TIDAKKAH kau baca berita-berita itu, juru kamera televisi ke sana-ke mari, tak lupa juga polisi penjaga hukum-hukum kita itu. Pada sebuah berita, lelaki entah juga ia suami atau apalah--jika ia suami, mengapa ia begitu saja menggerakkan sepuluh jemari, mencekik leher istri--yang sadis menusukkan jejarinya ke leher putih selembut roti tawar itu. Cepat saja, esok hari berita-berita mengumandang tentang si suami yang mencekik istri hingga tewas. Leher melegam, bahu memerah; kata berita juga, telinga-mulut berdarah.
Mari-mari kita sama merasa, apakah ini perkawinan yang menghalalkan sesuatu yang haram, air mani dan nuftah ovarium menjelma jasad yang kemudian ditiupkan ruh oleh yang Mahahidup? Seperti inikah?
Oh, ya ... Kita sedang berbicara sebuah perkawinan, bukan berhebat-hebat merumuskan sebuah perkawinan. Mari-mari, Udo Z. Karzi, kita sama bertemu pada bejana besar tak berhingga hingga segala gagas tumpah. Kemudian ia menggunung, membantu kita memberi bentuk perkawinan-perkawinan itu.
Mari-mari Udo Z. Karzi.
Tidak ada yang ideal, kata kamu. Mungkin benar. Silakan kamu menggagas sepuas kau berkhalwat di pusat malam. Mari-mari Udo Z. Karzi. Bukankah Ia mencipta malam untuk kita-kita yang ingin menikmat rasa: bumi-langit-manusia adalah jagat kecil yang berhadap-hadap juga luruh dalam jagat besar yang itu...???
Lelalang-wewadon, lelaki-perempuan juga jagat-jagat yang luruh pada sebuah pertemuan kosmis yang mistis. Begitukah, saudaraku Udo Z. Karzi?
Ahaaa...mungkin kau bersungut malu, tentang jasad-jasad telanjang, misalnya. Tapi, ehemmm...bukankah kita sudah usang hingga jasad telanjang-telanjang kita tak lagi telanjang seperti lelanang-wewadon bergumul dalam jiwa-jiwa rusuh. Ada wiski, mungkin black label, juga seliwer pramumalam mengusung dentum bas drum dan keciprak senar drum di barbar. Gubahan mengacak-acak binal malam. Ehemmm...!
Menurutku, "tidak". Karena kita sudah lampau!
Andai kau ingin berseberangan, mungkin membantah omonganku, ooo...silakan. Silakan, saudaraku, Udo Z. Karzi. Kita ini sedang menggagas sebuah perkawinan, tidak sedang mendefinisikan apa itu perkawinan. Kita datang dari rasa, lalu rasa menggerak karsa. Rasa kita adalah rasa semesta. Rasa rasaning urip. Lalu, apalagi yang memaksa kita khawatir...?
***
Malam masih ada, sebentar lagi kau di peraduan berdua.
11 September sudah dekat, katamu. Kataku, biarlah sekat-sekat itu menjelma kekasih yang melekat bagai belikat. n RAHMAT SUDIRMAN
Sumber: Lampung Post, 6 September 2005
No comments:
Post a Comment