-- Usman Hamid*
MASIH ingatkah kita kepada sosok Bung Kecil? Demikianlah dulu Sutan Sjahrir akrab disapa. Seabad lalu, 5 Maret 1909, Sjahrir dilahirkan. Meski bertubuh mungil, Sjahrir memiliki gelora pemikiran yang besar, luas, aktual, dan melampaui struktur pemikiran serta semangat zaman kala itu.
Dalam perjalanan ke Tanah Air sepekan lalu, saya tak sengaja mendapat kursi pesawat yang bersebelahan dengan Jaap Erkelen. Jaap bercerita tentang sebuah buku tentang Sutan Sjahrir yang diterbitkan Kompas dan KITLV dan diluncurkan di Jakarta, kemarin.
Hari ini kepolitikan kontemporer kita amat memerlukan sosok Sjahrir. Politik kita disibukkan oleh drama kekuasaan yang gemar mengutak-atik urusan- urusan pragmatis transaksional. Kita terus menyaksikan kericuhan dan kesemrawutan berpolitik, seperti tampak saat mengambil keputusan politik paripurna dalam hak angket kasus bail out Bank Century.
Lakon politik lebih mempertontonkan tarik ulur pertarungan kepentingan dari sekelompok elite kekuasaan dari pertaruhan keutamaan rakyat. Lobi-lobi menjadi kosakata sakti yang kerap digunakan untuk mengulur waktu. Kebuntuan lobi berganti dengan tekan menekan dan tuduh menuduh atas kejahatan masing-masing. Skandal, penyelewengan, dan kejahatan politik pun menjadi absurd.
Perkara politik yang diimajinasikan Sjahrir adalah perkara yang tak bisa disederhanakan dalam matematika pragmatisme kekuasaan. Politik membutuhkan komitmen dan totalitas antara ide, cita-cita, dan tindakan agar keberlanjutan dan kesepahaman di tengah kemajemukan itu bisa berlangsung abadi. Tak terputus. Politik Sjahrir adalah sebuah etika politik yang menyejajarkan moralitas dan rasionalitas agar pada akhirnya semua orang Indonesia bisa merasakan buah dari keadilan sosial ekonomi yang dinanti-nantikan setelah kemerdekaan diserukan.
Itulah mengapa baginya tak cukup kita memproklamasikan sebuah kemerdekaan ke seluruh penjuru dunia. Perjuangan kita juga harus diarahkan pada bagaimana kemerdekaan bangsa diisi dengan memajukan peradaban masyarakat Indonesia yang sungguh dicintainya. Sjahrir memang bukan seorang politisi puritan, tetapi ia aktif menyuarakan suara-suara Indonesia di panggung dunia.
Pemikiran dan praksis politik Sjahrir berkelindan dengan perjuangan para pemimpin politik dalam negeri hingga pemimpin dunia dari Mahatma Gandhi sampai Jenderal Aun San, ayah dari tokoh oposisi rakyat Myanmar, Aung San Suu Kyi. Keaktifan Sjahrir dalam berdiplomasi diakui sebagai hasil tempaan diri yang dilakukan dengan kesadaran utuh.
Politik akal budi
Alam pikir Sjahrir yang mendunia sangat memengaruhi tindakan politik kesehariannya yang berada di tengah kenyataan politik Indonesia saat itu yang masih dikuasai kekuatan bersenjata rezim kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Sjahrir tak melawannya dengan kekuatan senjata dan gaya politik gerilya atau melakukan tekanan tandingan yang eksesif dan destruktif.
Bagi Sjahrir, politik kolonial harus ditandingi dengan politik akal budi yang dilekatkan dan tak terpisahkan dari kehidupan personalnya sehari-hari. Bukan praksis kekuasaan yang hipokrit seperti politik kita hari ini. Semangat ini diyakininya ampuh untuk memutus rantai feodalisme dan kecenderungan nasionalisme chauvinistik.
Sayangnya, politik kita kesulitan untuk menggapai imajinasi politik Sjahrir. Penghalang utamanya mungkin ketidaktuntasan transformasi ideologi yang seharusnya dikembangkan elite politik. Bersamaan dengan itu, dunia pendidikan akar rumput kita masih jauh terbelakang. Keterputusan pendidikan politik menghambat pengembangan struktur masyarakat majemuk yang toleran dan praksis politik elite yang bermoral.
Padahal, politik memerlukan keberlanjutan keteguhan dan kesepahaman atas dasar nilai- nilai keutamaan publik, bukan insidental, tekanan apalagi paksaan untuk menukar setiap kejahatan kelompok elite yang satu dengan lainnya di atas matriks kekuasaan.
Kompromi
Babak dari politik kompromi untuk kepentingan elite hari ini adalah kesesatan berpikir tentang politik, kehampaan berlogika, dan absennya tanggung jawab politik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Ini semua akan membenamkan politik dalam kubangan lumpur kekuasaan, saling curiga sekaligus mencederai rasa keadilan yang seharusnya diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi, politik kita merindukan sosok Sjahrir. Bung Kecil ini adalah seorang demokrat sejati yang tahu bagaimana mempertaruhkan hidupnya untuk memenangkan kemanusiaan sebagai makna kehidupan yang utama. Bukan sosok para elite kekuasaan hari ini yang bertarung demi nasib sendiri—bukan nasib bangsa—dan hanya akan terus menutupi dan menipu diri untuk menghalau awan merah dan semua keanomalian dari pilihan berpolitik di negeri ini.
Akhirnya, masa depan politik Indonesia yang diimpikan Sjahrir menjadi tak mungkin lahir dari pergulatan pragmatisme kekuasaan yang banal.
* Usman Hamid, Aktivis Kontras dan Eksponen 1998
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010
No comments:
Post a Comment