-- Arie MP Tamba
SEJARAH sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Di dalamnya dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan dekade terakhir juga reaksi dari pihak pembaca. Ini semua dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra, seperti ilmu sosial dan filsafat.
Dalam ilmu sastra tidak banyak dibahas fakta-fakta dari sejarah sastra, melainkan hanya prinsip-prinsip yang mendasari penulisan sejarah sastra. Demikianlah misalnya sejarah sastra bagian terakhir abad ke-19, yang memberikan banyak perhatian kepada biografi pengarang. Hal ini berkaitan dengan maraknya pandangan positivisme, yang mengandaikan kausalitas langsung antara kehidupannya dengan karya seorang pengarang.
Di dalam sejarah sastra Indonesia, metode ini juga dimanfaatkan dalam penyusunan periodesasi angkatan sastra oleh HB Jassin. Pemetaan mana sampai kini cukup banyak dijadikan titik tolak untuk membicarakan sejarah sastra Indonesia. HB Jassin bahkan secara khusus dianggap berjasa besar – menukilkan Angkatan 1945 – yang di antaranya diramaikan oleh Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, dll. Jassin dianggap pula sebagai penemu (dan pembela) Chairil Anwar, yang semula dipandang sebelah mata oleh pelopor Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisyahbana.
Pembelaan HB Jassin atas angkatan sastra temuannya, tentu saja tidak lolos dari kontroversi. Di samping kausalitas kehidupan sosial dengan karya sastra, tipologi tema dan bentuk pengucapan karya-karya sastra oleh para pengarang tertentu yang dimasukkan ke dalam satu angkatan sastra, adakalanya dianggap tidak. Landasan teorinya kurang kuat, premis dan kesimpulannya terlalu dipaksakan.
Yang paling memancing diskusi adalah (penyebutan dan) penyertaan beberapa penyair dan pengarang ke dalam Angkatan 66, bagi mereka yang secara kebetulan ’menyuarakan’ perlawanan politik pada masa kemelut politik Indonesia 1965. HB Jassin dianggap ’terlalu dini’ mengklaim pemetaannya. Karena dari deretan nama-nama yang dimasukkannya ke dalam satu angkatan, yang terus berkarya ternyata hanyalah segelintir nama saja.
Menyoroti jenis dan alisan-aliran sastra, Abdul Hadi WM dan Dami N Toda banyak mendapatkan perhatian dengan usulan mereka: Angkatan 70-an. Aspek sufisme dan semangat menggali kembali akar-akar kesenian tradisi adalah nilai-nilai sastra atau kecenderungan sastra yang dikedepankan Abdul Hadi sebagai kecenderungan Angkatan 70-an. Abdul menyebutkan nama-nama: Danarto, Kuntowidjojo, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dll.
Sementara Dami secara khusus menambahkan semangat ekperimentasi yang tinggi dari kelompok sastrawan 70-an ini. Di dunia prosa disebutkanlah nama-nama: Danarto, Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan Budi Darma. Sementara di dunia puisi, hadirlah Sutardji Calzoum Bachri, dll.
Yang paling menghebohkan dari Dami adalah pernyataannya yang menandaskan bahwa pencapaian pengucapan perpuisian Indonesia telah digenapi oleh dua nama: Chairil Anwar sebagai mata kanan, dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai mata kiri. Maka, dunia perpuisian Indonesia seperti ’tak memerlukan lagi’ mata kreativitas baru, atau pengucapan baru.
Sebab, semua bentuk pengucapan telah dioperasikan oleh para penyairnya. Sejak JE Tatengkeng sampai Chairil Anwar, sejak Roestam Effendi sampai Sutardji Calzoum Bachri, dll. Kalaupun masih akan berlahiran para penyair: mereka hanya akan menjadi pengekor, imitator, pengulang, dari pencapaian pengucapan yang dimanfaatkan para penyair terdahulu untuk mengekspresikan ide-ide mereka.
Tak akan lahir lagi para penyair besar, setelah Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri, demikian gaung klaim Dami. Uniknya, klaim ini ternyata pernah menjadi semacam hantu di dalam sejarah sastra Indonesia. Beberapa penyair, secara aneh, merasa ketakutan – tak akan menemukan lagi gaya pengucapan personal – karena ’semua’ pengucapan sepertinya telah ditemukan para penyair terdahulu.
Hantu sejarah sastra ini tentu saja kontraproduktif. Telah memusatkan pandangan beberapa penyair, hanya ke gaya-gaya pengucapan yang telah hadir. Mereka lupa bahwa sebuah gaya pengucapan, adalah penjelajahan artistik personal yang melibatkan sepenuhnya kekhasan pengalaman, emosi, bacaan, intelektualitas, hingga impian dan harapan-harapan pribadi.
Artinya: setiap penyair sebenarnya memiliki kesempatan yang sama besarnya – untuk menemukan bentuk pengucapannya masing-masing. Tinggal lagi: sejauh mana atau sekeras apa ia berhasil menempa dirinya dalam kerja artistik yang maksimal dan khas. Membuyarkan hantu sejarah sastra Indonesia!
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment