Sunday, March 07, 2010

Pengarang dan Obsesi Kematian

-- Damhuri Muhammad

RUANG kepengarangan identik dengan kesendirian. Marguerite Duras menyebutnya "ruang sepi dan asing". Akan tetapi, bukan berarti ruang kepengarangan itu terisolasi. Bagi Sindhunata (2003), kesepian macam itu menempatkan pengarang di dalam "diri yang sadar" yang justru terus-menerus bergulat meraih kontak dengan ruang luar. Maka, denyut hidup pengarang sesungguhnya adalah denyut asketik. Semacam kesendirian dalam keriuhan, dan sebaliknya, riuh dalam kesendirian.

Saat peristiwa kepengarangan berlangsung, lelaku menyepi, mengasingkan diri tentu masih lumrah dan manusiawi. Namun, bila asketisme itu terus berkembang di wilayah yang bukan pada saat mengarang, atau katakanlah sudah membiasa dalam kesehariannya, akan mengakibatkan putusnya mata rantai relasi sosial antara pengarang dan dunia sekelilingnya. Di titik ini, pengarang tidak lagi menyendiri, tetapi sudah mengalienasi diri. Gejala ini kerap menjangkiti para pengarang, dan kemungkinan terburuknya adalah kejenuhan, depresi, hingga memicu tumbuhnya obsesi bunuh diri. Para pengidap "penyakit" ini bisa dirunut mulai dari Virginia Woolf (bunuh diri dengan menenggelamkan diri di Sungai Ouse, 1941), Ernest Hemingway (menembak kepala sendiri, 1961), Yukio Mishima (mengakhiri hidup dengan cara seppuku-ritual memburaikan isi perut-1970) dan Yasunari Kawabata (mati secara harakiri, 1972).

**

PETAKA yang sama juga menimpa Sadeq Hedayat (1903-1951), novelis Iran yang dari tangannya lahir karya besar ”The Blind Owl” (1937). Membaca novel itu seperti membaca rencana kematian pengarangnya. Berkisah tentang seorang lelaki muda yang tiada henti-henti mencederai perasaan sendiri, dan berharap agar perih luka itu kelak mengantarkannya ke pintu kematian. Demi menggapai hasrat itu, pengarang membentangkan layar estetik melalui pengisahan yang sesekali terbaca janggal. "Aku" sebagai pusat penceritaan menikahi pelacur yang juga saudara sepersusuannya, sementara latar budaya yang menjadi setting cerita mengutuk pernikahan macam itu. Dari titik inilah pengarang menabung luka dan perlahan-lahan bakal meredupkan gairah hidupnya, lalu memicu gairah untuk mengakhirinya.

Keganjilan kian terasa ketika pengarang melukiskan betapa mustahilnya seorang lelaki menjatuhkan pilihan pada perempuan sundal yang membutuhkan tiga jenis pria dalam hidupnya. Satu untuk pelampiasan nafsu, satunya lagi untuk cinta, dan pria terakhir khusus untuk disiksa. Lagi-lagi, demi mempertajam sikap aniaya terhadap diri sendiri, ia meniscayakan bahwa pelacur itu memilih dirinya hanya untuk disiksa. Keterjeratan "aku" dalam ruang kesendirian tatkala istrinya berkeliaran menawarkan ranum tubuhnya pada sekian banyak laki-laki lambat laun meniscayakan bahwa kamar tidurnya telah menjadi peti mati, sementara selimutnya adalah kain kafan pembungkus mayatnya. Seolah ia sudah mati, jauh sebelum ajal datang.

Kepengarangan Sadeq Hedayat tumbuh dalam tradisi kesusastraan Eropa. Ia mengagumi karya-karya Kafka, Allan Poe, dan Dostoyevsky. Selain itu, ia juga tekun menggauli karya-karya Rainer Maria Rilke dan amat terkesan pada pemujaan Rilke terhadap kematian. Pada 1927, Sadeq pernah mencoba bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke Sungai Marne, tetapi ada yang menyelamatkannya. Lalu, obsesi kematian yang lama terpendam itu mengejawantah dalam ”The Blind Owl”. Michael Beard, profesor dari University of North Dakota menilai novel itu sebagai tonggak sejarah bukan hanya bagi sastra Persia tetapi juga sastra dunia. Sadeq membutuhkan waktu satu dekade untuk mempersiapkan karya itu hingga akhirnya terbit di India pada 1937, sementara di Iran, baru terbit pada 1941. Disebut-sebut, setelah melahirkan ”The Blind Owl”, Sadeq Hedayat mengalami frustasi berat karena merasa tidak mampu lagi melahirkan karya-karya hebat. Ia meninggalkan Iran dan kembali ke Paris. Pada 4 April 1951, Sadeq mencoba bunuh diri lagi, dan ia "berhasil".

Kasus Sadeq hampir sama dengan tragedi kematian Ernest Hemingway. Peraih nobel sastra (1954) itu juga melakukan dua kali percobaan bunuh diri. Pemicunya sama; depresi berat pada fase kemandulan kreativitas. Benarkah Sadeq Hedayat bunuh diri semata-mata karena kreativitas yang tak lagi bisa diandalkan? Barangkali tidak, karena sebelum menulis ”The Blind Owl” pun Sadeq sudah melakukan uji coba bunuh diri. Mungkin obsesi kematian yang menjadi "penyakit" Sadeq belum terwadahi hanya dengan menulis ”The Blind Owl”. Kematian dalam teks bagi Sadeq hanyalah kematian artifisial. Maka, harus diwujudkan dalam bentuk kematian yang sesungguhnya.

Tragedi Sadeq seperti hendak menujumkan, bukankah lebih baik mati daripada terpasung dalam jerat hidup yang tak bermutu? Baginya, lebih baik memilih mati bilamana hidup lebih buruk daripada mati itu sendiri. Meminjam kalimat Prie G.S., jangan-jangan selama ini kita telah tertipu oleh wajah kematian yang menakutkan, dan sedapat-dapatnya dijauhi-setidaknya diulur-ulur. Semua orang ingin masuk surga, tapi tidak ada yang ingin lekas mati. Akan tetapi, bagi Sadeq Hedayat kematian adalah suaka. Kematian yang membebaskan, barangkali.***

Damhuri Muhammad
, cerpenis


Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Maret 2010

No comments: