BILA sejarah adalah rentetan tragedi, epilog riwayat Tan Malaka adalah ironi. Demikian kiranya gambaran kehidupan seorang Tan.
Pada 1919 Tan kembali ke Indonesia setelah belajar di Belanda. Mulanya dia menjadi guru, lalu terjun ke arena politik. Pada kongres PKI di Semarang (1921), dia terpilih sebagai pimpinan partai. Dan, sejak itu pergerakannya dipantau pemerintah kolonial hingga berujung penangkapan.
Pada 1922 Tan diusir ke luar negeri. Di luar negeri dia tak berhenti berjuang. Pada 1925 Tan menerbitkan buku revolusi, Naar de Republiek Indonesia. "Menuju Republik Indonesia" adalah demagogi yang ditunjukkan kepada pejuang intelektual Indonesia, terutama yang berada di luar negeri. Untuk buku tersebut, Moh. Yamin berkomentar, "Tak ubahnya dari Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi Filipina pecah...."
Madilog (1943) adalah magnum opus-nya Tan Malaka. Buku ini mirip sejarah pemikiran modern dan metodologi. Secara konotatif berarti imbauan agar pembaca menggunakan nalar.
Madilog berisi kunci-kunci pencerahan dalam jamak situasi sosial, dalam hal ini Nusantara pra-Indonesia. Sampai permulaan abad XX bangsa ini terbelakang dan terjajah. Disinyalir, berbagai akumulasi problem Nusantara terletak pada cara berpikir. Pola pikir masyarakat waktu itu masih mengakar pada paham klenik, nilai sosial budaya yang bergantung kepada hukum alam -sisa feodalisme maupun hinduisme.
Berkenaan dengan kondisi Nusantara pra-Indonesia tersebut, Tan melancarkan kritiknya. Menurut Tan, langgam berpikir mistik telah mengakibatkan pause dalam polarisasi sosial. Sinergi sosial putus karena pelakunya memercayai kekuatan di luar dan menafikan potensi diri.
Tan berpendapat, suatu perubahan tatanan masyarakat terletak pada cara berpikir logis. Tan menawarkan sebuah kerja berpikir yang disebut sebagai (ma)terialisme-(di)alektika-(log)ika atau kritis, dinamis, dan lepas dari mistik serta takhayul.
Ma-di-log merupakan sistem berpikir yang menghubungkan pengetahuan empiris serta dikembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar budaya Indonesia. Anasir tersebut tampak dalam premis-premis yang dibangun -dibentuk lewat kerja ilmiah (fakta empiris), bersifat Indonesia -sentris, futuristis, mandiri, konsekuen, serta konsisten.
Dalam filsafat, yang pokok adalah akal budi, kesatuan pikiran, dan pengindraan. Filsafat materialisme menganggap alam benda dan realitas sebagai hal nyata yang objektif. Dalam ma-di-log, yang pokok adalah bukti. Alasannya, sekalipun belum dapat diterangkan secara rasional dan logis, matter telah menjadi bukti. Ia menjadi landasan pengetahuan empiris yang hadir secara konkret.
Koherensinya terletak pada keabadian partikel atom. Partikel atom adalah satu organisme yang memiliki zat asli (subatom) dan bisa mati. Akan tetapi, zat asli atom adalah abadi. Hal ini akibat penyerapan partikel ke dalam tubuh yang mati oleh organisme lain. Mineral dari bangkai hewan atau manusia bisa dilacak. Terjelma dalam tumbuhan dan binatang.
Yang mati hanya tubuh. Sedangkan zat asli tetap hidup dan bisa dilacak dalam organisme lain. Secara ilustratif, mayat berberat 59 kg setelah beberapa tahun ditanam tinggal tulang belulang seberat 10 kg. Sisanya tidak melayang ke matahari atau bulan. Tetap di bumi mendukung kehidupan makhluk lain.
Rudolf Mrazek (1972) mempelajari sosok Tan melalui studi yang disebut "struktur pengalaman seorang personalitas politik". Pendekatan ini adalah upaya untuk melihat pola-pola dalam diri seseorang secara total. Struktur pengalaman sebagai metodologi memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan hal-hal yang berlaku di sekitarnya. Seorang personalitas politik akan mengonseptualisasikan diri dan masyarakatnya melalui konsepsi yang sama sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.
Pada tahap awal struktur pengalaman Tan dilihat Mrazek sebagai tipe masyarakat Minangkabau permulaan abad XX yang mempunyai "dinamisme" dan "antiparokalisme". Dalam adat dan falsafah Minang sendiri, konflik dianggap sebagai hal penting untuk mencapai dan mempertahankan integritas masyarakat. Alam Minang dilihat melalui kacamata dialektika menemukan keserasian dalam suasana kontradiktif. Kemampuan adat bertahan melewati perubahan zaman terletak pada keluwesannya untuk mengembangkan diri dalam proses pembaharuan.
Adat dipertahankan agar lestari. Unsur-unsur baru dari luar diterima dan proses dinamis akan mengeliminasi beberapa elemen dari alam bersangkutan. Dalam hal ini kaitan yang tampak antara adat dan agama (Islam). Logikanya, alam Minang mempunyai dinamika sendiri. Dalam dinamika itu terdapat kekuatan yang bisa menjadikan dirinya tetap relevan bagi zamannya.
Tan seorang cendekiawan Minang. Maka, dia adalah personalia yang menerima visi atau idealisasi adat dan falsafah hidup Minang. Itulah landasan atau struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku, dan jalan pemikirannya selalu diwarnai struktur pengalaman tersebut.
Proses pemasukan unsur-unsur luar dimugkinkan oleh konsep "rantau". Rantau bagi Tan berarti tempat menemukan ilmu baru. Visi adat dan falsafah Minang yang dimilikinya dikembangkan untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat sekitarnya, Nusantra pra-Indonesia.
Titik tolak pemikirannya adalah persepsi-persepsi yang berasal dari kebudayaan Minang. Hal ini terjelma dalam karya-karyanya, terutama Madilog. Konsep ma-di-log sebuah prinsip (tesis-antitesis-sintesis) yang dikembangkan oleh Tan dalam batasannya dengan lingkungan kebudayaan, terutama Nusantara pra-Indonesia. Ikhtisar antara kerja berpikir Marxis-Leninisme dipadu dengan idealisasi adat dan falsafah Minang. Konsep rantau adalah antitesis yang berkonflik dengan tesis alam sebagai referensi asal. Dari situ lahirlah sintesis yang mendorong manusia untuk mengadakan perubahan bagi perbaikan nasib. (*)
'Atiqurrahman, alumnus FIB Universitas Airlangga Surabaya
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment