Sunday, March 28, 2010

Sastra: Sapardi Tak Pernah Berhenti

-- Ilham Khoiri

SAPARDI Djoko Damono, salah satu penyair kuat Indonesia, kini sudah berusia 70 tahun. Dia masih sehat, produktif, dan karya-karyanya terus diapresiasi masyarakat. Bagaimana dia menjaga energi kreatifnya?

Sastrawan Sapardi Djoko Damono tampil di acara Puisi-puisi Cinta Sapardi Djoko Damono di Grha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (14/2). (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Sapardi tampak segar dengan setelan kemeja krem, kaus dalam putih, dan celana gelap, Jumat (26/3) pagi itu. Setelah sarapan pagi, yang hampir selalu dia buat sendiri, lelaki itu memeriksa beberapa buku.

”Ini buku-buku saya yang pernah diterbitkan di luar yang ditarik kembali untuk diterbitkan sendiri,” katanya. Sapardi bercerita sambil duduk santai di ruang tengah rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia di kawasan Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Tahun 2009, penyair itu membuat penerbitan Editum. Semua bukunya, baik berupa kumpulan puisi, esai, maupun cerita, ditarik lagi. Setelah melewati editing naskah dan format ulang tampilannya, buku-buku itu kemudian dicetak kembali.

Yang menarik, semua proses itu dikerjakan sendiri oleh Sapardi. Untuk mengedit dan me-layout naskah, dia memanfaatkan program Microsoft World yang disimpan dalam format PDF. Setelah beres, naskah itu dicetak terbatas, sesuai dengan permintaan. Hingga kini, sudah 14 buku yang diterbitkan dengan cara itu.

”Penerbitan ini untuk memenuhi permintaan banyak orang yang masih mencari buku saya. Padahal, beberapa buku lama sudah tak beredar lagi di pasaran,” katanya.

Penerbitan itu hanya salah satu dari kegiatan yang dijalani lelaki yang lahir di Solo, 20 Maret 1940, itu. Hingga masa tuanya, dia masih aktif berkarya: membuat puisi, menulis esai sastra dan budaya, mengarang cerita, menerjemahkan, serta menulis makalah.

Sudah 20-an buku sastranya yang terbit, sebagian besar berupa kumpulan puisi. Setelah DukaMu Abadi (1969), menyusul kemudian beberapa kumpulan puisi lainnya, Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), dan Kolam (2009).

Dia juga rajin mengajar dan membimbing penelitian di beberapa kampus. Sapardi pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra UI sekaligus guru besar. Juga pernah menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam serta mengisi diskusi dan membacakan puisi.

”Sampai sekarang, saya tetap membaca, menulis, dan bekerja agar tidak pikun,” katanya sambil tersenyum.

Liris

Dengan ketekunan semacam itu, Sapardi melakukan uji coba dan terobosan dalam sastra Indonesia. Tahun 1960-an, karya-karyanya cenderung bernuansa kelam dan murung, seperti tampak dalam DukaMu Abadi. Tahun 1970-an, puisi-puisinya banyak menghadirkan benda-benda keseharian yang hidup dan bisa bicara, seperti manusia. Baca saja kumpulan puisi Akuarium.

Tahun 1980-an, dia banyak membuat acuan tokoh-tokoh mitologi. Tahun 1990-an, dia menggumuli tema-tema sosial dengan kritis dan tajam. Corak ini diwakili puisi-puisi dalam Arloji dan Ayat-ayat Api.

Tahun 2000-an, dia menulis sajak-sajak panjang, seperti dalam Den Sastro. Lalu, pada akhir tahun 2000-an, lelaki bertubuh ringkih ini memaksimalkan permainan perangkat tradisi tulis (seperti titik, koma, titik dua, huruf miring, atau huruf tebal) untuk merekam gumaman atau celetukan yang tak terdengar. Itu terasa pada puisi-puisi dalam Kolam.

”Saya bosan dengan satu corak bahasa, dan ingin terus bereksperimen,” katanya.

Meski begitu, Sapardi telanjur dikenal sebagai penyair dengan puisi-puisi liris. Puisi jenis ini memproses perkembangan pikiran dan perasaan yang subtil. Diksinya tajam, halus, dan rumit, tetapi tak kentara.

Dalam karyanya, benda-benda keseharian (seperti hujan, gerimis, angin, gunung, pohon, senja, kucing, pisau, atau langit) hadir berdenyut hidup. Bahasanya bersahaja, tetapi penuh imaji, jernih, dan dalam. Kualitas seperti itu menjadikan karya-karyanya sangat populer: kerap dikutip, dimainkan dalam musik, film, sandiwara, sinetron, atau dicantumkan dalam kalender, bahkan undangan perkawinan.

Dalam kuliah umum tentang puisi Sapardi di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat sore, pengamat sastra Nirwan Dewanto mengatakan, puisi-puisi Sapardi mudah digemari karena genap dalam gramatika dan semantik. Puisi-puisinya berada di tengah sebagai titik moderat antara puisi amanat dan puisi gelap, antara puisi pamflet dan puisi eksperimental.

”Itulah puisi yang menengahi konvensi di satu pihak dan avantgardisme yang keras kepala di pihak lain. Puisi yang merawat ambiguitas sekaligus memperkuat hubungan dengan pembaca dan bahasa,” tulis Nirwan dalam makalahnya yang panjang.

Energi

Hingga usia 70 tahun, Sapardi tak berhenti berkreasi. Banyak orang penasaran, bagaimana dia memperoleh dan mengelola energinya? ”Menulis itu seperti petualangan dalam pikiran. Saya terus tertantang untuk menjelajahi hal-hal baru,” katanya.

Ketika sudah mulai menulis, seorang penyair seperti tersedot dalam arena pertarungan. Dia berjibaku untuk menemukan kata, menyusunnya menjadi kalimat, memotong, menghapus, menimbang-nimbang, sampai kemudian membuahkan puisi. Persis seperti tukang yang bergelut mengutak-atik kata.

Pertarungan itu kadang tak mudah. Saat menulis puisi tentang Marsinah (buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tewas dibunuh penguasa), misalnya, Sapardi membutuhkan waktu tiga tahun, dari tahun 1993 sampai 1996. ”Saya sulit mengontrol dan menyusun kata-kata karena rasanya marah sekali.”

Setelah rampung, puisi itu diberi judul Dongeng Marsinah. Ini beberapa petikannya:

”Di hari baik bulan baik,/ Marsinah dijemput di rumah tumpangan/ untuk suatu perhelatan… Dalam perhelatan itu/ kepalanya ditetak,/ selangkangnya diacak-acak,/ dan tubuhnya dibirulebamkan/ dengan besi batangan.. Detik pun tergeletak,/ Marsinah pun abadi. Marsinah itu arloji sejati/ melingkar di pergelangan tangan kita ini.”

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Maret 2010

No comments: