SEKILAS gundukan mirip terumbu karang itu memesona dengan rongga-rongga dan keunikannya. Namun, hati siapa pun akan miris setelah menyadari bahwa ”terumbu karang” itu adalah arsip bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Arsip pemilu tahun 1955 yang menjadi fosil koleksi Badan Perpust akaan dan Arsip Daerah DIY ditampilkan pada Pameran Keraton diKeraton Yogyakarta, Kamis (18/2). (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Mengeras karena pembiaran. Arsip Pemilu 1955 yang katanya pemilu paling demokratis di negeri ini sudah membatu dan tak lagi bisa bercerita.
Pada sudut ruangan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY juga terdapat lemari besi yang tertutup rapat. Begitu pintu dibuka, tumpukan fosil lainnya terlihat. Fosil-fosil tersebut tidak lagi bisa dikenali, bahkan sulit membayangkan bahwa fosil itu dulunya pernah menjadi dokumen berharga.
Arsip Pemilu 1955 mengeras termakan zaman karena sempat terlupakan. Tumpukan arsip yang di dalamnya termasuk surat suara maupun rekapitulasi perhitungan suara sempat disimpan di kantor gubernuran ala kadarnya.
Hilangnya arsip asli tentang pemilu pada masa Orde Lama itu memprihatinkan. Sebuah foto yang tersimpan rapi dalam lemari boks antiapi dengan perlakuan fumigasi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY memotret kegembiraan warga di pelosok pedesaan Gunung Kidul saat antre memberikan suara tahun 1955. Sebagian dari perempuan dengan pakaian kebaya jawa itu duduk di tanah, berpayung kertas, karena antrean mengular.
Kepala Bidang Arsip Statis DIY A Gani Sardjito menyayangkan banyaknya arsip bersejarah yang ”punah”. Meskipun pemerintah kolonial Belanda pernah menancapkan kuku kekuasaannya di Yogyakarta, misalnya, arsip asli dari pihak Belanda sekarang ini sama sekali tidak terkoleksi di DIY.
Paradoks
Paradoks di dunia kearsipan pun sering kali terjadi. Di satu sisi, sempat ada warga Indonesia yang menawarkan seri lengkap foto Hamengku Buwono IX, tetapi meminta imbalan tinggi. Di sisi lain, seorang warga Belanda, Inneke Bergema, justru sengaja datang ke Indonesia untuk menyerahkan seri foto Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat tahun 1949 cuma-cuma.
Foto dari Inneke itu, antara lain, mengenai Mohammad Hatta yang memimpin pertemuan kementerian Republik Indonesia Serikat dalam ruangan yang sangat sederhana. ”Beberapa foto pada zaman Belanda lainnya terpaksa diunduh dari internet karena mayoritas foto bersejarah masih tersimpan di Belanda. Prinsipnya kami ingin memiliki semua arsip, tetapi sering kali dibenturkan pada realitas,” kata Gani.
Arsip, lanjut Gani, merupakan bukti otentik yang memiliki manfaat luas. Manfaat tersebut, antara lain, karena arsip memiliki nilai guna hukum sebagai alat bukti. Ketiadaan arsip pula yang menyebabkan Indonesia kehilangan beberapa pulau terluarnya. ”Arsip yang terkait DIY sebagai ibu kota RI juga baru kami telusuri. Kami terus mencari,” tambah Gani.
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY telah membentuk Tim Akuisisi untuk berburu arsip. Mereka hanya sanggup memberikan imbalan Rp 300.000 bagi masyarakat yang bersedia menyerahkan arsip maupun back up dari arsip bersejarah. Tahun ini APBD DIY hanya menganggarkan Rp 3 juta untuk penebusan arsip atau dengan kata lain hanya mencukupi untuk sepuluh arsip.
Kepala Subbidang Pengelolaan Arsip Statis M Qhosim menceritakan, pihaknya saat ini mengelola sekitar 25.000 arsip bersejarah. Sebanyak 10.000 di antaranya sudah dialihmediakan untuk pelestarian. ”Upaya alih media ini pun cukup dilematis karena sulitnya merawat teknologi. Ketika sebagian arsip sudah dialihmediakan ke dalam bentuk video, teknologi sudah bergerak ke disket dan CD. Kini, alat pemutar video pun makin sulit dicari,” katanya.
Minat masyarakat mengakses arsip juga sangat rendah. Setiap hari kurang dari lima orang yang mengakses arsip di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Itu pun biasanya hanya sebagai pelengkap mencari tugas kuliah.
Sunyinya dunia kearsipan di DIY semakin paradoks karena kota itu masih dijuluki sebagai Kota Pendidikan. Masyarakat yang masih memandang sebelah mata arsip semakin menjauhkan arsip dari nilai keabadiannya. Jangan sampai keabadian itu mewujud menjadi fosil. (WKM)
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010
No comments:
Post a Comment