Friday, March 05, 2010

Membangun Tradisi Intelektual

-- Hadi Prayitno

TRADISI intelektual yang memosisi diri sebagai pemantik ledakan perubahan masih berlanjut pada periode-periode perjalanan sejarah Indonesia hingga meletusnya peristiwa reformasi tahun 1998. Namun, setelah itu kalangan intelektual menjadi kebingungan terhadap kondisi dan situasi yang ada. Tuntutan masyarakat akan perbaikan nasib, demokratisasi, dan kesejahteraan menjadi sebuah mimpi yang tak mampu dikawal dengan baik kaum intelektual negeri ini. Polemik wacana dan perdebatan pun semakin jarang terdengar.

Kekuasaan otoritarian telah menjadi fakta dalam konteks politik negara Indonesia yang sedang berlaku saat ini. Penguasa sepertinya sengaja membangun kesadaran palsu (pseudo ideology) rakyatnya. Dalam istilah Antonio Gramsci, inilah hegemoni kekuasaan, yaitu membuat yang ditindas merasa senang dan bahagia ditindas.

Sebuah paradoks. Bagaimana mungkin dalam suatu negara yang pemerintahannya telah tercium segala kebusukannya, baik korupsi, kolusi, pemerkosaan atas hak-hak rakyatnya dan sederet lagi masalah kebobrokan, rakyat tidak berontak. Hegemoni kekuasaan yang dijalankan alat-alat penguasa dengan jitu dan jeli ternyata bisa membuat rakyat yang ada dalam kuasanya merasa tenteram dan aman dalam penindasannya.

Sistem pemerintahan dengan sengaja membuat kekuasaan berwajah tidak menakutkan, bahkan tampak alim dan begitu familiar di mata rakyatnya. Masyarakat, baik yang duduk dalam stratifikasi sosial yang tinggi maupun rendah, terbius dan tenggelam dalam rasa aman dan bahagia.

Kesengsaraan dalam wujud kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, marginalisasi, serta ketidakadilan ekonomi, social, dan politik adalah deretan panjang persoalan yang harus kita cari jalan keluarnya. Paling tidak, upaya membuka mata dan telinga akan bentuk penindasan yang dialami masyarakat harus dilakukan tanpa menimbang-nimbang risiko yang akan dihadapi. Di sinilah peran dan tanggung jawab kaum intelektual. Dengan pemikiran dan daya analisis yang lebih, kaum intelektual harus mampu mendobrak moralitas semu serta kebohongan-kebohongan penguasa yang selama ini berwajah manis, tetapi garang dan menakutkan dalam hati dan pikirannya.

Kaum intelegensia, menurut Gramsci, adalah manusia yang memiliki semangat perubahan yang bertumpu pada aspek kognisinya dalam mengintepretasikan realitas yang ia lihat. Dengan menggunakan pisau analisisnya, intelektual dapat melihat realitas jauh lebih dalam dari pada orang-orang awam kebanyakan, sehingga kemungkinan besar intelektual mencari akar permasalahan pun lebih terbuka lebar.

Noam Chomsky menjelaskan kaum intelektual berperan dan berkewajiban mengungkap kebohongan-kebohongan penguasa/pemerintah, menganalisis tindakan-tindakan berdasar pada penyebab-penyebab dan motif-motif yang pada tujuan-tujuan tersembunyi. Kaum intelektual memiliki tanggung jawab untuk bergerak, mendata, dan mengungkap suatu titik kebenaran dari kejadian-kejadian yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Namun, Michael Foucault mengatakan selalu ada aspek kekuasaan dalam ilmu pengetahuan. Artinya, kognisi (pengetahuan) seorang intelektual tidak serta-merta membuatnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, alih-alih, malah pengetahuan yang dimilikinya digunakan penguasa sebagai alat legitimasi bagi kekuasaannya.

Kaum intelektual merupakan redefinisi dari golongan terpelajar, yang tentunya memiliki kemampuan daya pikir, analisis, dan pengetahuan lebih dibandingkan dengan golongan/kelompok masyarakat lainnya. Kaum intelektual bukanlah sekadar manusia yang memiliki ilmu pengetahuan berdasarkan buku-buku, manuskrip atau referensi lainnya yang mereka miliki. Namun lebih dari itu, kaum intelektual merupakan pelopor (vanguard) bagi perubahan sosial yang senantiasa mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara nyata demi kepentingan masyarakat.

Sebagian besar gerakan mahasiswa (baca: calon intelektual) memilih terlibat secara praktis dalam percaturan politik. Ini fakta empiris yang sebenarnya sah-sah saja. Namun, perlu kita kaji ulang soal motif dan kepentingan yang kita bawa.

Secara prinsip, kaum intelektual seharusnya tidak boleh melepaskan jubah intelektualitasnya yang tetap berkewajiban menjelaskan, menyampaikan, dan memberi pengetahuan kepada masyarakat luas tentang kebenaran sesuai dengan koridor filosofi keadilan yang ada, kapan pun dan di mana pun ia berada.

James Petras menyebutkan kaum intelektual memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam konteks politik karena (1) memengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rezim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosis atas masalah ekonomi, politik negara, dan kebijakan,: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rezim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Gerakan mahasiswa merupakan trigger gerakan kaum intelektual dalam mengawal pemerintahan menuju masyarakat madani. Mahasiswa sejatinya menjadi bagian masyarakat bukan bagian kepentingan elite politik daerah yang haus kekuasaan. Apakah gerakan mahasiswa terjebak pada industri politik yang membodohi masyarakat? N

* Hadi Prayitno, Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Lampung

Sumber: Lampung Post, Jumat, 5 Maret 2010

No comments: