beranjak, meski sejak era otonomi pengelolaan museum tidak melulu di bawah kendali pusat/departemen (Unit Pelaksana Teknis/UPT). Sebagian sudah diserahkan kepada pemerintah daerah bahkan ada yang sudah dikelola pribadi (yayasan).
Namun, toh, buramnya nasib dan apresiasi terhadap museum masih melekat. Gaya lama yang mewajibkan sekolah untuk mengajak murid-muridnya berkunjung jelas efektif. Pendekatan 'kekuasaan' seperti itu tidak membuahkan hasil, apalagi menggugah kesadaran kolektif terhadap arti penting museum. Alhasil, hingga kini nasib museum tetap merana.
Tempat buangan
Cobalah datang ke Museum Fatahillah atau Museum Tekstil di Jakarta. Dua lokasi yang memiliki nilai sejarah perjuangan itu setiap harinya senyap pengunjung. Padahal dengan uang senilai Rp750, siapa pun dapat menggali informasi penting yang berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa, terutama Jakarta.
Nasib yang sama dialami Museum Benteng Vredeburg (perdamaian) di Yogyakarta, sungguh mengenaskan. Museum yang berlokasi di Jl Jenderal Ahmad Yani atau tepatnya di kawasan Malioboro Yogyakarta itu teracuhkan. Dari jutaan pengunjung di Malioboro, bisa dipastikan hanya segelintir yang menyempatkan diri menengoki museum.
"Kami sudah berpromosi dan membuat berbagai acara, tapi belum ada kemajuan signifikan untuk menarik pengunjung," kata Kepala Museum Vredeburg Sri Ediningsih, saat menerima wartawan dari Jakarta dan staf Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), belum lama ini.
Dengan harga tiket Rp750, jumlah pengunjung Museum Benteng Vrederburg sepanjang 2008 (hingga 16 Desember) tercatat hanya 55.022 orang, atau kurang lebih sama dengan catatan terakhir pada 2007, yaitu 56.461 pengunjung.
Dari jumlah tersebut, sekitar 50% orang berkunjung karena menghadiri acara, seperti lomba, resepsi pernikahan, seminar, dan lain-lain. Dengan kata lain mereka ke sana bukan untuk mencari informasi tentang apa di balik benda dan kisah sejarah yang ada di Benteng Vredeburg. "Masyarakat belum sadar tentang arti penting museum."
Repotnya lagi, di kalangan birokrat, bekerja di museum sering dikonotasikan dengan kata 'buangan.' Seperti yang dialami Sri Ediningsih ketika dipindahkantugaskan ke jabatan baru, sebagai kepala museum. Beberapa teman ada yang menyindir "Bu Sri dimuseumkan (dibuang)."
Pengalaman lain yang membuat Sri gregetan
dan termotivasi membenahi museum, ialah perilaku di kalangan pendidik. Tidak sedikit sekolah yang mengadakan tur ke Museum Benteng Vredeburg meminta diskon tiket masuk. "Masa tiket seharga Rp750 dan lebih murah dari tarif di toilet umum masih ditawar," katanya.
Menurut Sri, para pendidik seharusnya mengajarkan kepada murid-murid untuk menghargai museum dari hal-hal yang kecil seperti itu.
Manajemen modern
Apa yang diungkapkan Sri hanya bagian kecil dari sekian banyak persoalan yang menyangkut kesadaran masyarakat dan manajemen pengelolaan museum. Sudah saatnya pengelola museum, termasuk pemerintah, menerapkan manajemen modern untuk menarik pengunjung dan menggugah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai sejarah.
Sedikit usulan sebagai pembanding, saat rombongan wartawan dari Jakarta diajak mengunjungi Museum Ullen Sentanu di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta, kondisi lebih memikat langsung terasa. Pemiliknya memadukan konsep wisata, sejarah, dan edutainment. Keberadaan museum ini digagas keluarga Haryono dan kerabat pewaris Dinasti Mataram.
Dengan latar belakang budaya Jawa yang kuat, Museum Ullen Sentalu didirikan sebagai museum seni dan budaya Jawa klasik. Berbagai koleksi benda budaya yang memiliki nilai adi luhung Jawa, mulai dari lukisan, foto yang mengisahkan seputar Dinasti Kerajaan Mataram ada di situ. Patung atau arca asli abad pertengahan pun bisa dijumpai.
Yang terpenting, sang pemandu, Isti Yunaldi, dengan sangat memikat dan antusias menjelaskan arti di balik koleksi benda-benda yang dipamerkan. Pada sesi terakhir pengunjung diajak mencicipi teh hangat khas ramuan (dirahasiakan) keraton, yang kabarnya berkhasiat menjadikan orang awet muda.
Di situ pun pengunjung bisa memesan makanan dan minuman di kafe yang sengaja dibuat untuk mendukung suasana rileks sehabis melihat-lihat dan menyimak penjelasan dari pemandu terhadap koleksi benda-benda bersejarah di museum yang terletak di kaki Gunung Merapi itu. Tanpa merasa bosan, waktu berlalu kurang lebih selama 45 menit.
Sayang banyak larangan yang dikenakan kepada wartawan untuk meliput museum tersebut. Alasannya, permohonan yang disampaikan dari pihak Depbudpar hanya untuk kunjungan, bukan peliputan. (M-1)
sulis@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 Januari 2008
No comments:
Post a Comment