Judul Buku : ‘In Our Time; Pidato-Pidato yang Membentuk Dunia Modern’
Penulis : Hywel Williams
Penerjemah : Haris Munandar
Penerbit : Esensi (Grup Penerbit Erlangga)
Cetakan : I, Desember 2009
Tebal : 222 halaman
Sambil berdiri di atas medjaku jang gojah aku ikut terbawa oleh perasaan. Aku mulai berteriak. Selagi aku berpidato dengan sangat keras kepada tak seorang pun, kepala-kepala berdjuluran keluar pintu, mata bertondjolan dari kepala dan terdengar suara anak-anak muda berteriak dalam gelap "Hei No, kau gila? Ada apa...Hei apa kau sakit?"
ITULAH tuturan Sukarno, Presiden RI ke-1, ketika ia pertama kali belajar berpidato. Kisah yang bisa dibaca dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karangan Cindy Adams (1966: 53) itu terjadi ketika Sukarno masih bersekolah di HBS Surabaya. Kejadian tersebut berlangsung di malam buta ketika penghuni rumah indekos milik Oemar Said Tjokroaminoto sedang terlelap. "Pidato" Sukarno itu kontan mengagetkan seisi rumah indekos.
Pidato memang kerap menggemparkan. Bukan hanya disebabkan oleh suara lantang seseorang, melainkan karena isi pidato tersebut. Khalayak mahfum kalau di kemudian hari, Soekarno telah membuktikan diri sebagai seorang orator andal. Seseorang yang pernah membakar semangat juang rakyat Indonesia melawan kolonialisme.
Kondisi penjajahan yang berabad menjadi lakon bangsa Indonesia telah melahirkan ahli pidato yang cakap dan mantap. Soekarno secara terus terang mengakui bahwa ia bisa berpidato karena menjadi anak didik dari Oemar Said Tjokroaminoto. Belanda sampai pernah menjuluki H.O.S. Tjokroaminoto sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota.
Hywel Williams mengumpulkan 40 pidato tokoh dunia yang pernah menggaung sejak tahun 1945. Saat seorang tokoh menyampaikan pidato, sesungguhnya hal itu merupakan kulminasi dari serangkaian peristiwa yang mengelilinginya. Untuk itu, Hywel membedah konstelasi dunia yang menjadi latar belakang pidato tiap tokoh.
Hywel pun melengkapi buku ini dengan biografi tiap tokoh dan dampak dari pidato yang pernah disampaikannya. Sayangnya, pada bagian biografi, kita tidak menemukan kisah si tokoh saat belajar berpidato. Saya rasa hal tersebut sangat penting untuk diketahui pembaca karena kemampuan berpidato tentu saja tak sekadar dienyam lewat pendidikan formal. Saya pun memiliki keyakinan bahwa cerita awal seorang tokoh ketika belajar berpidato pastilah sangat dramatis, seperti kisah Sukarno yang saya paparkan di awal tulisan ini.
Namun, buku ini tetaplah sebuah karya yang patut ada dalam daftar belanja buku kita tahun ini. Hywel secara tak langsung membangun sebuah tinjauan tentang sejarah dunia pasca-Perang Dunia II. Karut-marut peradaban dunia lewat perang dingin antara blok timur dan blok barat tergambar dari pidato yang disampaikan oleh Fidel Castro, Nikita Khrushchev, Mao Ze Dong, dan John F. Kennedy.
Menguatnya tuntutan persamaan hak antarmanusia pun mengisi cerita dunia sejak tahun 1945. Maka, tak keliru jika Hywel mengikusertakan pidato aktivis kemanusiaan, seperti Martin Luther King Jr. dan Eleanor Roosevelt.
Identitas negara-bangsa pun menjadi objek dari pidato beberapa tokoh dalam buku ini. Lahirnya negara-negara merdeka di Asia dan Afrika memaksa para pemimpinnya untuk merumuskan identitas kebangsaan. Pidato yang disampaikan Jawahralal Nehru di India, Ben Gurion di Israel, Gammal Nasser di Mesir, dan Joseph Nyerere di Tanzania memperlihatkan kebangkitan identitas negara-bangsa yang merdeka.
Pidato Presiden Amerika Serikat kulit hitam pertama pun bisa kita baca dalam buku ini. Pidato yang disampaikan Barrack Obama di National Constitution Center, Philadelpia, pada 2008 itu menyoal tentang ras dan politik. Pidato menyentak inilah yang kelak membuat dukungan publik terhadap Obama.
Agaknya, tak hanya di Indonesia, pidato akan terus mengisi peradaban manusia. Buku Hywel ini kian menegaskan bahwa pidato yang patut dikenang adalah pidato yang mampu menjadi penghubung antara elite dengan massa. Sementara pidato seorang pemimpin yang melulu berisi keluh kesah tak pantas diawetkan oleh sejarah.
Denny Ardiansyah, bergiat di Rumah Baca Tanpa Titik (Macapat).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Maret 2010
No comments:
Post a Comment