Judul Buku: Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagad Media
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2009
Tebal: xxxviii + 250 halaman
Bukan perkara mudah mengemban kekuasaan. Michael K. Powell merasakannya ketika memimpin Komisi Komunikasi Federal (FFC) -regulator media di Amerika Serikat. Pada 5 April 1998, putra Menlu Colin Powell ini di hadapan Asosiasi Pengacara Amerika berseloroh, ''Malam setelah saya disumpah, saya menunggu malaikat kepentingan publik. Saya menunggu semalaman, tapi ia tak datang. Dan kenyataannya, lima bulan setelah menjalani pekerjaan ini, surga belum menggugah saya dan belum ada yang meramalkan kepentingan publik untuk saya'' (Amy & David Goodman, 2004).
Tak urung selorohan Powell mengundang protes. Seiring waktu gelombang demo meluas. Alhasil, malaikat yang ditunggu Powell berkunjung lebih kerap dari yang diinginkannya. Massa menyoal kebijakan pemerintah federal yang melepas sama sekali tanggung jawab untuk mengatur gelombang radio dan industri siaran. Pokok soal berhulu dari UU Telekomunikasi (TCA) 1996 yang dinilai menghambat demokratisasi media. Analogi malaikat Michael K. Powell itu cermin untuk memahami polemic rancangan peraturan menteri (RPM) tentang konten multimedia belum lama berselang. RPM ini dinilai sebagai bentuk pembatasan. Pemerintah ingin mengatur soal konten (isi) multimedia, padahal media online sesungguhnya langsung terikat dengan UU 40/1999 tentang pers sehingga tak perlu lagi regulasi dari Menkominfo. Pas di sini, kebebasan pers kerap bertemu dengan hal semu. Sesuatu yang menyerupai fatamorgana, tapi terus-menerus menyelinap dalam relasi pers, Negara, dan demokrasi.
Buku Kebebasan Semu karya Agus Sudibyo mencatat sejumlah tengara bahwa semangat antikebebasan bukan isapan jempol. Pada awal reformasi (1999-2002), kelompok massa, ormas, dan satgas adalah ancaman paling serius terhadap kebebasan pers pasca-Soeharto. Tapi belakangan Negara (pemerintah) selalu mencari celah untuk membatasi pers. Pasal 4 ayat 5 RUU Pers menunjukkan tendensi bredel, sensor, dan larangan siaran untuk: ''Pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama...''
Menurut Agus Sudibyo, tak jelas apa yang dimaksud ''merendahkan martabat suatu agama'', ''mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama'', dst. Yang jelas, draf revisi UU Pers ini, kata Agus, sama sekali tak disadari imperasi untuk menciptakan ruang publik media yang demokratis-deliberatif, melainkan strategi mengarahkan praktik media bagi kepentingan dan legitimasi politik pemerintah. Politik kebijakan pemerintah di bidang media kembali pada politik kontrol dan pembatasan (hal 92-93). Tendensi yang berpeluang mengancam institusionalisasi kebebasan pers juga dapat ditelisik dari semangat dan substansi RUU KUHP, RUU Rahasia Negara, RUU Intelijen, RUU Antipornografi, RUU Kebahasaan dan lain-lain. Serangkaian RUU ini memuat empat watak yang layak diwaspadai: (i) mengedepankan konstruksi negatif tentang ide-ide kebebasan, (ii) menyuburkan watak politik feodal dan konservatif, (iii) menuju pada substansialiasi dan sakralisasi negara, (iv) melebarkan fungsi-fungsi negara (hal 97-104).
Sungguh disesalkan DPR yang seharusnya konsisten menjadi pilar penguatan demokrasi kerap kehilangan orientasi. Kadang akomodatif terhadap RUU yang bersifat memperkuat pelembagaan demokrasi, namun pada sisi lain membuka diri terhadap inisiatif pemerintah untuk melegislasi berbagai RUU yang secara langsung atau tidak langsung bertendensi memperlemah pelembagaan demokrasi.
Di masa awal reformasi, DPR masih setangkup dengan aspirasi masyarakat publik yang memiliki misi menciptakan ruang publik demokratis. Namunseiring waktu keterpecahan masyarakat sipil dalam menentukan agenda isu dan kepentingan, membuat ruang publik demokratis tanpa agen pengawal. Alhasil ranah publik coba diatur pemerintah dengan kebijakan publik yang menelikung gerakan reformasi serta mereorganisasi kekuatan dan kepentingan birokrasi saat vis a vis dengan agenda reformasi di bidang media dan penyiaran. Pelan tapi pasti pemerintah menuju ke kondisi ''negara penyelenggara'' -versi halus dari ''negara otoriter''- di mana pemerintah lebih tinggi dari masyarakat untuk mengatur dan mengintervensi begitu banyak aspek kehidupan publik.
Dalam jebakan situasi demikian, Agus Sudibyo lalu mempertanyakan peran epistemologi media. Apakah yang bisa disumbangkan pers kepada demokrasi? Apakah kontribusi media bagi perkembangan keadaban manusia?
Wakil direktur Yayasan SET Jakarta ini menukilkannya dalam bab terakhir ''Menyangga Universalisme Jurnalistik, Mempertanyakan Fungsi Epistemologi Media'' (hal 219-241). Dua pendekatan menonjol terkait perdebatan epistemologis ini adalah paradigma positivistik-liberal dan paradigma konstruksionis-kritis.
Pers dianggapkan determinatif dalam membentuk masyarakat demokratis.
Karena itu, pers diharapkan dapat menyediakan ruang di mana proses check and balances dimungkinkan. Dengan begitu pers jadi sumber utama informasi dan diskursus bagi terbentuknya masyarakat informatif. Pun begitu, perkembangan teknologi dan sensibilitas kultural masyarakat berdampak pada praksis media. Inilah yang menyebabkan pers tak dapat bekerja sesuai track idealnya.
Agus Sudibyo menawarkan satu jalan keluar dengan menengok kembali debat antara jurnalis ternama AS Walter Lippmann dan filsuf/pakar opini publik John Dewey pada 1920-an. Walter Lippmann berpendapat peran media dalam mendorong partisipasi publik dalam proses politik demokratis adalah suatu utopia karena media tak mungkin mampu memberikan informasi yang mencerdaskan publik dan membantunya membangun opini yang mandiri. Ini terjadi karena media dihadapkan pada publik yang terkungkung kepentingan sendiri, kualitas berita dipengaruhi oleh determinasi ekonomi (kepentingan pemilik) dan media pun memiliki problem relativisme berita. (*)
Moh Samsul Arifin, pecinta buku, tinggal di Jakarta.
Sumber: Jawa Pos Minggu, 21 Maret 2010
No comments:
Post a Comment