-- Aan Merdeka Permana
DI tahun 1937, ketika ia tengah dipuja sebagai bintang panggung sandiwara Sunda, Miss Tjitjih dipanggil untuk menghadap pejabat Pemerintahan Belanda bernama Mayor Hie`eith van Bochteen. "Kamu orang boleh pilih, apa mau ikut gerakan, atau tetap di panggung sandiwara?" demikian kira-kira tekanan yang dilontarkan pejabat militer kolonial. Yang jadi penyebab, pihak mata-mata menengarai bahwa di panggung Gedung Sandiwara Sunda Miss Tjitjih, disusupkan kaum pergerakan bernama Asbun Said. Orang ini jadi pemain sandiwara, tetapi juga secara diam-diam ikut bergerak dalam kegiatan menentang Belanda.
Miss Tjitjih, perempuan cantik usia 30-an kala itu, menjadi tertekan. Dia ingin ikut pergerakan, tetapi juga cinta kesenian. Kegalauan ini sebenarnya melanda kalangan Belanda juga. Mereka penuh sesal. Mengapa Miss Tjitjih yang digandrungi di Batawi, baik oleh kalangan menak pribumi maupun oleh para pembesar Belanda, malah ikut pergerakan?
Itulah sekelumit kisah Miss Tjitjih, bintang panggung sandiwara Sunda yang cemerlang di Betawi (Jakarta) 1930-an menurut berita dari orang-orang tua yang pernah menyaksikan gebyar Miss Tjitjih.
Panggung sandiwara Sunda "Miss Tjitjih" memang masih hidup hingga kini. Sandiwara Sunda yang memiliki gedung sendiri di seantero "dunia", mungkin hanya sandiwara "Miss Tjitjih" saja. Sandiwara Sunda, bahkan di kampung halamannya sendiri, di Priangan, hancur sudah. Mungkin belum hancur jadi debu, sebab di Bandung, grup sandiwara Sunda sudah puluhan tahun tak punya gedung dan tak punya peminat. Mereka hanya manggung bergiliran dua minggu sekali di Gedung Kesenian Rumentang Siang, itu pun tidak konsisten.
Ketangguhan Miss Tjitjih di Jakarta tak pernah jadi penyebar semangat grup sandiwara Sunda di Bandung (jangan bilang di Jawa Barat, sebab di luar Bandung sudah "the end") kalau tak disebut sebagai sumber rasa iri. Ya, mengapa tak begitu. Di Jakarta, "Miss Tjitjih" dipelihara, bahkan Pemda Jabar pun pernah ikut menyumbang. Sementara kehidupan sandiwara Sunda di Priangan, tidak secuil pun diurus oleh siapa pun.
Akan tetapi, benarkah grup sandiwara Sunda "Miss Tjitjih" tangguh di Jakarta? Sebenarnya tidak juga. Di tengah gemerlapnya panggung-panggung hiburan malam di Kota Metropolitan ini, sebetulnya "Miss Tjitjih" sudah dijepit sana-sini. Seperti yang pernah dikemukakan salah satu anak-wayang (pemain) ketika berjumpa penulis beberapa waktu silam. Grup ini sebenarnya jatuh bangun untuk bertahan hidup. Grup ini, walau bernama "sandiwara Sunda", tetapi susah menjaring penonton Sunda. Orang Sunda di Jakarta memang banyak, tetapi bertebaran dan susah menjangkau pusat pertunjukan. Dan yang lebih pas dari alasan kekurangan ini adalah tergerusnya rasa cinta orang Sunda di Jakarta terhadap lakon-lakon Sunda.
Bila dulu sampai dengan awal 1970-an, sandiwara Sunda identik dengan kisah-kisah klasik (babad dari tanah Sunda), kini tidak lagi. Mari kita tonton mayoritas pertunjukan di gedung kesenian "Miss Tjitjih" ini. Malam tahun baru 2010 mereka tidak mementaskan sandiwara, melainkan mengusung pertunjukan wayang golek. Bulan Desember sebulan sebelumnya, "Miss Tjitjih" tampilkan cerita "Putri Dasar Samudera", "Arwah Berjasa", "Pencuri Bayi", "Mojang Pamayar Hutang", "Misteri Sebuah Kuburan", "Air Mata Kuntilanak", "Arya Kemuning dan Nyimas Gandasari", serta "Rakean Wastu Kencana".
Dari deretan pertunjukan di Gedung Kesenian "Miss Tjitjih", hanya dua pertunjukan yang mengambil tema klasik. Satu babad Cirebon, satunya babad Pajajaran. Selebihnya cerita roman dan horor. Panggung Sandiwara Sunda di wilayah Priangan pun dulu sebetulnya ada membuka pertunjukan jenis wayang wong atau roman (kisah masa kini) bahkan dezik (kisah seribu satu malam), tetapi yang dominan tetap cerita babad, yaitu cerita tentang kerajaan di tanah Jawa.
Bahwa "Miss Tjitjih" banyak meninggalkan cerita klasik tanah Jawa (teristimewa babad Pajajaran), mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya gairah penonton untuk menyimak cerita-cerita berbau klasik. Bahwa kisah horor atau roman yang dibumbui lawakan banyak dieksploitasi, mungkin itulah yang masih bisa dipertahankan. Sandiwara tradisional "Miss Tjitjih" yang ingin tetap berlayar di lautan zaman terpaksa harus mencoba membelah gelombang dengan kayuhan dayung zaman pula. Ya, seperti grup "Srimulat" yang meninggalkan kisah-kisah klasik dan berganti menjadi kisah roman (masa kini), dan bahkan didominasi perilaku lawakan.
Bahwa grup sandiwara Sunda "Miss Tjitjih" hingga kini masih bertahan, mungkin bukan lantaran ketangguhan para pecintanya, melainkan karena rasa hormat nilai kesejarahannya. Pemda DKI Jaya tetap memberikan bantuan. Tatkala gedung sandiwara pernah terbakar habis, pemda cepat membangun bangunan permanen bahkan penggunaannya diresmikan Presiden Megawati kala itu.
Seperti yang menjadi pembuka tulisan ini, betapa digambarkan, Miss Tjitjih ternyata ikut berjuang dalam pergerakan kemerdekaan. Orang-orang tua yang sempat melihat kebesaran Miss Tjitjih di panggung sandiwara, menyebutkan, betapa perempuan yang cantik jelita ini telah merambah panggung hiburan sejak usia 17 tahun. Penontonnya adalah kalangan atas. Mungkin bangsawan bumi putera, mungkin pejabat kolonial. Banyak penonton tergila-gila akan kecantikan bintang panggung ini.
Akan tetapi Miss Tjitjih juga bukan sekadar seniman. Dia juga ikut memikirkan nasib bangsanya. Ini terbukti dengan menyelundupkan dan melindungi kaum pergerakan di balik panggung bahkan ada yang diikutsertakan pula sebagai pemain sandiwara. Menurut berita lisan dari orang-orang tua, sesudah ditekan agar panggung sandiwara jangan digunakan arena berpolitik, Miss Tjitjih di atas panggung sebelum pertunjukan diwajibkan mengucapkan ikrar, panggung sandiwara bebas dari urusan politik dan tak akan ada cerita yang berisi sentilan kepada penguasa. Para pengagum dari kalangan militer menyambutnya dengan suka cita, tetapi sebaliknya, para pengagum dari kalangan pribumi menyimaknya dengan rasa kecewa, bahkan tak kurang yang mencemoohkannya.
Melihat keadaan ini, Miss Tjitjih jadi tertekan dan jatuh sakit lalu pulang ke tanah kelahirannya, Sumedang. Namun tindakan Miss Tjitjih mudik ternyata juga mengecewakan penonton gedung sandiwara yang sudah kadung memujanya. Melihat ini, Tuan Mach Verhoerne, pejabat pusat yang disegani Mayor Hie`eith van Bochteen, menyuruh agar Miss Tjitjih segera kembali ke Jakarta. Dalam keadaan sakit, Miss Tjitjih yang kala itu berusia 37 tahun memenuhi perintah pejabat dari Jakarta, bahkan hari itu juga ikut main di atas panggung. Penonton membeludak dengan penuh suka cita.
Malam itu, sandiwara melakonkan cerita roman melankolis dan banyak mengurai air mata, dengan judul "Si Tjiroek Teu Mamayu", menceritakan kisah cinta terhambat karena banyak rintangan. Ada tembang yang dibawakan oleh Miss Tjitjih dalam pertunjukan ini. Ning ciruk, papag di curug/Ngagalendangkeun hate tur megah/Anjeunna nayang di curug/Mapareng hate mijuang dangdang/Yeuh, pangimpenan salaki batur/Dur ti lembur ngaprak ngajagjag/Dur di jegur gugur na` ragrag//
Lantunan itu menggunakan bahasa Sunda buhun. Sudah banyak yang tak dimengerti penonton kala itu, tetapi semua berderai air mata. Derai air mata itu mengiringi derai air mata yang mengalir di sepasang pipi Miss Tjitjih. Miss Tjitjih bukan saja pandai berakting, tetapi juga memiliki suara merdu sebab dia pun penembang lagu-lagu klasik. Setiap Miss Tjitjih bermain di panggung membawa peran apa pun, lagu-lagu klasik selalu dilantunkan dengan suara merdu dan amat menjiwai. Malam itu Miss Tjitjih menangis, apakah tangis kebutuhan panggung atau tangis benaran, yang jelas, semua ikut menangis.
Sayang, keberadaan Miss Tjitjih di panggung tak berlangsung lama. Kerinduan para pemujanya tak terlayani sempurna. Pukul 22.10 WIB, Senin, 23 September 1937, Miss Tjitjih yang sedang berakting jatuh tersungkur. Versi lain menyebutkan, Miss Tjitjih mengembuskan napas terakhir di atas panggung karena memaksa main di saat menderita sakit. Versi lain menyebutkan pula, Miss Tjitjih malam itu diangkut ke sebuah klinik dan dirawat beberapa hari sampai akhirnya meninggal. Makam Miss Tjitjih berada di sebuah bukit kecil, di wilayah Sumedang Kota. ***
* Aan Merdeka Permana, pengamat folklor, penulis fiksi sejarah, dan tinggal di Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Maret 2010
No comments:
Post a Comment