Saturday, January 10, 2009

Doa dan Puisi

-- Bandung Mawardi*

PUISI dan doa adalah urusan estetika dan religiositas. Puisi dan doa lahir dengan bahasa. Kata-kata memiliki peran dan kekuatan yang dikonstruksi untuk representasi atau realisasi. Puisi adalah konstruksi kata yang memiliki konvensi-konvensi estetika untuk mencapai sublimasi. Doa adalah konstruksi kata dengan konvensi-konvensi religius untuk mengucapkan dan mengungkapkan seruan, keluhan, pengharapan, dan kemauan. Doa dan puisi terus lahir dengan rahasia kata dan rahasia makna. Annemarie Schimmel (1996) menjelaskan bahwa doa adalah inti agama (lex orandi, lex credendi). Doa adalah suatu pengorbanan kata.

Tradisi sufistik memiliki catatan panjang kelahiran dan pewarisan doa-puisi yang mempertemukan dan meleburkan estetika-religius. Kaum sufi melantunkan kata-kata yang merepresentasikan kehidupan rohani. Kata-kata itu adalah doa-puisi yang mengantarkan sufi pada komunikasi religius dengan Tuhan dan mengabarkan pengetahuan pada manusia. Tradisi sufi mewariskan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu `Atha`illah, Fakhruddin Iraqi, Rabi`ah, Fariduddin Attar, Hafidz, dan lain-lain.

Doa-puisi Jalaluddin Rumi adalah salah satu puncak manifestasi estetika religius. Schimmel membaca dan menafsirkan Rumi untuk menemukan rumusan doa dalam tradisi sufi yang memiliki keunikan dibandingkan dengan pemahaman mayoritas. Rummi diakui sebagai seorang pendoa yang fasih melantunkan puisi-puisi dengan arahan pencapaian rahasia kata dan makna untuk sampai pada pengetahuan Tuhan. Rumi mengucapkan, "Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa. Setiap orang yang melihatku meminta doa dariku." Rumi melahirkan sekian puisi-doa yang mengantarkan kaum sufi dalam "jalan sufi".

Doa ada dengan basis dan orientasi ibadah. Doa adalah tindakan untuk menghadirkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hazrat Inayat Khan (2000) menjelaskan, doa bisa dimengerti dalam tiga jenis pemikiran: (1) Doa adalah rasa terima kasih kepada Tuhan; (2) Doa adalah pemujaan dari keberadaan Tuhan melalui keindahan alam; (3) Doa untuk nama dan kebenaran Tuhan.

Rumi dalam Masnawi mengabarkan bahwa doa adalah manifestasi ibadah hamba kepada Tuhan. Doa merupakan ajaran-ajaran hidup yang terkandung dalam Alquran dan Hadis. Doa puisi kaum sufi adalah pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan diajarkan Nabi. Rumi mengingatkan, "Dengar, salah satu hadis yang diriwayatkan Nabi: Tiada doa yang sempurna tanpa kesiapan hati." Doa adalah persoalan iman, cinta, dan rindu kepada Tuhan yang dimanifestasikan dalam bahasa.

Doa puisi yang dilantunkan Rabi`ah menjadi babak penting dalam tradisi sufi yang memuja cinta dalam kehendak dekat (intim) dan bertemu Tuhan. Rabi`ah kerap dikisahkan mengucapkan doa pada malam hari. Rabi’ah berada di atap rumahnya dengan mengenakan baju tidur. Inilah doa puisi indah Rabi’ah yang dikutip Margareth Smith: "Ya Allah, Ilahi Rabbi, tampak di atas sana bintang-bintang gemerlap cahayanya. Tiap pasang mata telah terlelap tidurnya. Raja-raja telah menutup rapat pintu gerbang-gerbangnya. Tiap kekasih sedang asyik dengan yang dicintanya. Sedang aku sendiri berdua bersama-Mu." Doa puisi Rabi`ah mengandung arti percakapan cinta dengan Tuhan. Doa itu representasi dan realisasi cinta.

Doa puisi panjang dilantunkan Ibnu `Atha`illah dalam kitab Al-Hikam. Ibnu `Atha`illah melakukan munajat dalam doa-puisi yang kontemplatif. Kitab Al-Hikam bukan sekadar risalah tasawuf, melainkan manifestasi teks estetika religius. Ibnu "Atha`illah melantunkan doa-puisi: "Tuhanku, kapan saja dosa-dosaku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan." Ibnu `Atha`illah hidup dalam tradisi doa dengan perspektif makrifat. Pada masa itu doa adalah perkara penting yang dipelajari dan diamalkan oleh kaum sufi dengan acuan ayat-ayat Alquran. Ibnu ’Atha`illah mengekalkan amalan doa itu dalam bab akhir kitab Al-Hikam.

Doa-puisi hadir dalam kondisi manusia yang rindu dan menginginkan suatu pembahasan dan komunikasi. Kata-kata ada dalam konstruksi yang ingin menampung dan memungkinkan makna sebagai nilai yang sakral dan estetis. Doa puisi adalah realisasi yang ingin lepas dari kekangan (tirani) bahasa konvensional tanpa harus melakukan reduksi terhadap laku ajaran agama. Bahasa dalam penguasaan individual menjadi suatu ekspresi yang membuka kemungkinan-kemungkinan pesan dan makna. Doa puisi kaum sufi menjadi warisan yang dilantunkan dan dipahami dalam konteks estetika religius. Kitab dan risalah yang mengekalkan ekspresi sufi menemukan pewaris yang menerima sebagai teks untuk mengungkapkan diri dalam interpretasi dan pemahaman yang beragam.

Doa-doa dalam kitab suci menjadi basis religius yang menemukan tafsiran-tafsiran berbeda oleh kaum sufi. Doa dalam bahasa menemukan ekspresi dalam kompetensi dan kesadaran estetika religius. Kehadiran doa-puisi dari kaum puisi tidak menempati posisi yang menandingi doa-doa dalam kitab suci.

Penjelasan dan tafsir keberadaan doa didedahkan penyair-filosof Mohammad Iqbal. Doa menjadi prolog dalam puisi panjang Javid Nama. Iqbal mengisahkan manusia dalam pemahaman religius dan visi-visi yang imajinatif-puitis. Doa adalah pembebasan dan ikhtiar mencapai pengetahuan menuju Tuhan. Doa puisi Iqbal menjadi manifestasi yang memberi kesadaran religiositas.

Iqbal menulis, "Dalam kepedihan kuarungi kehidupan. Kini aku berdoa agar terbebas dari kegamangan." Doa adalah realisasi yang positif dan konstruktif untuk laku hidup manusia yang dihadapkan pada realitas-realitas dunia yang hendak mengenali dan intim dengan Tuhan. Doa adalah ekspresi estetika religius yang mengantarkan manusia dalam pencerahan. Begitu.***

* Bandung Mawardi, Kritikus sastra, peneliti Kabut Institut.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 10 Januari 2009

No comments: