Jakarta, Kompas - Kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap naskah atau dokumen sejarah Indonesia yang tertuang dalam bentuk penelitian dokumen sejarah masih minim. Padahal, dokumen sejarah tidak hanya bermakna penting pada masa lalu, tetapi juga bisa menjadi panduan atau bekal untuk menapaki masa depan. Minimnya kesadaran ini lebih karena kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya arti dokumen atau naskah sejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Demikian dikemukakan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman di sela-sela seminar dan sosialisasi Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World/MOW), Selasa (2/3) di Jakarta. ”Seharusnya materi Ingatan Kolektif Dunia ini masuk ke program di perguruan tinggi karena kita perlu ada penelitian kuat sehingga kita punya ahlinya,” kata Arief.
Dokumen tentang sejarah Indonesia kerap kali tidak dapat ditemukan atau disimpan di Indonesia, tetapi tersebar di sejumlah negara, antara lain di Belanda. Menurut mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro, program MOW ini termasuk salah satu upaya merangsang kalangan ilmuwan Indonesia lebih serius meneliti dokumen sejarah. Jika penelitian semakin banyak, diharapkan akan ada lebih banyak naskah sejarah Indonesia yang masuk ke dalam MOW.
”Karena itu, naskah I La Galigo, Babad Diponegoro, dan dokumentasi Mak Yong diajukan untuk mendapat pengakuan MOW dari UNESCO,” kata Wardiman yang menjadi narasumber usulan naskah Babad Diponegoro.
MOW merupakan ingatan kolektif manusia berupa warisan atau pusaka dokumenter yang secara sah dapat menjadi bukti kejadian penting dalam sejarah. Sebelum ketiga naskah itu, Komite MOW-Indonesia juga pernah mengusulkan naskah Negarakertagama yang lalu diakui sebagai MOW pada tahun 2008.
Ketua Komite MOW-Indonesia Jan Sopaheluwakan mengatakan, ”MOW lebih dari sekadar budaya, tetapi bagaimana ilmu pengetahuan bisa masuk.”
Senada dengan Jan, peneliti dan pakar budaya Mukhlis PaEni mengatakan, jika tidak diolah dan dibiarkan di dalam naskah itu saja, selamanya pengetahuan tidak akan berkembang.
”Padahal, naskah itu sangat kaya. Seperti I La Galigo yang bicara sosial, budaya, arsitektur, peta laut, pelayaran, dan lain-lain. Perguruan tinggi bisa olah pengetahuan ini menjadi pengetahuan navigasi, seni bangunan, dan lainnya,” kata PaEni.
Menyadarkan masyarakat akan pentingnya dokumen sejarah bisa dilakukan melalui industri kreatif. ”Seperti I La Galigo yang sudah dibuat dalam bentuk opera dan dimainkan di mana-mana. Ini tambang baru industri kita,” kata PaEni. (LUK)
Sumber: Kompas, Rabu, 3 Maret 2010
No comments:
Post a Comment