Sunday, March 21, 2010

Menyoal Dalang Repot

-- Dadang Kusnandar*

CIREBON 1970 adalah dunia kecil saya yang penuh warna kesenian. Sandiwara masres, dokmong (sastra lisan penuh nasihat dari teks Thoriqot Satariyah), hingga ada yang dijuluki wayang klitik atau dalang repot. Kesenian yang tak terdokumentasi ini sempat jadi perbincangan bersama seniman peniup suling pada suatu malam. Katanya, "Saya kagum pada kehebatan dalang repot. Sendirian mampu bercerita, memainkan wayang sederhana, mulut kadang jadi musik dan kaki menjejak kecrek".

Tetangga saya tahun 1970 dikhitan. Keluarganya menanggap kesenian tradisi masres. Tentu saja ini mengundang kerumunan anak-anak. Pertama karena langka dan unik. Kedua, masyarakat memang haus hiburan yang tidak sekadar asyik ditonton, tetapi juga memiliki pesan moral berupa tuntunan dari kisah yang ditampilkan. Ketiga, rasa ingin tahu pada hal-hal yang baru, menyegerakan anak-anak berkumpul duduk di panggung. Keempat, sangat jarang hajatan di Kota Cirebon yang nanggap masres, lantaran saat itu tarling lebih dominan berpindah dari satu panggung ke panggung lain.

Tahun 1970-an pun, Pasar Kagok di Jalan Kembar, Lawanggada Cirebon sering dijumpai penari topeng Cirebon yang tengah bebarang (ngamen). Ia bebarang di tengah kerumunan orang di pasar karena grup topengnya sudah cukup lama tidak manggung. Terdorong kebutuhan ekonomi atau memang bebarang merupakan satu fase yang memang harus dilakukan penari topeng untuk menambah kepercayaan diri. Kepercayaan atas kesenian yang diembannya, juga kepercayaan untuk tegak berdiri di tengah seni baru (saat itu lagu-lagu grup band membanjir). Saat bebarang, hanya sedikit uang yang diperoleh. Namun keberanian menampilkan eksistensi tari topeng, tampak lebih penting dari keterdesakan ekonomi.

Maka bila ada tetabuhan unik meskipun memekakkan telinga, tak cuma anak yang mendekati sumber suara. Orang dewasa pun rela meluangkan waktu tidurnya untuk menikmati kesenian tradisi. Inilah salah satu cara ampuh menghidupkan dan menghidupi kesenian tradisi. Hal ini sempat dilontarkan Wali Kota Cirebon Subardi pada penutupan HUT Cirebon 2009. Katanya, kalau ingin menghidupkan dan menghidupi seni tradisi, sebaiknya pada saat kenduri kita nanggap seni tradisi. Otomatis imbauan ini disambut Abdul Adjib yang malam itu mementaskan lakon Gara-gara Kumis denganTarling Putra Sangkala-nya.
**

Anak-anak berlarian mengejar sumber suara. Sebentuk perkusi kecil mirip penanda pedagang es gusruk/es tungtung menarik perhatian anak-anak. Ia bukan pedagang keliling es gusruk. Ia memanggul beberapa boneka kertas dan sebuah kecrek dari lempengan besi tipis.

Semakin diserbu anak-anak, ia semakin senang lantaran berharap uang sawer lebih banyak. Ya, ia seorang seniman kampung yang anonim. Pertunjukannya dinamakan wayang klitik. Wayang dibuat dari kertas minyak warna merah putih di bagian kepala seukuran diameter delapan sentimeter, tangkai bambu yang diraut halus sebagai tubuh, tangkai bambu lebih tipis sebagai tangan kanan dan kiri. Tanpa kaki tanpa pakaian, wayang klitik beraksi.

Aksi yang dimainkan seniman jalanan yang sudah tua itu tidak butuh bantuan asisten, baik nayaga maupun sinden. Ia memainkan sendiri. Pertunjukan solo karier yang dikagumi anak-anak. Ia seperti kerepotan harus mempertunjukkan aksi wayang klitiknya sendirian. Akan tetapi, justru di sinilah kekuatan seni tradisi yang telah habis dimakan zaman. Tak pelak wayang klitik pun dinamakan dalang repot.

Dinamakan dalang repot karena ia menggerakkan wayang klitik dengan kedua tangan rentanya. Bisa saja ada adegan berkelahi yang membutuhkan energi lebih besar. Mulutnya dengan bibir kehitaman --mungkin pengaruh nikotin rokok-- melantunkan lakon yang dekat dengan dunia anak. Kadang juga mengeluarkan bunyi sebagai musik pengiring. Kakinya menjejak kecrek yang diletakkan miring menyandar ke kotak peragaan kesenian tunggal ini. Seniman tunggal, solo karier (dalam arti sebenarnya), dan serbabisa itu memperagakan cerita dengan timbre (warna suara) sesuai karakter wayang klitik. Kecrek yang disandarkan di kotak wayang bila dijejak kakinya menimbulkan efek bunyi yang kadang berfungsi untuk pindah adegan pada lakon yang dituturkan. Pak Tua itu duduk bersila di jalanan beralas sandalnya, lalu ia kenamemeragakan lakon.

Cerita yang dituturkan biasanya penggalan pada Kisah Mahabharata. Panjang pendek cerita (fragmen) tergantung jumlah penonton yang mengerumuninya. Semakin banyak penonton, semakin lama (panjang) ceritanya lantaran berharap uang sawer yang banyak. Meskipun ada penonton dewasa yang pulang dulu meninggalkan dalang repot sebelum lakon selesai. Artinya ia tidak sawer. Pergi ngeloyor begitu saja. Dan anak-anak yang betah mengikuti kisah Dalang Repot, umumnya jarang sawer karena tak ada uang. Bayangkan kecilnya pendapatan dalang repot!

Bila penonton semuanya anak-anak, seniman serbabisa ini pun berkomunikasi dahulu menanyakan lakon apa yang diinginkan penonton. Berbagai judul cerita dilontarkan anak-anak. Termasuk ada yang minta dikisahkan Kancil dan Buaya. Cicak lawan Buaya. Monyet Mencuri Timun. Selain tentu saja punakawan dalam pewayangan. Kelucuan Petruk, Gareng dan Bagong menjadi semacam kepuasan sendiri manakala dikisahkan oleh dalang repot.

Ketiadaan publikasi dan dokumentasi mungkin penyebab lenyapnya kesenian kampung ini. Kesenian yang digemari anak itu raib tanpa jejak. Bahkan kami tak kenal nama seniman serbabisa itu.

Ketika Slamet Gundono dari ISI Surakarta mengenalkan wayang suket, tiba-tiba ingatan saya seperti ditarik mengenang dalang repot. Bedanya, Gundono menggunakan suket (rumput) sebagai bahan baku wayangnya, sementara wayang klitik menggunakan media kertas lampion warna merah dan putih.
**

Ketika kini sejumlah seniman asyik mengangkat kembali seni tradisi, terlebih yang sudah hilang, mungkin sudah saatnya kita memformulasi wayang klitik. Perlu seseorang yang mumpuni, memiliki kemampuan bertutur cerita pewayangan lantas sendirian memainkan peran sebagai dalang repot. Musisi Embi C. Noer menuturkan, "Edi Bagja, rekan kita, waktu masih jadi mahasiswa STSI Bandung, ujiannya juga menampilkan karyanya yang dia mainkan sendiri, bergaya repot, demi menghemat biaya pentas dalam presentasi karyanya. Sampai dia pingsan karena memforsir. Gaya repot bukan cita-cita, tetapi cara untuk bisa bertahan. Seperti tawurji. Jika akan dihidupkan lagi, bisa saja sebagai pertunjukan seni bernuansa akrobatik (= pemain drum di sebuah band )."

Matthew Cohen Isaac Cohen, Lecturer Universitas Glasgow Inggris, menulis catatan pendek mengenai dalang repot, "Terima kasih laporannya! Memang ”dalang repot” itu satu istilah yang terkadang masih digunakan oleh dalang-dalang Cirebon, terutama kalau ditinggal nayaga! Akan tetapi, saya sendiri tidak sempat melihat atraksi yang sudah punah ini secara langsung... Mungkin ada kesamaan dengan gender bebarengan (yang sepengetahuan sudah punah juga di Cirebon), yaitu pertunjukan solo oleh seseorang yang meringkas pertunjukan besar, didorong oleh kebutuhan ekonomi."

Semuanya kembali kepada kita untuk menghidupkan lagi seni tradisi. Seni yang seharusnya masih bertahan, seni yang sebenarnya mampu dihidupkan lagi agar generasi kita tidak kehilangan jejak kesenian masa lalu. ***

* Dadang Kusnandar, penulis lepas tinggal di Cirebon.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret 2010

No comments: