Sunday, March 07, 2010

Serba-serbi di Rumentang Siang

KARENA tuntutan naskah, terpaksalah sutradara Teater Lakon UPI Bandung Sahlan Bahuy mencari seorang anak perempuan. Anak perempuan itu akan berperan sebagai anak Sadrah yang bernama Siti. Untuk keperluan itu ia mendatangi sebuah sekolah dasar yang berada di lingkungan Kampus UPI. Pada ibu guru, Sahlan menerangkan maksudnya dengan hati-hati untuk ”meminjam” salah seorang siswa perempuan. Tentu saja dengan keraguan bahwa ibu guru atau orang tua anak itu tidak akan mengizinkan.

SALAH seorang peserta dirias sebelum tampil dalam lakon “Sadrah” pada FDBS XI di Gedung Kesenian Rumentang Siang Kota Bandung, Sabtu (6/3).* DUDI SUGANDI/”PR”

Akan tetapi, itu hanya dugaan Sahlan. Ternyata ibu guru dengan gembira mengizinkannya. Bahkan ibu guru itu malah bertanya, kenapa hanya satu orang? Kenapa tidak delapan orang?

”Malah beberapa hari kemudian ditambah lagi jadi lima belas anak! Sekarang ibu guru itu yang minta agar saya ngajakan mereka main. Katanya takut sisirikan. Saya tidak bisa menolak meski jadi bingung juga,” tuturnya sambil tertawa menceritakan proses persiapannya.

”Ya, ini jadi pengalaman juga buat saya melatih anak-anak,” ujarnya lagi.

Akan tetapi, keterlibatan siswa kelas IV SD Isola 2 Bandung ini jadi menarik. Bukan hanya di panggung, tetapi juga di antara para penonton. Ini tampak ketika Teater Lakon UPI tampil, Jumat (5/3). Yang biasanya penonton mereka adalah para suporter teman sekampus, kini suporter mereka ditambah lagi, yaitu rombongan ibu-ibu.

”Paingan atuh, sugan teh ibu-ibu ti mana,” kata Elin penonton tetap FDBS yang semula heran melihat ibu-ibu berkumpul di lobi Gedung Kesenian Rumentang Siang.

Meski tentu saja tidak mudah melatih lima belas anak main teater, tetapi ini menjadi hikmah tersendiri bagi Teater Lakon, terutama dalam menambah jumlah penonton dan suporternya. Bayangkan, kalau anak-anak itu tidak sisirikan, tentu hanya ada seorang anak yang main di panggung dan seorang ibu di deretan penonton.

**

MESKI panitia sudah meminta penonton agar memindahkan handphone ke nada getar supaya tidak menganggu pertunjukan, tetapi masih saja ada penonton yang lupa melakukannya. Nah, dalam satu pertunjukan, handphone seorang penonton berbunyi. Dengan hati-hati ia menjawabnya, tetapi tak urung terdengar juga.

Dari percakapan penonton itu rupanya diketahui seorang temannya masih berada di luar karena karcisnya hilang. Setelah menerima telefon itu, pada teman yang duduk di sebelahnya ia berkata pelan menceritakan nasib temannya yang masih berada di luar.

”Kumaha atuh? Maenya teu boga duit?”

”Teu cukup cenah. Geus dibelikeun pulsa.”

Akhirnya seorang temannnya itu bangkit ke luar, menjemput temannya yang masih berada di luar dan membawanya masuk. Dan kepada temannya yang lain, penonton yang kehilangan karcis itu hanya bisa nyengir.

**

TAK terkecuali buat seorang aktor teater kondang sekalipun, detik-detik menjelang perannya tampil adalah saat yang paling menegangkan. Terlebih bagi mereka yang mungkin masih hijau dengan panggung teater. Pemandangan inilah yang diam-diam banyak ditemukan di Gedung Kesenian Rumentang Siang.

Berbagai ekspresi ketegangan yang tak bisa disembunyikan itu sering kali membuat tingkah mereka jadi aneh. Ada yang bibirnya bergerak-gerak terus menghafal naskah sambil duduk dengan gelisah dan teu paruguh, ada yang jalan-jalan hilir mudik di ruang sempit di sayap panggung, ada juga yang seperti tampak berusaha menahan pipis, atau ada juga sutradara yang sibuk memastikan semua pemain sudah siap menurut susunan adegan.

Seperti Rabu (3/3) siang dalam penampilan patandang kelompok teater sebuah SMA. Beberapa menit menjelang tampil, seorang pemain remaja putri yang imut-imut sibuk menanyakan itu dan ini kepada temannya di sisi sayap panggung. Yang ditanyakan bukan yang berhubungan dengan pertunjukan.

”Si Ari lalajo teu? Si Iqbal? Tadi aya saha wae?” tanyanya.

”Teuing atuh, da urang teu ka hareup!” jawab temannya yang sedang sibuk menghafal naskah dengan nada rada-rada kesal.

Usai patandang itu tampil dan beres mengganti kostum di ruang rias, kelompok teater itu keluar dari samping gedung di sambut teman-temannya, mengucapkan selamat dan sebagainya, seakan-akan temannya itu baru saja melewati perjalanan yang membuat mereka sebagai penonton ikut tegang.

”Kumaha urang tadi, alus teu maen na?” tanya seorang pemain pada temannya dengan penuh harap.

”Alus, alus!” jawab temannya dengan yakin. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Maret 2010

No comments: