Saturday, March 27, 2010

Fanatisme Novel

-- Bandung Mawardi

NOVEL kerap membuat pembaca sanggup membuat ramalan atas jalan cerita dan kemungkinan karakterisasi tokoh untuk dikenali dengan sekian referensi dan pengalaman atas diri manusia. Kebiasaan membaca novel memberi stimulus mengenali manusia dalam taburan tema. Novel dalam sejarah peradaban manusia seperti medium menginsafi diri dalam pilihan menerima dan menolak sesuai dengan patokan realitas atau imajinasi. Novel telah membuat hidup manusia jadi ganjil dan genap mengacu pada kodrat menjadikan diri sebagai makhluk literasi.

Fanatisme terhadap novel menjadi kisah pembaca dalam ketegangan keimanan dan pengikhlasan diri atas nama pelbagai pamrih. Orang membaca novel mungkin dengan pengharapan belajar menjadi manusia, mencecap pengetahuan, memuaskan hasrat imajinasi, kerja menikmati waktu senggang, pencapaian martabat intelektual, tindakan menghibur diri, dan lain-lain. Fanatisme dalam pengertian positif menandakan diri pembaca memiliki ikatan intim atau sejenis iman untuk menggauli novel dengan produktif dan konstruktif. Fanatisme pun bisa menjelma keterlenaan pembaca untuk sekadar mengeksploitasi diri dengan novel sebagai pemuas atau bisa mencapaipada titik akut: menghibur diri sampai mati dengan membaca novel.

Produksi novel-novel populer lawas di Indonesia bisa menjadi parameter atas fanatisme novel. Publik pembaca memiliki perbedaan selera atas novel dengan pelbagai konsekuensi harga diri ketika pembaca melakukan pergaulan literasi dengan orang lain atau komunitas. Kelimpahan novel populer dalam hitungan angka penjualan dan pengaruh untuk pembaca kentara memberi bukti atas segmentasi atau arahan pilihan fanatisme terhadap novel. Pembaca memiliki hak memilih sikap fanatik dengan novel-novel Marga T, Mira W, La Rose, Titi Said, Maria A. Sardjono, Edy D. Iskandar, Ashadi Siregar, Abdullah Harahap, Motinggo Busye, Fredy S, S. Mara GD, V. Lesatari, dan lain-lain.

Pembaca fanatis memiliki dalil untuk membenarkan antusiasme membaca dan menikmati pola cerita dari pengarang. Fanatisme terbentuk karena pembiasaan dan intimitas atas hal-hal dalam novel atau pemujaan pengarang mirip dengan sihir selebritas.

Pembaca dalam fanatisme mungkin mendapati kepuasan dalam urusan cara pikir borjuis, labelitas kelas kota, afirmasi sentimentalitas, cinta romantis, imajinasi seksual, hasrat misteri, hasrat horor, atau hasrat detektif. Pergaulan intim dengan novel tentu bakal memberi pengaruh pada pembaca dalam mengonstruksi diri. Novel menjelma sejenis kitab suci dalam pengesahan diri atas sekian kepentingan.

Fanatisme kadang menimbulkan sakit dan keganjilan ketika pembaca masih merasa belum sempurna dengan pelbagai alasan. Pembaca bakal menuruti keinginan dengan koleksi novel lengkap, membaca dengan kategorial atau kronologis, menata atau menyimpan novel dengan perlakuan manja, menghafal detail-detail peristiwa dan nama tokoh, atau mencatatkan kalimat-kalimat hikmah. Perilaku pembaca ganjil kadang tidak masuk akal atau melampaui kelumrahan. Fanatisme pun bisa menimbulkan sakit ketika pembaca tidak memiliki kesanggupan kritis untuk kecewa atau dikhianati oleh ulah pengarang dan pasang surut mutu novel.

Kisah fanatisme dalam ranah novel-novel berat mengandung curiga dan tanya kritis. Pembaca kerap melakukan identifikasi diri atau malah menciptakan kisah untuk sampai pada persesuaian novel. Fanatisme produktif tentu membuat pembaca memiliki pemicu belajar atau melunaskan haus pengetahuan dengan tanggapan kritis dan reflektif. Sejarah sastra di negeri ini mungkin belum memiliki halaman bagi para pembaca fanatis terhadap novel-novel Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, Y.B. Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Ramadhan K.H., dan lain-lain. Fanatisme pembaca novel-novel Indonesia dalam hal-hal tertentu ikut menentukan nasib novel dalam persemaian sastra dan proyek peradaban.

Klaim pembaca atas novel idaman merupakan tindakan mendefiniskan diri dalam relasi dengan novel. Pendefinisian ini bisa menjelma kritik sastra atau refleksi untuk sampai pada kesadaran eksploratif. Pembaca novel-novel Iwan Simatupang mungkin memiliki berahi menekuni dunia filsafat eksistensialisme. Pembaca novel-novel Mochtar Lubis mungkin peka sejarah dan sadar belajar politik. Pembaca novel-novel Y.B. Mangunwijaya mungkin bimbang dan antusias untuk menjadi manusia dengan labelitas keindonesiaan atau humanisme. Pembaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer mungkin dilecut untuk antusias belajar sejarah di negeri ini dengan perspektif kritis.

Fanatisme pembaca pada hari ini kadang susah dirumuskan dalam pengertian-pengertian lawas. Publik tentu mafhum dengan pengakuan orang sebagai pembaca setia novel-novel Habiburrahman El Shirazy atau Andrea Hirata. Musim fanatisme terbentuk sekian tahun dengan jumlah pembaca melimpah. Novel telah menemukan jamaah dan dunia literasi dikejutkan dengan pemunculan keimanan atas hikmah-hikmah novel. Orang tanpa sungkan membaca novel dan berani mewartakan diri sebagai pengagum atas sosok pengarang. Ulah ini kadang ikut menentukan harga diri pembaca dalam arus tren dan pemujaan jagat fiksi. Fanatisme novel tumbuh kembali untuk bersaing dengan fanatisme politik, fanatisme televisi, dan fanatisme musik?

Kisah pembaca di negeri pantas dicatatkan dalam lembaran sejarah sebagai bab penting karena menentukan nasib novel dan kebesaran pengarang. Fanatisme bisa dijadikan dalil untuk melakukan pendataan dan model resepsi pembaca atas novel-novel laris atau novel-novel prestisus, legendaris, atau sensasional. Pengakuan pembaca tentu menjadi data produktif dalam pembacaan wacana sastra tanpa harus selalu suntuk dengan peran kritikus sastra dan kalangan akademisi. Pembaca fanatis merupakan subjek menentukan dalam ikhtiar memerkarakan pengaruh atau implikasi novel untuk manusia-manusia Indonesia.

Fanatisme novel memunculkan kesadaran atas pilihan-pilihan mengikatkan diri dengan dunia kata dan makna. Pilihan ini dulu sempat populer ketika jumlah pembaca novel-novel populer melimpah. Catatan tentang diri dan pengakuan pembaca pada masa itu mungkin lupa tak tercatakan. Kisah pembaca fanatis hari ini sebagai sambungan dari masa lalu mungkin pantas lekas diurusi agar peran pembaca mendapatkan halaman dalam gairah wacana sastra. Fanatisme novel telah menjadi fakta besar tapi belum sanggup ditafsirkan atau dianalisis secara komprehensif dengan pelbagai alasan. Begitu.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo berdomisili di Karanganyar, Jateng

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Maret 2010

No comments: