-- J Sumardianta
BAGAIMANA pemikiran bersahaja seorang pengemudi bisa berdampak besar bagi perusahaan? Blue Circle dijalankan orang-orang biasa, tetapi memiliki tekad menghasilkan kinerja istimewa dengan semangat melayani (”stewardship”).
Blue Circle Cement bermasalah dengan margin keuntungan. Biaya ekspedisi melambung terlampau tinggi. Perusahaan ini, dikisahkan Danah Zohar dan Ian Marshal dalam buku Spiritual Capital (2004), hendak memangkas biaya pengiriman dan mengurangi tenaga sopir. Pabrik semen Amerika itu menggelar rapat akbar, mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja. Bill Mortimer, seorang sopir tangki, angkat bicara.
”Persoalannya bukan melulu biaya perjalanan dan jumlah sopir,” ujar Bill penuh empati. ”Masalahnya ukuran tangki-tangki kita.” Seorang CEO yang terkaget-kaget meminta Bill menjelaskan argumennya. Bill memberitahukan tangki Blue Circle dirancang untuk perjalanan jarak jauh, 300 mil hingga 400 mil, padahal perjalanan rata-rata setiap pengiriman hanyalah 80 mil. Bill menambahkan, ”Anda seharusnya juga meninjau berat pipa baja kita.”
Para teknisi menindaklanjuti saran Bill. General Motors bisa memasok truk tangki berukuran kecil dengan harga dan biaya operasional lebih rendah. Pipa baja yang berat diganti dengan pipa karet yang lebih ringan. Perubahan-perubahan itu membuat produktivitas Blue Circle Cement meningkat 500 persen dalam enam bulan pertama tanpa ada PHK.
Apa yang dilakukan Blue Circle selaras dengan kerangka pemikiran Frans Mardi Hartanto yang diusung dalam buku ini. Blue Circle meninggalkan siklus kehidupan lama manajemen primitif yang bertumpu pada paradigma sumber daya manusia (SDM). Perusahaan ini memasuki siklus kehidupan baru dengan paradigma manajemen insani yang menyantuni keluhuran martabat manusia.
Berpusat manusia
Manajemen yang berpusat pada manusia memang salah satu gagasan utama buku yang ditulis Guru Besar Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Buku ini merupakan the academic insight seorang ilmuwan perintis departemen teknik industri ITB yang sejak 1970-an bergulat dengan manajemen.
Hartanto, alumnus Carlson School of Management, Universitas Minnesota, AS, mengambil master di bidang hubungan industrial dan doktor di bidang kepemimpinan dan budaya perusahaan. Dalam sebelas bab, Hartanto merefleksikan kebajikan khasnya perihal kepemimpinan, budaya kerja, ketenagakerjaan, manajemen transformasional, dan manajemen modal virtual.
Hartanto menganggap konsep SDM memperkurus martabat manusia karena memperlakukan pekerja (man) setali tiga uang dengan mesin (machines), uang (money), bahan baku (material), dan metode (method). Kelima faktor produksi itu dikenal dengan prinsip 5-M. Paradigma SDM berjasa besar pada era industri manufaktur. Kini, pada era pelayanan dan pengetahuan, paradigma itu menjadi usang karena tidak memberi peluang pekerja berperan aktif langsung dalam proses penciptaan nilai.
Watak egosentris paradigma SDM membuat praktik bisnis dijalankan kurang etis karena mengeksploitasi manusia demi laba maksimal dengan biaya minimal. Penerapan prinsip 5-M menjadi sumber perselisihan dalam hubungan industrial. Paradigma yang disalin mentah-mentah di Indonesia ini berakar pada sistem hukum Amerika. Doktrin employment-at-will melegalisasikan praktik eksploitasi, yang membuat pekerja enggan mengerahkan potensi insani mereka.
Modal virtual
Manajemen transformasional, sinergistik, dan visioner yang ditawarkan bertolak dari pengakuan bahwa pekerja itu anggota terhormat perusahaan karena memiliki kapabilitas, kebajikan, dan potensi insani. Terobosan baru ini menekankan budaya belajar inovatif (innovative learning) ketimbang sekadar menjalani kebiasaan belajar memelihara (maintenance learning). Budaya belajar inovatif memupuk kompetensi profesional (modal intelektual), jejaring ekosistem bisnis (modal sosial), dan kredibilitas perusahaan (modal spiritual). Kombinasi sinergis ketiga modal itu dalam penciptaan nilai di lingkungan bergejolak tidak menentu, dengan pola sukar diprediksikan, disebut Hartanto sebagai modal virtual.
Seperti diuraikan pada empat bab pertama, lingkungan eksternal bisnis bergejolak akibat pergeseran zaman dari era pertanian, industri, sampai era pelayanan dan pengetahuan. Dahulu di zaman manufaktur semua dikendalikan produsen dengan cara menguasai sumber daya fisik. Kini di era pelayanan dan pengetahuan, semua dikendalikan konsumen yang makin tinggi daya belinya, makin menonjol kebutuhan psikososialnya, dan makin bervariasi keinginan, selera, dan harapannya. Orde kebutuhan pekerja juga bergeser. Mereka bukan hanya menuntut gaji layak, tetapi juga ingin terjamin rasa amannya, dihargai jati dirinya, diberi pengakuan sosial, dan diberi peluang mengaktualisasikan diri.
Penghayatan penuh kepeduliaan (care-why) dengan modal maya itulah yang membuat raksasa bisnis seperti Ciputra Grup, Astra Internasional, Sosro, Aqua, dan NISP bagaikan kapal berlayar di samudra biru bukan samudra merah berlumuran darah persaingan. Di samudra biru tidak ada lawan yang harus ditaklukkan karena persaingan sudah tidak relevan. Energi dikerahkan melulu untuk menciptakan nilai tinggi bagi pelanggan dan pemangku kepentingan.
Paradigma manusia bersumber daya bekerja dengan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Kunci keberhasilan usaha terletak pada kesediaan para pelaku untuk berbagi pengetahuan nirwujud (tacit knowledge). Pengetahuan nirwujud merupakan kebajikan yang tecermin dalam kebaikan, keindahan, dan kemuliaan yang diusahakan bagi kepentingan orang lain; kepedulian yang tulus pada kebutuhan dan harapan orang lain; keberanian berkorban untuk orang lain; kesediaan mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan sendiri.
Konsep manusia bersumber daya, menurut Hartanto pada Bab 8 buku ini, bisa ditemukan dalam pelbagai kearifan lokal di Indonesia. Hartanto, dengan mengerahkan khazanah kearifan lokal di sekujur bukunya, hendak meyakinkan bahwa paradigma manusia bersumber daya yang bersifat universal itu dapat diadaptasi sesuai konteks budaya dan kepemimpinan Indonesia yang partikular.
* J Sumardianta, Guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 21 Maret 2010
No comments:
Post a Comment