Sunday, March 07, 2010

Berharap dari Panggung FDBS XI

SEPERTI penyelenggaraan sebelumnya, Festival Drama Basa Sunda (FDBS) XI tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari (TSK) Bandung, selalu membayangkan semacam harapan bagi perkembangan teater itu sendiri. Terlebih lagi, bisa dikatakan festival yang diikuti oleh 79 kelompok teater yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat ini, mereka yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak muda. Harapan yang dibayangkan itu bukan hanya dalam konteks regenerasi para aktor dan sutradara, melainkan juga bagi regenerasi publik teater. Terlepas dari kenyataan bahwa festival ini menggunakan bahasa Sunda.

TEATER Dongkrak yang mengusung lakon “Sadrah” bertutur tentang nasib malang tukang sampah bernama Sadrah.* AGUS BEBENG

Hingga hari keempat, Jumat (5/3), penyelenggaraan FDBS XI telah tampil sebelas patandang (peserta). Lepas dari tujuan normatif yang diembannya bagi perkembangan budaya dan bahasa Sunda atau yang menjadi ruang silaturahmi di antara patandang, festival ini bagaimanapun adalah kompetisi untuk menjadi yang terbaik. Persaingan di sini menjadi jalan menuju tujuan-tujuan normatif tadi. Sekaligus lewat persaingan inilah sejumlah potensi menawarkan sejumlah harapan bagi perkembangan jagat teater modern Indonesia ke depan.

Sampai hari keempat, inilah yang tampaknya mulai terasa dari penampilan para patandang. Seluruhnya hadir dengan keragaman tingkat kemampuan menampilkan pertunjukan. Mulai dari yang terasa masih tergagap-gagap, datar, hingga mereka yang telah memahami bagaimana mengolah elemen-elemen pertunjukan.

Pada yang terakhir ini, mereka relatif tidak lagi bermasalah pada hal-hal elementer, seperti keaktoran atau penyutradaraan. Selain itu, juga adanya pemahaman terhadap eksplorasi simbol dan metafora pertunjukan lewat tata cahaya dan artistik, mengolah idiom-idiom dramatik, penyiasatan tempo, hingga kesadaran untuk menghadirkan teater sebagai sebuah ensemble.

Penampilan Teater Dongkrak Tasikmalaya pada hari ketiga, Kamis (4/3), Teater Sambada dan Teater Lakon pada hari keempat, Jumat (5/3), agaknya bisa mewakili hal itu. Di sini, persaingan dalam menghampiri teks lakon untuk menghadirkannya sebagai peristiwa pertunjukan amat terasa, terutama ketika mereka berangkat dari teks lakon yang sama. Tak hanya gaya atau konsep pemanggungan, tetapi juga cara menafsir dan membongkar gagasan kesadaran di balik teks naskah lakon tersebut.

Dalam hal ini, apa yang disuguhkan oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya dan Teater Lakon UPI Bandung lewat lakon "Sadrah" karya Nunu Nazarudin Azhar menjadi menarik. Tak hanya sebagai perbandingan, tetapi sekaligus keduanya sama-sama saling menegaskan harapan apa yang sesungguhnya dijanjikan oleh festival ini bagi perkembangan teater.

**

TEATER Dongkrak mengusung "Sadrah" sebagai pertunjukan yang menekankan pada suasana. Meski naskah lakon ini bertutur tentang nasib malang seorang tukang sampah bernama Sadrah, suasana tampaknya menjadi strategi estetis sutradara Edi Martoyo untuk menghampiri gagasan kesadaran yang ada di dalamnya. Ini tak hanya mengemuka dari bagaimana ia menghadirkan pertunjukan dengan konsentrasi yang amat terjaga pada pengolahan tempo. Pada sejumlah adegan, tempo demikian lambat dan menekan, demi menghadirkan suasana murung, kesedihan, dan kekalahan.

Bahkan, sejak layar panggung dibuka, penonton langsung disuguhi "monumen" sampah menyerupai timbangan yang kedua ujungnya digelayuti keranjang tempat sampah. Hanya itu. Timbangan sampah itu tampak berdiri dengan massif di atas sebuah ketinggian, agung sekaligus menyedihkan. Ia tak hanya dihadirkan sebagai fungsi, latar kisahan tentang seorang tukang sampah, tetapi juga menjadi bangun simbolis atau metafora ihwal keadilan bagi rakyat kecil yang menjadi pusat seluruh pertunjukan. Ini, misalnya, terasa ketika Pamuda (Jabo Widyanto) melemparkan tali ke satu keranjang, lalu menarik-nariknya sehingga kedua timpangan sampah tersebut naik-turun.

Sebagai teater suasana, pertunjukan ini menyuguhkan sebuah ensemble yang tak hanya hadir lewat permainan tenang Andrea Fatih (Sadrah), Qeuis (Romlah), atau Jabo Widyanto (Pamuda). Akan tetapi, juga ensemble itu hadir dari belakang panggung, suara nyanyian yang murung menjadi aksentuasi suasana dramatik dalam sejumlah adegan. Misalnya, ketika Sadrah mengenang anak perempuannya, Siti (Vany), yang meninggal lewat potongan lagu anak-anak yang terdengar menyedihkan, abdi teh ayeuna gaduh hiji boneka....

Dengan kata lain, "Sadrah" dalam penampilan Teater Dongkrak merupakan eksplorasi teater suasana yang tak terpusat pada seorang aktor, tetapi pada bagaimana suasana itu dibangun lewat kesadaran teater sebagai ensemble. Tentu saja ini ditunjang dengan kefasihan para aktornya, tetapi terasa itu tidak menjadi bagian yang tersendiri.

Sebaliknya, inilah yang menjadi cara Teater Lakon UPI Bandung dalam menghampiri "Sadrah". Gagasan kesadaran ihwal realitas keadilan bagi rakyat kecil di tengah ketegangan situasi politik dan kemunafikan para birokrat, dihadirkan nyaris seutuhnya sebagai biografi Sadrah (Mohamad Adytia) itu sendiri. Lelaki tua tukang sampah dinas kebersihan kota yang sakit-sakitan.

Sebagai sutradara, Sahlan Bahuy tampaknya hendak menjadikan Sadrah sebagai representasi dari tubuh sosial rakyat kecil yang menjadi korban di tengah berbagai ketidakadilan. Sadrah menjadi representasi dari kekalahan, kesedihan, kegeraman, perlawanan, sekaligus mimpi-mimpi rakyat kecil tentang kemewahan.

Dan seluruhnya ini dibebankan kepada seorang aktor. Sebenarnya, strategi semacam ini menyimpan risiko karena nyaris seluruh poros pertunjukan bergantung kepada dirinya, termasuk dalam membangun tempo dan irama pertunjukan. Ini bahkan telah terasa sejak adegan-adegan awal, ketika Sadrah melakukan monolog dengan keranjang sampahnya. Beruntunglah, Mohamad Adytia mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya itu.

Dalam monolognya di adegan awal bersama keranjang sampah, ia mampu melekatkan hubungan antara Sadrah dan keranjang sampah tersebut untuk merepresentasikan bagaimana seorang rakyat kecil menghayati pekerjaannya. Keranjang sampah itu sekonyong-konyong tidak sekadar menjadi benda, tetapi makhluk yang bisa berbicara. Lewat imajinasi pemerannya, Mohamad Adytia juga mampu menanggulangi hal-hal teknis yang tak terduga ketika Sadrah pura-pura hendak meninggalkan keranjang sampahnya, tetapi ternyata keranjang itu menggelinding hingga jatuh dari panggung.

"Yeee, kadieu, ulah sok pundungan!" katanya sambil mengambil kembali keranjang itu di bawah panggung dan membuat penonton tersenyum-senyum.

Meski bangun suasana muncul dalam sejumlah adegan, terutama dalam pelukisan situasi sosial politik ketika itu, mulai dari demonstrasi para aktivis yang menuntut reformasi hingga unjuk rasa yang menentang penampungan sampah tempat Sadrah bekerja. Namun, bangun suasana itu terasa tidak menjadi fokus pertunjukan.

Meski seluruhnya tetap menjadi bagian dalam memberi aksentuasi pada perjalanan nasib Sadrah, eksplorasi di dalamnya berada dalam bingkai kesadaran berikutnya, yakni menarik hubungan antara sampah dalam isu lingkungan dan makna sampah sebagai metafora dari tabiat para koruptor.

Seluruhnya tidak diungkapkan dalam suasana yang dipenuhi oleh ketegangan, ketakutan, dan kemurungan sebagaimana dilukiskan oleh Teater Dongkrak, tetapi lewat keceriaan dan kegembiraan yang penuh sindiran. Mulai dari nyanyian para demonstran dengan wajah mereka yang ditempeli hidung badut dan gerakan-gerakan yang karikatural, hingga nyanyian dan permainan anak-anak oray-orayan.

Sampai hari keempat, selain Teater Dongkrak Tasikmalaya dan Teater Lakon UPI, "Sadrah" juga dimainkan oleh Teater Atap yang tampil Jumat (5/3). Di antara enam naskah yang disediakan panitia festival, "Sadrah" dipilih oleh 26 patandang dan merupakan naskah yang paling banyak dipilih, selain "Zaman Dabrul" (Arthur S. Nalan, 13 patandang), Meredong (Rosyid E. Abby, 9 patandang), "Cukang" (Dadan Sutisna, 11 patandang), "Bandera! Bandera!" (Toni Lesmana, 13 pantandang), dan "Kembang Gadung" (Dhipa Galuh Purba, 1 patandang).

Akan tetapi, tentunya lepas dari persamaan atas pilihan naskah, penampilan Teater Dongkrak Tasikmalaya dan Teater Lakon UPI Bandung pada hari ketiga dan keempat festival seolah mulai meniupkan aroma persaingan di antara kualitas para patandang. Ini juga tak bisa mengecualikan penampilan "saudara" Teater Lakon, yaitu Teater Sembada UPI Bandung yang bisa saja ujug-ujug menjadi "kuda hitam".

Akan tetapi, festival belum berakhir. Masih ada lima belas hari lagi dengan penampilan sejumlah patandang dari 79 kelompok teater. Bukan tidak mungkin, peta persaingan akan semakin menarik. Peta yang tentu saja bukan demi keperluan untuk mencari para juara, melainkan untuk membayangkan semacam harapan bahwa festival ini akan menjadi embrio bagi generasi seterusnya dalam perkembangan teater modern Indonesia. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Maret 2010

No comments: