Sunday, March 14, 2010

[Refleksi] Mas Bud

-- Djadjat Sudradjat

IA bukan tokoh yang bergema. Sebagai penyair namanya tak berkibar-kibar seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, apalagi W.S. Rendra. Sebagai jurnalis ia juga tidak setenar Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan Jacob Oetama. Tapi, ia sosok yang teguh dan sahabat yang menawan hati. Seorang yang tak pernah kekurangan energi untuk selalu menyapa siapa saja, khususnya sahabat-sahabat muda.

Budiman S. Hartoyo (kiri)

Budiman S. Hartoyo (BSH), wartawan yang teguh itu, berpulang di Rumah Sakit Thamrin, Jakarta, Kamis (11-3). Sudah lama terbaring karena komplikasi penyakit jantung, liver, dan ginjal. Ia mangkat pada usianya yang tak muda, tapi juga belum terlalu renta, 72 tahun. Mas Bud, saya menyapanya, dan sebagian sahabat mudanya memanggilnya Pak De, adalah senior yang tak punya lelah membimbing para yuniornya menjadi wartawan yang tangguh. Wartawan yang tak bisa dibeli!

Lama saya tak bertemu Mas Bud, mungkin dua--tiga tahun. Tetapi, ia selalu mendahului mengirim pesan pendek (sandek), sekadar menyapa dan berkabar tentang sesuatu yang biasanya berkaitan dengan jurnalistik. Tapi, ketika Mas Bud ambruk dan dirawat di rumah sakit Januari silam, ia tak berkabar lagi. Saya juga tak punya inisiatif terlebih dahulu menyapa. Mungkin selama ini terasa "nyaman" didahului disapa Mas Bud.

Pada 13 Januari di dinding Facebook-nya, ia menulis dengan jiwanya yang menggelora, tentang rencana Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi. "Tanggal 22--24 Januari 2010 PWI-Reformasi menggelar Kongres Nasional ke-V di sebuah hotel kecil di Kompleks GOR Ragunan. Ini peristiwa luar biasa mengingat organisasi ini, meskipun sudah berusia 10 tahun, tapi miskin....Cuma bermodal semangat. Tema besarnya: Bersihkan pers Indonesia dari wartawan bodrek.

Agaknya, itu tulisan terakhir Mas Bud di Facebook media lain tempat kami berinteraksi, selain telepon selular. Setelah itu, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 5 Desember 1938 ini, terbaring di rumah sakit. Saya tak tahu apakah Kongres PWI-Reformasi itu jadi digelar. Tapi, lihatlah "antiamplopnya" tak pernah padam! Ia paham sulit membersihkan pers Indonesia dari "wartawan bodrek". Justru karena itu ia terus melawan.

Mas Bud memang tokoh terdepan PWI-Reformasi. Ia terpilih sebagai ketua umum pada kongres pertama organisasi ini tahun 2000. Pada kongres berikutnya tiga tahun kemudian, ia didapuk sebagai Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik. Sejak pembentukannya, 1999, ia sangat aktif mengampanyekan organisasi ini, termasuk kepada saya. Sejak awal Mas Bud minta saya aktif di PWI-Reformasi. Berkali-kali. Permintaan yang tak bisa saya penuhi. (Maafkan saya, Mas Bud).

****

SAYA mengenal Mas Bud selain lewat sajak-sajaknya juga lewat seorang kawan, seorang perempuan. Pendidik asal Solo--satu kota kelahiran dengan Mas Bud--yang ketika remaja menjadi pecinta karya-karya sang penyair ini. Ia selalu tak kehabisan bahan setiap bicara sosok yang dikaguminya itu. Ia hapal beberapa sajak penyair bertubuh kecil ini.

Dua sajak BSH, Kepada Tanah Air dan Majulah Pahlawan memang yang agak akrab di telinga publik. Setidaknya kerap dipilih dalam lomba baca puisi Agustusan. Sebagi penyair, ia agaknya tak termasuk yang habis-habisan mencari "hal-hal baru" dalam puisi. Bagi BSH, sajak memang harus "berbicara" dan "bermakna". Jejak ini jelas dalam dua buku puisinya, Lima Belas Puisi (1972) dan Sebelum Tidur (1977).

"dalam tuntutan segenap bangsaku yang lapar merana/selain nafas kerinduan akan cinta/selain arti yang terwujud dalam kebenaran arti kerja/namun tangis anak-anak yang tak kunjung mengerti/adalah pernyataan yang sungguh tentang arti rizki/sementara itu bapa-bapa kita yang terhormat bicara juga/sedang apa pun yang terjadi/di mimbar atau di sini/tidak juga dipenuhi!"

Itulah bait terakhir sajak Kepada Tanah Air yang dimuat Gelanggang, 1966. Sajak "protes" yang memang lahir di zaman yang rombeng di masa akhir Orde Lama. Zaman ketika "politik menjadi panglima" dan "revolusi" menjadi dewa. Sementara "realisme-sosial" dijejalkan menjadi pilihan wajib seniman. Inilah zaman yang dilawan oleh para penandatangan Manifes Kebudayaan.

Sebagai penulis, Mas Bud sosok yang tertib, juga dalam mendokumentasikannya. Tak banyak wartawan senior kita yang membuka lima blog untuk menampung rupa-rupa karyanya: puisi, kolom, artikel jurnalistik, feature, dan rupa-rupa tulisan yang lain. Mas Bud secara teratur menjawab berbagai pertanyaan dan komentar pembaca blog-nya.

Seorang wartawan muda bernama Wahyu, misalnya, dulu pernah di bawah bimbingan Mas Bud kini bekerja di sebuah stasiun televisi dan tengah menempuh studi S-2 di Eropa. Ia merasa amat banyak mendapat ilmu dari Mas Bud. Rindunya terobati dengan membaca tulisan-tulisan gurunya.

"Bung Wahyu. Terima kasih atas kunjungan Anda. Ah, ini kan situs coba-coba saja. Isinya pun cuma tulisan yang saya pungut dari keranjang sampah di rumah. Juga trims banyak, ternyata Anda masih ingat sama saya. Selamat, Anda bisa studi di negeri Belanda. Saya sudah buka situs Anda. Bagus! Cuma sayang, isinya cuma semacam buku harian. Coba kalau renungan, atau artikel yang (katakanlah) agak berbobot tentang Negeri Kincir itu," jawab Mas Bud. Ia merendah untuk dirinya tetapi mendorong untuk maju bagi orang lain.

Mas Bud, ucapan belasungkawa yang terangkai di dinding Facebook-mu dari para sahabat seluruh negeri, beberapa kali kubuka. Di situ saya kian yakin Anda guru jurnalistik yang pacak. Semua mengenangmu sebagai wartawan yang lurus dan guru yang tulus.

Mas Bud, seperti bait terakhir sajak Doa yang engkau tulis puluhan tahun lalu, betapa siap Anda menghadap Sang Khalik. Betapa pun, ya Allah/ Jangan palingkan wajah-Mu/Betapa pun kusandang dosa-dosaku dan/ dengan rasa malu/ Aku datang menghadap-Mu/ Tapi pandang-Mu jangan begitu.

Selamat menghadap-Nya, Ia tahu tempat terbaik untukmu, Mas Bud.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010

No comments: