-- Nina Susilo
KEBERPIHAKAN kepada kaum marjinal agaknya masih jauh dari realitas. Hal ini, dalam pandangan Guru Besar Emeritus Cornell University, Amerika Serikat, Benedict Anderson, tak lepas dari perjalanan sejarah Indonesia.
KOMPAS/NINA SUSILO
Untuk membawa kesejahteraan kepada masyarakat, diperlukan keberpihakan kepada kaum marjinal. Hal ini semestinya diwujudkan melalui gerakan kaum menengah, apa pun wujud gerakan itu.
Ben Anderson, peneliti politik Indonesia, menyampaikan hal itu dalam wawancara singkat seusai berbicara dalam bedah buku terjemahan The Rise of Indonesian Communism karya Ruth McVey, Kamis (25/2) di Surabaya, Jawa Timur. Buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kemunculan Komunisme di Indonesia.
Berikut wawancara dengan peneliti yang pernah dilarang masuk ke Indonesia pada masa Orde Baru itu.
Anda menyebutkan perasaan kebangsaan adalah bayangan imajinasi masyarakat. Apakah hal itu masih relevan sekarang?
Kebangsaan itu sebenarnya sesuatu yang biasa, proses yang sehari-hari kita lakukan, seperti kita berkedip atau seperti angin. Meskipun begitu, ada perbedaan antara orang Australia dan Indonesia. Jika berkirim e-mail, orang Indonesia memilih lebih banyak berkomunikasi dengan orang Indonesia. Memang ada nasionalisme dengan huruf besar, seperti pada 17 Agustus. Namun, ini seperti letusan kecil.
Ada buku bagus yang dibikin orang Inggris, namanya Michael Billig, judulnya Banal Nationalism. Ia menunjukkan nasionalisme sebagai suatu emosi, suatu kebiasaan yang hidup di sekitar kita. Ketika orang Indonesia berhenti menyukai lagu Indonesia, berarti nasionalisme habis. Tetapi, itu masih jauh. Malah teman-teman saya menyebutkan nasionalisme Indonesia yang paling dalam. Sebab, Indonesia bersuku-suku, menghadapi banyak masalah dari luar negeri, mengalami banyak percekcokan, banyak tragedi, tetapi tidak pecah. Seharusnya dengan masalah seperti itu, bisa menjadi 4-5 negara.
Yang menarik, misalnya, kasus Aceh, terjadi keributan, tetapi tidak membuat Indonesia pecah. Berbeda dengan Timor Timur (Timtim, sekarang Timor Leste). Orang Timtim tidak merasa sebagai orang Indonesia dan tidak menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Karena itu, orang Indonesia tidak menangis ketika Timtim lepas. Mungkin malu, tetapi setelah itu, ya sudah. Kalau Timtim masuk imajinasi Indonesia, tentu sampai sekarang masih ada buntutnya.
Kendati menyebutkan kesukaan pada lagu sentimental sebagai salah satu ciri masyarakat Indonesia, Ben menegaskan, hal ini tidak berlaku sama untuk semua orang Indonesia. Hal ini berlaku sama di negara lain.
Soal identitas dan kebangsaan, dia mencontohkan, saat kecil dia sangat menyukai pergi ke pasar bersama ibunya. Tetapi, Ben kecil malu bisa melihat cara ibunya berbicara keras dengan pedagang di pasar. Kendati demikian, ibu tetap ibu. Sama dengan nasionalisme, rasa malu dengan kekurangan negara sendiri sangat penting. Sebab, tiada rasa malu terhadap kekurangan bangsa sendiri bisa dimaknai sebagai ketidakpedulian berbuat sesuatu untuk bangsa.
Apakah demokrasi sudah terbentuk di Indonesia?
Bisa disebut ada kemajuan. Ada pemilu dan kekerasan bisa dikatakan tidak ada. Tetapi, harus diakui, partai politik Indonesia sebenarnya tidak ada apa-apanya, hanya organisasi terpimpin. Mereka semua konservatif, semua tunduk pada tuntutan dari luar negeri. Kualitas individu pemimpinnya luar biasa rendah. Jadi, kalau dikatakan sebagai demokrasi yang sehat, tidak juga.
Memang diperlukan beberapa orang dengan kualitas yang baik dengan cara berpikir di luar tempurung. Tetapi, sekarang tak ada yang berani berkorban dalam jangka panjang. Mereka tak punya mimpi dan tak punya visi yang jelas dalam jangka panjang. Semua yang terjadi hanya oligarki dan membagi-bagi rezeki, kita akan lihat, semuanya termasuk biarpun Partai Keadilan Sejahtera.
Kehidupan politik Indonesia tidak melahirkan tokoh. Apa sebabnya?
Melihat berapa puluh juta orang miskin, apa ada parpol yang turun dan memerhatikan mereka? Apa ada partai yang independen, populis, dan memerhatikan rakyat? Jadi, kelas menengah sudah hopeless. Seharusnya kelas menengah bergerak dan menjadi pimpinan masa ini.
Kenapa kelas menengah di Indonesia tidak bergerak?
Sebagian karena pendidikan. Kelompok yang paling hancur pada 1965 adalah guru SD, SMP, dan SMA. Siapa yang masuk hanya orang yang dekat dengan Soeharto, seperti tentara dan beberapa lainnya. Orang ini kualitasnya rendah dan sama sekali tidak sayang bangsa, hanya ingin masuk birokrasi.
Namun, untungnya, di tengah puing-puing ini, masih ada anak-anak muda yang berpikiran terbuka dan mau mencari tahu sejarah secara otodidak meskipun kelas menengah ini pun seperti trauma dan tidak berani bilang apa. Sebanyak 50 persen kelas menengah secara politik masih ke kiri.
Kendati pernah dilarang masuk Indonesia, Ben berterima kasih kepada Soeharto dalam banyak hal. Karena dilarang ke Indonesia, ia tidak hanya terfokus pada masalah Indonesia, tetapi juga mempelajari sejarah negara lain.
Sumber: Kompas, Selasa, 9 Maret 2010
No comments:
Post a Comment