Sunday, March 07, 2010

Arus Balik Usep Romli

-- Asep Salahudin

Hirup teh kumambang kabingbang
Lar beurang taya bayana
Reup peting sadaya-daya

KUTIPAN sajak itu ditulis Usep Romli, berjudul ”Pajaratan", ber-titi mangsa 1976. Dan kini, menginjak usia 61 tahun (lahir di Limbangan tahun 1949) melalui kumpulan cerpennya ”Sanggeus Umur Tunggang Gunung” ia mendapatkan penghargaan bergengsi dalam tradisi sastra Sunda, Rancage tahun 2010.

Semula kumpulan cerpennya tersebut hendak diberi judul ”Neangan Pajaratan” sebagaimana ia sampaikan kepada penulis ketika kami kebetulan bertemu di Tanah Hijaz, dalam sebuah obrolan ngalor ngidul selama lima jam di tengah malam. Namun, atas satu dan lain hal pertimbangan penerbit yang keluar justru judul itu.

Tentu saja tidak disangsikan lagi produktivitasnya. Usep Romli menulis mulai dari persoalan sastra sampai urusan politik, lingkungan, dan agama. Tebaran karyanya menjadi bukti kesetiaannya untuk menjadikan kepenulisan sebagai pilihan hidupnya, meski dalam konteks budaya Indonesia menjadi penulis membutuhkan mental baja. Kita catat karya tulisnya di bidang sastra: "Si Ujang Anak Paledang" (1973), "Pahlawan-Pahlawan Hutan Jati" (1974), "Pahlawan Tak Di Kenal" (1980), "Nyi Kalimar Bulan" (1982), "Bambu Runcing Aur Kuning" (1984), "Desa Tercinta" (1984), "Berlibur ke Kaki Gunung" (1982), "Sabelas Taun" (1979), "Bentang Pasantren" (1983), "Ceurik Santri" (1985), "Nganterkeun" (1966), "Jiad Ajeungan" (1991), "Nu Lunta Jauh" (1992).

Karena bahasa dan gagasan dibentuk oleh latar belakang sosiokultural sang pengarang, maka ini pula yang tampak dalam literasi yang dihasilkannya. Usep Romli yang besar di lingkungan pesantren dan pernah ngaprak ke berbagai pesantren, maka ruh ini pula yang terbawa dalam sejumlah karyanya, terutama dalam "Bentang Pasantren" (1983), "Ceurik Santri" (1985), "Jiad Ajeungan" (1991), "Nu Lunta Jauh" (1992).

**

DALAM konteks ini Usep Romli lebih bernas dalam mengelaborasi napas dan denyut nomenklatur santri. Sebut saja mazhab sastra pesantren. Dan karyanya ini berhasil memotret dunia pesantren dalam teropong etnografi sosiologis tentu dengan langgam sastrawi dan kecermatan menerapkan fenemonologi transendental, menjadi dokumen antropologis penting tentang pertumbuhan dan kehidupan dunia pesantren di tatar Sunda, semisal, pertumbuhan para menak Jawa melalui para priyayinya Umar Kayam.

Dalam periode ini tampak sosok pengarang yang masih "liar" mengumbar imajinasinya bahkan juga ketidaksukaannya terhadap tertib aturan seperti keputusannya untuk hengkang dari pegawai negeri sipil dan juga keluar dari bangku kuliah baik di IKIP (sekarang UPI), ataupun di IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN). Walaupun pengarang berpihak kepada tokoh rekaannya, tetapi jelas keberpihakannya ini tidak sampai estetikanya jatuh dalam kutub normatif sebagaimana tampak dalam novel islami berbahasa Indonesia akhir-akhir ini yang isinya ternyata hanya khotbah. Sastra terlampau dibebani pesan-pesan moral retoris, dijadikan media untuk melakukan tablig hitam-putih tak ubahnya film-film Rhoma Irama tempo hari.

Dalam lima belas tahun terakhir, terutama setelah sang pengarang juga berperan sebagai dai dan memimpin sebuah koran islami yang telah gulung tikar (Hikmah), tampak ada pergeseran: beberapa cerpennya penuh dengan pretensi amar makruf nahi munkar seperti tampak sebagian dalam "Paguneman Firaon". Padahal justru kekuatannya tidak terletak dari sisi heroisme "komunikasi dakwah" yang dibungkus dengan sastra ini, tetapi dari penggalian kekayaan batin alam dan horizon budaya Sunda yang dipadukan dengan penghayatan religiositas iman yang inklusif seperti dalam karya-karya awalnya.

**

PRETENSI normatif ini tidak banyak kita temukan lagi dalam "Sanggeus Umur Tunggang Gunung". Kita dapati kembali Usep Romli yang bermetamorfosis ke ”masa muda” dan apalagi dalam karya terakhirnya diperkaya dengan latar manusia Sunda yang lunta ka jauhna, mengembara bukan hanya ke berbagai pelosok tanah air, tetapi ke penjuru-penjuru dunia baik ke Timur Tengah ataupun ke Eropa Barat dan Eropa Timur. Mengingatkan kita kepada sajak-sajaknya semisal "Afghanistan", "Surat ti Bosnia Herzegovina", "Nu Lumampah Mawa Lengkah", dan "Kalangkang Piramid". Jarang sekali para pengarang Sunda yang memiliki kesempatan untuk melakukan pengembaraan seperti itu.

Sikapnya yang selalu vokal terhadap persoalan sosial juga dengan nyata terlihat dalam karya terakhirnya itu. Baik itu yang berjudul "Lauk Cimanuk", "Neangan Pajaratan", "Sanggeus Umur Tunggang Gunung", "Tangkal Buah Pipireun Imah", "Aki Jumli Milu Pemilu", "Tawuran", "Tower", "Ahli Waris", dan dalam cerpen terakhir "Kasakten Abah Suma."

Dalam "Sanggeus Umur Tunggang Gunung", tampak bagaimana alur cerita sangat kontekstual dengan sejarah keseharian. Ngahirib-hirib menjadi -istilah Seno Gumira Ajidarma- "jurnalisme sastra". Bagaimana suasana kebatinan tokoh rekaannya Japrana seorang anggota DPRD dari Partei Buldoser yang selalu mengalami goncangan batin antara tarikan kuasa dengan suara nurani walaupun justru akhirnya yang pertama yang selalu dominan (hlm. 39). Dalam diksi politik kesadaran senantiasa datang terlambat. Dan baru eling ketika tubuh sudah tidak berdaya, tatkala alam burakrakan dan lingkungan ngarangrangan karena kebijakannya yang sesat (silung). Kita simak penggambaran tragis itu "Sora tonggeret. Pasosore, ngaheab ka panonpoe surup. Matak nambahan kanalangsa Japrana, nu Nangkarak teu walakaya. Nandangan panyakit lumpuh mangtaun-taun. Ti barang karasa nepi ka ayeuna, maju sabelas taun. Ngajoprak di kamar. Sagala kahayang gumantung ka batur. Untung aya nu daek ngurus. Pamajikan nu baheula mindeng dinyeunyeuri. Dipanglacurkeun. Dipangnyandungkeun. Tetep satia bumela, sanajan salaki geus mirupa karung goni ...Kabeh geus laleungitan ti sakuriling dirina. Sora tonggeret. Sora turaes. Dalah sora sinsow ragaji mesin anu ngagalaksak oge, geus teu kadenge. Bareng jeung rubuhna tatangkalan, bulistirna pasir jeung gundulna gunung."

Bahkan ada terasa diselipkan seks nostalgia yang diperankan manusia renta seperti tampak dalam "Tangkal Buah Pipireun Imah".***

* Asep Salahudin, kandidat doktor Unpad Bandung, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Maret 2010

No comments: