Sunday, December 28, 2008

Sudah Saatnya Ada: Mubes Masyarakat Sastra di Minang

-- Fadlillah Malin Sutan Kayo*

PEMERINTAH Sumatera Barat jelas memempunyai peran besar di dalam politik kebudayaan dan politik pendidikan. Selayaknya pemerintah mengubah blue print, atau paradigma, mind set, bahasa Minangnya “aleh bakua” (istilah Wisran Hadi), yakni ale bakua yang mementingkan benda dari pada jiwa, mementingkan eksak dan teknologi daripada sastrabudaya, mementingkan tubuh daripada roh, bahasa ustadnya; mementingkan dunia daripada akhirat. Sudah selayaknya aleh bakua ini dirubah yakni sama-sama dipentingkan jiwa dengan tubuh. Perubahan ale bakua ini selayaknya dilakukan di segala bidang. Jangan anak tirikan juga sastra budaya.

Apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam hal ini, adalah dengan menghargai dunia sastra budaya sendiri. Sastra budaya bangsa sendiri hanya dapat hidup dengan dihargai. Adapun untuk “membunuh” dunia sastra sesungguhnya mudah saja; jangan hargai, hina, singkirkan, letakan pada nomor terakhir dalam dunia pembangunan, maka dunia sastra akan “hidup segan mati pun tak mau”.

Namun pemerintah terkesan sering hanya menghargai dunia sastra di mulut saja, lip service, padahal selayaknya penghargaan pemerintah itu berupa (1) merubah paradigma, mind set, (ale bakua) pembangunan di segala bidang menjadi memposisikan sastra budaya sama dengan seluruh bidang lain. (2) Setiap akhir tahun beri award pada sastrawan, novelis, cerpenis, penyair, kritikus, dan esais, serta dramawan, sehingga mereka terhormat di tengah masyarakat. (3) Berikan subsidi honor yang layak kepada sastrawan Minang yang menulis, mulai yang kecil sampai yang tua, paling tidak senilai 100 ribu rupiah untuk masa kini, sehingga mereka bergiat untuk berkarya. (4) Terima sarjana sastra untuk bekerja di bidang kebudayaan di pemerintah dan perlakukan mereka sama dengan sarjana lainnya. (5) Beri subsidi untuk penerbitan buku-buku sastra setiap tahun. (5) Terbitkan majalah sastra.

Sampai di sini hanya jadi pertanyaan. Masih dapatkah hanya dengan bergantung harap kepada pemerintah, sedangkan beban pemerintah sangatlah berat. Agaknya akan jauh lebih baik bergantung kepada diri sendiri, yakni masyarakat sastra itu sendiri. “Kasihan kita kepada pemerintah yang beban tugas sangatlah berat”.

Apakah benar peran masyarakat sastra di Minang begitu penting dan bagaimana selayaknya? Peranan masyarakat sastra sebenarnya jauh lebih penting daripada pemerintah dalam memajukan sastra. Karena maju atau mundur, mati atau hidup, berkembang atau tidak, tergantung kepada masyarakat sastra itu sendiri.

Karena perkembangan sastra sepenuhnya tidak tergantung kepada pemerintah, tetapi tergantung kepada masyarakat sastra itu sendiri. Di sini kita tentu harus menjelaskan, siapa masyarakat sastra itu?

Masyarakat sastra adalah terdiri dari satrawan itu sendiri, novelis, cerpenis, penyair, eseis, kritikus, penulis naskah drama/skenario serta para penikmat sastra.

Sebenarnya perkembangan sastra selama ini di Minang lebih banyak oleh kiprah atau kerja masyarakat sastra secara mandiri. Hanya sayang mereka belum terlembaga secara rapi dan menyeluruh.

Memang ada Dewan Kesenian Sumatera Barat, namun organisasi ini terlalu gendut dan banyak bidang seni yang dihimpun di dalamnya. Bahkan DKSB konon hanya berkegiatan kalau ada dana dari pemerintah (artinya sangat bergantung kepada pemerintah), itupun semua kerjanya bertentangan dengan namanya; dewan – legislatif -, sedangkan kerjanya –eksekutif - bersifat pemerintahan, jika tidak dikatakan sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Apalagi menurut sejarahnya Dewan Kesenian dibentuk pemerintah (kabarnya dari dunia militer sk-nya) untuk “mengendalikan dan mengontrol para seniman supaya tidak menggerakan kebudayaan yang idealis, supaya para seniman digiring untuk menjadi pengkhianat intelektual”. Ini kabarnya, dusta orang tentu kita tidak serta.

Dengan demikian sudah saatnya seluruh sastrawan dan kritikus sastra di Minang untuk independen, untuk melakukan mubes –musyawarah besar- membentuk Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM). Hal itu karena maju mundurnya sastra di Minangkabau berada di tangan mereka, berada pada ke-independen-annya, karena Dewan Kesenian Sumatera Barat juga terlalu gendut (banyak cabang) untuk mengurus mereka dan tidak independen.

Di samping itu juga ada HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia), maaf, dalam cerita negatif yang saya dengar, konon hanya terbatas untuk para sarjana sastra yang pegawai pemerintah, yang kata orang; kerjanya berseminar untuk mencari KUM. Akan tetapi di Minang sejak wafatnya kritikus Mursal Esten maka HISKI di Minang seakan sudah turut terkubur, tidak ada kabar beritanya. Namun, agaknya tidak seperti itu realitas HISKI itu sesungguhnya, karena HISKI pada sisi lain ia merupakan dunia kritikus, peneliti, akademikus dan pengamat sastra yang sangat dibutuhkan. Barangkali kondisi sekarang hanya merupakan pasang surut sebuah aktivitas

Dengan demikian bukankah sudah saatnya ada suatu institusi masyarakat sastra yang mengurus nasib perkembangan sastra di Minangkabau. Institusi yang bergerak dalam bidang yang konkret yakni ; (1) pengumpulan dana abadi, (2) subsidi honor yang memadai untuk tulisan sastra, (3) award setiap akhir tahun, (4) mengusahakan penerbitan buku-buku sastra, (5) menerbitkan majalah sastra, (6) lokakarya sastra, (7) diskusi dan seminar, (8) serta memberikan bantuan kepada sastrawan yang berpergian untuk kegiatan sastra, (9) serta sosial dan silaturrahmi.

Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM) selayaknya berdasarkan pada asas (1) egaliter, (2) kosmopolit, (3) menghargai kekayaan budaya tradisi dan (4) demokrat, (5) Independen. Memang selayaknya Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM) independent, tidak dibawah pemerintah, dengan demikian ia akan bergerak dengan mandiri tanpa tekanan apapun, dan tidak berhubungan dalam dunia politik praktis apalagi dengan partai politik.

Dalam hal ini tentu kita bertanya, siapa yang memungkinan untuk membentuk Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM). Jangan berharap pemerintah yang akan membangunnya. Pemerintah itu bebannya sudah banyak. Biasanya pemerintah bergerak karena ada “maunya”, yakni politik preaktis. Kemudian, hal ini tidak akan jalan kalau menyerahkan kerja kita kepada orang lain.

Harapan tertumpu, jelas pada masayarakat sastra itu sendiri. Ada tiga unsur yang memungkinkan untuk membentuknya di dalam tubuh masyarakat sastra itu sendiri. Pertama, adanya personal yang mau berkegiatan di bidang ini, kedua mungkin ada komunitas yang yang mau memprakarsainya, ketiga selayaknya juga pihak akademisi sastra yang menggerakannya. Hal ini sudah saya usulkan kepada Fakultas Sastra Unand, tidak ditanggapi (barangkali tidak ada apa-apanya menurut mereka). Kemudian saya usulkan kepada HMJ Sastra Indonesia FS. Unand, nampaknya ketuanya – Esha Tegar Putra– cukup bersemangat dan ingin mengajak berbagai pihak untuk kerja sama (semoga tidak angat-angat cirit ayam).

Pada akhirnya saya sadar, ide atau gagasan ini agaknya mustahil, di samping masyarakat sastra kita sepertinya juga dihinggapi penyakit “kehilangan trust”, kehilangan kepercayaan antar sesama, konon dari yang tua sampai kepada yang muda, kebenaranya saya tidak tahu.

Namun bila tidak ada Institusi Masyarakat Sastra Minangkabau (IMSM), maka yang terjadi dalam kehidupan bersastra di Minangkabau tentu hanya bergiat sendiri-sendiri saja, seperti selama ini masyarakat sastra hanya hidup dengan komunitas-komunitas sendiri, seperti sekarang; komunitas intro di Payakumbuh, Komunitas Penggiat Sastra Padang, Komunitas Ilalang Senja, Komunitas Daun, Komunitas Kadang Pedati, Komunitas Intro dan banyak lagi. Wallahualam.

Puruih Kabun, 11112008;22:50

* Fadlillah Malin Sutan Kayo, dosen dan peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 Desember 2008

Lagu Jenaka Minangkabau

-- Deddy Arsya*

WISRAN Hadi dalam sebuah tulisan menyimpulkan, ada beberapa ciri atau karakteristik jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Jenaka Minangkabau tidak mengeksploitir atau mengeritik kekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi; menekankan pada “permainan” kata dan makna; tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang; kritik terhadap sesuatu keadaan, kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualan yang terjadi di sekeliling kehidupannya. Menurut Wisran lagi, jenaka hanya merupakan “bungkus” saja dari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikan isinya, itulah tujuan utamanya.

Lalu bagaimana lirik-lirik lagu Minang yang mengandung unsur-unsur kejenakaan berkembang dari waktu ke waktu, sampai kepada lirik-lirik lagu jenaka Minang kontemporer hari ini? Lewat pemetaan ini sesungguhnya dapat membaca bagaimana perubahan dan dinamika kebudayaan Minangkabau sendiri dalam unsur Sistem Komunikasi (bahasa) secara luas.

Jika orang Minang dikatakan tidak mau berbahasa berterus-terang karena orang yang berbicara berterus-terang adalah orang yang baru tahu berbahasa, dan belum mencapai tahap bisa atau pandai dan lincah, adab dan seni berbahasa. Namun bagaimana kredo itu dapat bertahan ketika bahasa yang berbelit-berbelit dan pelik (dengan bunga-bunga bahasa atau metafor-metafor yang rumit) dianggap menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Karena dunia hari ini menginginkan yang serba praktis dan efisian, termasuk dalam berbahasa, dapat menggantikan yang rumit dan pelit tersebut. Adakah anggapan itu terbukti dengan mengambil sampel lirik-lirik jenaka lagu Minang sebagai cerminan. Di tahun 1959, dipopulerkan oleh Oslan Husein, ada lagu dengan judul Geleang Geleang Sapik.

Liriknya seperti ini: Iyo … si buyuang anak Siguntua/Karuak-karuak di halamannyo/Si buyuang untuang ka mujua/Induak baruak ka tunangannyo//Geleang-geleang sapik/Babulu talingonyo/Dima si buyuang sakik/Di rumah mintuonyo//Iyo … ati-ati lah jo ula sanca/Takaca mangko manggigik/Batunangan jo gadih rancak/Labiah elok makan karidik.//

Di tahun yang sama dipopulerkan pula lagu yang berjudul Sinandi Nandi. Liriknya seperti ini: Nan kok iyo lah sinandi nandi/Kuciang balang baranak balang/Golek-golek di ateh niru/Urang gaek mancilok lamang/Luko bibia dek sambilu//Nan kok iyo lah sinandi nandi/Biduak balayia ka Pulau Pandan/Muatan sarek buah kuliki/Kini zaman indak karuan/Nenek-nenek mamakai jengki//Indak den sangko rigo-rigo/Pipik sinanduang mamakan padi/Indak den sangko sinan bak iko/Tuo jo mudo makin manjadi//Nan kok iyo lah sinandi nandi/Buah mangga jo buah manggih/Elok dimakan di hari patang/Sajak lah mancik jadi angku haji/banyak lah kuciang nan sumbayang.

Lagu Sinandi-nandi di tahun-tahun kemudian turut dipopulerkan Betharia Sonata dengan beberapa perubahan pada aransemen musik. Sementara Geleang-geleang Sapik tidak ditemukan dipopulerkan lebih lanjut oleh penyanyi lain.

Lirik kedua lagu ini masih memakai bentuk pantun dengan bersajak a-b-a-b, pantun jenaka yang ironi. Pengarangnya berusaha mengalihkan realitas zamannya ke dalam bentuk lirik. Jika kita menduga lirik ini diciptakan pada masa revolusi Nasakom, maka dapat dikatakan, kondisi sosial Minangkabau berada pada tataran di mana integrasi moral dan agama sedang dipertaruhkan. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia secara umum sedang dilanda pengaruh asing yang hebat, maupun keinginan untuk hidup dalam kebudayaan sendiri yang sepenuhnya terlepas dari kebudayaan kolonial. Percobaan-percobaan dilakukan di antaranya termasuk mengintegrasikan komunis ke kebudayaan Indonesia yang berTuhan. Sehingga kemudian menghasilkan kejanggalan-kejanggalan di sana-sini. Kondisi inilah mungkin yang tercermin dari lirik-lirik seperti: Indak den sangko sinan bak iko/Tuo jo mudo makin manjadi. Atau pada lirik Sajak lah mancik jadi angku haji/banyak lah kuciang nan sumbayang.

Di tahun setelah itu, setelah PRRI kalah dalam perang saudara tiga setengah tahun, nyaris tak tersebut lagi lagu-lagu jenaka yang dipopulerkan. (Tetapi di luar yang tercatat dan dipopulerkan, tentu lirik-lirik jenaka akan terus berkembang apalagi dalam kondisi sosial yang tragis menjadikan manusia melarikan diri kepada kejenakaan). Tema-tema lagu Minang ketika itu pada umumnya berkisah perihal kepulangan dan kepergian, yang berangkat dan yang menanti, ratap-ratap ditinggalkan, atau kerinduan pada kampung halaman.

Tema-tema di atas tercermin misalnya dalam lagu-lagu: Barangkek Kapa, Takana Juo, Rang Talu, Kambanglah Bungo, maupun lagu-lagu yang datang lebih belakangan seperti: Lakehlah Pulang, Di Taluak Bayu, Minang Maimbau, Takana Adiak, Mandeh, Dangalah Minang Maimbau, dan lainnya.
Gelombang migrasi orang Minang keluar daerah pasca perang saudara itu memang meningkat. Dalam catatan sejarah dikatakan, Teluk Bayur menjadi pelabuhan paling ramai, menjadi transit yang mengantarkan orang-orang Minang keluar daerah mereka. Sayang ka kampuang ditinggakan. Setidak-tidaknya, itulah ungkapan yang terkenal untuk konteks ini yang banyak ditransmormasikan ke dalam lirik-liri lagu Minang.

Bahkan realitas pasca perang tersebut tidak saja direduksi menjadi teks atau lirik lagu-lagu Minang oleh orang-orang Minang sendiri, tetapi juga direduksikan ke dalam lirik lagu berbahasa Indonesia. Lagu yang terkenal dan masih diingat sampai hari ini dengan penggalan lirik sebagai berikut: selamat tinggal Teluk Bayur permai/daku pergi ke negeri seberang/dst...

Baru setelah tahun 80-an (setidak-tidaknya dalam catatan saya) beberapa lagu Minang yang menawarkan lirik-lirik jenaka mulai dipopulerkan kembali. Di sekitaran tahun ini muncul Edy Cotok yang masih populer hingga kini. Sejak bernyanyi tahun 1979, ia setidak-tidak telah melahirkan 18 album. Salah satu keunikan Edy Cotok yang jarang dimiliki penyanyi lain, ia memiliki sembilan jenis karakter suara, begitu laporan sebuah milis. Dengan modalnya itu, ia bisa membawakan lagunya dengan kocak dan penuh humor. Salah satu lagunya, Jan Bajudi liriknya berbunyi: Jan bajudi juo, Da/jan bahampok juo, Da/anak alah banyak/sadarlah oi Uda// Induak-induak komah/samo jo padusi/ heboh se muncuangyo/co murai banyanyi//Baa dak kaeboh aden tiok hari/pitih ka balanjo Uda baok bajudi/utang den di lapau lah salilik pinggang/kok tarimo gaji bon sajo nan pulang//Soal utang tu diak lah soal biasao/tanyo ka Pak Wali kok indak picayo/sadangkan negara lai bautang juo/ kunun kok awak rakyat biaso.

Di tahun 2000-an, Opetra menghadirkan album Kecek-kecek Amae. Keunggulan Opetra karena ia berhasil menampilkan lirik-lirik yang jenaka namun miris dalam membaca realitas sosial—karakter yang paling menonjol dalam jenaka Minang. Di samping itu, ia dengan berani memplesetkan lagu-lagu India dalam lirik-lirik humor yang bernada satir. Misalnya ia mengetengahkan bagaimana kondisi supir angkutan dan kondisi bus yang sesak muatan, bus kelas ekonomi tentu saja, yang diisi oleh berbagai lapisan dan kelas sosial. Penggalan liriknya: ado panjang ado pendek/ado gadang ado bondek/nan bagayuik cando cigak/nan tasapik angok sasak/dst.... Sementara dalam lirik lagu Kecek-kecek Amae sendiri, bercerita tentang seorang lelaki yang putus cinta, karena si lelaki orang yang tak berpunya, lantas memelihara dendam kepada orangtua dari si gadis yang yang gila harta yang membuat cinta mereka putus.

Seiring dengan tahun itu, muncul Nedi Gampo. Menurut sebuah milis, Nedi Gampo sampai saat ini menghasilkan delapan album. Lagu ciptaannya yang dinyanyikan sendiri dan menjadi hits antara lain Jawinar, Uwie-uwie Minta Jatah, Aki Soak.

Dalam beberapa lagu, Nedi Gampo mencoba berbicara tentang kondisi terkini daerah maupun negara, baik dalam konteks politik, budaya, maupun moral. Ia dengan kelakar mengomentari krisis moneter, kondisi para supir, nasib mahasiswa miskin, nasib pegawai honor, dan lain sebagainya. Ia menampilkan selingan jenaka di antara lagu, baik berupa teka-teki maupun anekdot-anekdot; hal yang sesungguhnya kemudian menjadi ciri khas beberapa lagu jenaka Minang. Misalnya Nadi Gampo lewat lagunya mempopulerkan anekdot tentang beo yang menirukan apa saja yang menjadi kebiasaan tuan rumah: baik itu kebiasan nyonya menggosipkan suaminya, sampai kepada suara tuan dan nyonyanya berhubungan intim.

Di tahun yang lebih belakangan, Ajo Andre yang berduet dengan beberapa penyanyi perempuan dalam beberapa album masih tetap berhasil menampilkan kejenakaan yang khas Minang, dalam bentuk teka-teki maupun cerita-cerita jenaka yang tidak membodohi pendengarnya, tetapi mampu menggugah daya nalar.

Busyet sebagai generasi yang datang paling mutakhir dalam menghadirkan lirik-lirik jenaka dalam lagunya, melagukan lirik-lirik verbal yang terbuka kulit akan tampak isi, hantam saja, nyaris tanpa kiasan, tanpa metafor. Di beberapa lagu, banyak kata-kata seperti baruak ang, matilah ang, dalang ang, dst.

Lihat misalnya lirik lagu yang berjudul Tenggen yang berbunyi: Pakerakpakeren/lets me negen/ma tau den/aden tenggen/manga ang tanyo lo ka den?// Meskipun kita berkata bahwa lirik-lirik tersebut kasar dan verbal, tetapi hal itu sesungguhnya bisa menjadi cerminan kondisi berbahasa generasi mutakhir.

Di bagian lain dalam lagu yang sama berbunyi: Jaman kini babahayo Da/ketek-ketek pakai narkoba/sirawa tangga nyo kabek saja/hiduik jo style gaya nagari lua/jiko mabuak tiok sabanta/maengak-engak di tangah pasa/dst...

Generasi mutakhir Minangkabau rupanya punya cara tersendiri menanggapi realitas dengan bahasa mereka yang campur-aduk alias gado-gado. Dalam beberapa lirik lagu Busyet yang telah dikutipkan di atas, akan kelihatan gado-gado bahasa generasi yang dipakai: Arap, Inggris, semi-Inggirs, semi-Indonesia, semi-Minang.

Apa yang dicemaskan banyak ahli bahasa dewasa ini bahwa bahasa ibu baik bahasa daerah maupun bahasa nasional telah terpinggirkan oleh bahasa yang datang dari luar, maupun kecemasan akan ketidak-becusan berbahasa generasi Mutakhir. Kecemasan itu pula sesungguhnya yang tampak dan mungkin ingin di hadirkan dalam beberapa lirik lagu Busyet. Barangkali itulah hasil reduksi Busyet terhadap membaca perkembangan realitas kekinian tempat mereka hidup.

Atau malah semakin mempopulerkan ketidak-becusan berbahasa yang selama ini dicemaskan itu?
Dalam lagu lain yang berjudul Carai, liriknya berbunyi begini: bini den bulek sabana padek/ jikok diesek inyo mahonjek/badan e ketek bantuak katupek/ iduang e bulek mancuang saketek.//ajo den gagah bantuak pak lurah/bukak kupiah bantuak pak ogah/kapalo sabana sulah/dek acok mandi jo aie kulah/

Di bagian ini, Busyet menampilkan garah yang bertendensi mengekplotasi tubuh, kejelekkan badaniyah, tak ubahnya apa yang diterapkan pelawak-pelawak nasional kita di televisi seperti Thukul yang sekarang lagi naik daun. Pola seperti ini juga terlihat pada beberapa lirik lagu Mak Lepoh dan Mak Itam (generasi berikutnya atau mendahulu Buyet?). Karakteristik jenaka yang sesungguhnya tidak begitu kentara atau jarang dipakai sebagai ciri jenaka Minangkabau.

Namun bagaimana pun, yang mutlak dari kebudayaan adalah perubahan. Perubahan simbol dan makna yang kita lihat dalam lirik-lirik jenaka lagu Minang hingga dewasa ini yang terutama pelopori Busyet (dapat dikatakan begitu) sesungguhnya bisa menjadikan parameter bagaimana sesungguhnya generasi Minang hari ini berbahasa. Bagaimana bahasa sebagai sistem simbol dan makna terus berkembang dan berdinamika mereduksi realitas.

Padang, 2008

* Deddy Arsya, mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang, tinggal diPadang.

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 Desember 2008

Cermin Bagi Provinsi Pusat Industri Otak

-- Suryadi*

SEJARAH mencatat bahwa masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial. Asal-usul Elite Minangkabau Modern memberi kupasan mendalam tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19.

Jauh jarak waktu yang telah ditempuh buku ini untuk sampai kepada pembaca Indonesia. Buku ini berasal dari disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 yang berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia.

Judul utama versi Indonesia buku ini langsung berperan sebagai “etalase” yang menggiring pembaca untuk membayangkan isinya yang memang berbicara tentang sejarah kemunculan kaum elite Minangkabau modern sebagai efek pengenalan pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda di daerah ini.

Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga.

Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi.

Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya, Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda)?residen (tiga keresidenan) (Belanda)? asisten residen (Belanda)? controleur [kontrolir] (Belanda)?kepala laras (bumiputera)?kepala nagari (bumiputera). Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu bias jalan. Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik “republik nagari” yang bersifat egaliter itu (Bab 3, hlm.61-101).

Motif ekonomi dibalik tujuan Belanda melakukan reorganisasi sistem politik Minangkabau itu dibahas dalam Bab 4 (hlm.102-148). Dalam bab ini penulis menguraikan penerapan sistem perpajakan dan penanaman kopi, komoditas ekspor utama zaman itu, dengan segala konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkannya.

Salah satu efek dari penetrasi politik dan ekonomi Belanda itu adalah munculnya sekolah sekuler yang belakangan mulai menyaingi sistem pendidikan tradisional (surau). Dalam Bab 5 (hlm.149-209) Graves membahas kemunculan sekolah sekuler di Minangkabau dan reaksi masyarakat terhadapnya.

Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.

Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.

Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini.

Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280).

Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup. []

* Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Universiteit Leiden, Belanda

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 Desember 2008

Kesusastraan bagi Anak-anak

-- Kurnia JR*

APA yang kita dapati di Indonesia sekarang mungkin agak mirip abad yang dihayati Charles Dickens dulu. Kita masih menyaksikan anak-anak berkeliaran di jalan-jalan hingga larut malam. Mereka mengelap kaca mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, melompat ke dalam bus kota untuk mengamen, mengemis di jembatan penyeberangan, menjadi korban sodomi dan pemerkosaan, bergaul dengan pencopet, dan sebagainya. Tak sedikit anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja membantu orangtua atau diperdagangkan menjadi pelacur.

Kasus penyiksaan orangtua terhadap anak sering mengisi halaman surat kabar. Inilah sisi dunia rapuh anak-anak. Tampaknya kesusastraan kontemporer kita kurang menaruh perhatian pada kenyataan ini. Saya ingat sebuah cerita yang menarik tentang anak-anak jalanan: Burung-burung Kecil. Kisah ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina pada 1991. Pengarangnya lebih suka dikenal dengan nama Kembangmanggis. Dia melakukan riset dan menuangkan hasilnya dalam bentuk novelette tentang anak jalanan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kisah terbaru yang sedang digandrungi adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Betapapun, setiap orang mendambakan harapan atas dunia yang tak selalu memenuhi kebutuhan. Secara umum, Laskar Pelangi menanggapi harapan itu, menggugah kesadaran tentang perubahan yang bisa diupayakan.

Kenyataan boyak pada suatu generasi hanya bisa ditanggulangi oleh generasi yang bersangkutan dengan ketangguhan diri hasil pendidikan yang wajib disediakan oleh generasi pendahulu. Empati terbesar tentu dimiliki oleh yang terlibat.

Anak-anak yang beruntung di segala zaman menikmati pendidikan melalui kesusastraan. Para penutur dongeng, penulis, serta penyanyi lagu ninabobo dari masa ke masa menaruh perhatian besar pada anak-anak. Bahkan, bagi orang dewasa, kesusastraan menyapa lewat naluri kanak-kanak. Sastrawan menulis dan bertutur lewat imajinasi kanak-kanak yang bersemayam dalam jiwa mereka.

Contoh yang klasik adalah Alice in the Wonderland (1865) karya Lewis Carroll yang masyhur. Kisah itu sangat digemari anak-anak di berbagai negeri. Melintasi masa hampir satu setengah abad, kisah petualangan Alice terus diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan direproduksi ke dalam berbagai bentuk, dari prosa ke komik, terus ke film dan sebagainya. Lewis Carroll alias Charles Lutwidge Dodgson adalah seorang ahli matematika dan logika. Fakta ini menegaskan bahwa sastra bagi anak-anak menuntut integritas yang berdisiplin tinggi. Para redaktur majalah anak-anak pastilah memahami hal itu sehubungan dengan cerita-cerita yang mereka terbitkan. Selayaknya, kita pun patut menyadari konteks budaya dan ekonomi dari karya yang diciptakan di suatu tempat pada suatu masa.

Dunia anak-anak dari sudut pandang literer bukan miniatur dunia orang dewasa. Dunia mereka adalah wilayah otonom yang menuntut disiplin logika tersendiri. Wilayah anak-anak bukanlah tempat bagi penulis yang sembrono dan menganggap publiknya sekadar tong sampah tempat segala kebohongan ditumpahkan.

Sebagian penulis kadang-kadang terjerumus pada anggapan bahwa dongeng untuk anak-anak cukup berisi ajaran moral yang sumir: kejahatan dikalahkan kebaikan. Prinsip simpel semacam ini umumnya dianut oleh penulis komersial, yang memandang anak-anak sebagai target pasar semata. Mereka lupa bahwa pengolahan imajinasi adalah aspek yang tak boleh diabaikan, disertai aspek moral khas yang lentur. Keluwesan adalah fondasi penting supaya anak-anak tidak dipukau oleh jarak tak terjembatani antara apa yang mereka baca dan apa yang mereka saksikan di dunia nyata.

Dongeng-dongeng HC Andersen menjadi klasik bahkan bagi pembaca dewasa. Kisah-kisahnya tak sekadar menyajikan moral kebaikan dan ketabahan, tetapi juga keindahan yang menyentuh hati. Setelah menempuh perjuangan disertai kejujuran dan ketabahan, kisah ditutup dengan pola yang masyhur dan kita hafal: ”Mereka pun selanjutnya hidup bahagia selama-lamanya.” Dongeng-dongeng Andersen atau Jacob Grimm membuat masa kanak-kanak berjuta-juta orang terasa indah dalam kenangan. Pola cerita yang mereka terapkan tetap berlaku hingga sekarang. JK Rowling dan JRR Tolkien bertolak dari sistem moral yang baku dalam karya-karya mereka yang sukses besar secara komersial dan boleh dibilang menjadi dongeng abad ini. Tokoh baik mengalahkan tokoh jahat. Betapapun angker dan perkasa si tokoh jahat, ia pasti lebih lemah di hadapan tokoh baik. Kita tunggu, setangguh apa Harry Potter dan The Lords of the Ring menghadapi ujian waktu.

Andersen menulis dari lubuk hati dan empati karena ia kenal penderitaan sejak masa kecilnya. Ia tuturkan imajinasinya yang hebat dengan gaya yang memukau: tentang bunga lili yang tumbuh di atap rumah, dekat jendela kamar loteng, atau tentang anak miskin yang, karena ketabahan dan kejujuran, berhasil mempersunting putri raja. Dongeng-dongeng Andersen menanamkan pengertian ke dalam benak anak-anak bahwa hidup ini patut diperjuangkan dan karena itu indah. Hidup yang diisi dengan kebajikan pasti akan berbuah keberuntungan. Dalam dongengnya, dunia terasa mengharukan. Andersen seakan membawa misi mengungkap dunia lembut dan welas asih yang acap terbenam di bawah permukaan dunia keras.

Charles Dickens, pengarang Inggris abad ke-19, dengan karya-karyanya memupuk cinta dan dorongan untuk memperbaiki realitas sosial. David Copperfield, Oliver Twist, Dombey and Son, dan lain-lain melukiskan kehidupan yang keras, dangkal, tapi juga mengharukan. Perhatian utama Dickens adalah nasib anak-anak yang tragis sebagai dampak Revolusi Industri.

Dickens menjalani masa kanak-kanak yang menyedihkan. Hidup melarat dengan ayah dipenjara gara-gara utang. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-12, ia harus bekerja di pabrik Warren’s yang membuat dia menderita. Trauma itu membekaskan luka jiwa yang tak pernah sembuh seumur hidupnya. Pengalaman masa kecil yang pahit sangat berperan sepanjang kariernya sebagai sastrawan. Dickens melukiskan anak-anak Inggris pada abad ke-19 yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik hingga jauh malam dengan upah sangat rendah atau tanpa bayaran sama sekali, juga anak-anak jalanan dalam Oliver Twist.

Dari Amerika, pada paruh kedua abad ke-19 Mark Twain menghadiahkan kisah tentang dunia anak-anak yang polos, tetapi sarat dengan ajaran hidup. Tom Sawyer dan Huckleberry Finn layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Buku-buku itu menyuguhkan kisah petualangan yang seru dan jenaka sambil memperkenalkan kearifan hidup dalam konteks kemajemukan sosial.

Dari kesusastraan masa Balai Poestaka, ada kisah Si Jamin dan Si Johan karya Jan Smees yang disadur Merari Siregar. Buku itu menggambarkan nasib anak-anak yang pahit. Mereka yang pernah membaca buku itu selalu terkenang akan tragedi yang dilukiskan. Tentu saja, bukan hanya cerita sedih yang masuk catatan. Si Doel Anak Betawi karya Aman yang jenaka sekaligus mengharukan telah menjadi legenda dalam kesusastraan Indonesia.

Buku adalah satu hal, sedangkan sarana untuk mempertemukan sastra dengan anak-anak adalah hal lain. Di sinilah pemerintah dan orangtua berperan. Dalam kesusastraan, buku hanya salah satu media. Anak-anak di usia dini pastilah beruntung jika memiliki orangtua yang sudi mendongeng di ranjang mereka menjelang tidur, walau tidak setiap malam. Sementara itu, pemerintah selalu diharapkan mengatur harga kertas agar penerbit dapat menyediakan buku murah. Lebih dari semua itu, fondasi utama adalah pendidikan dasar: melek huruf, diiringi pemenuhan hak dasar hidup anak-anak selaku warga negara. Kita masih menanti pemerintah yang mampu menunaikan amanat konstitusi: anak telantar dipelihara oleh negara.

Sastra pun dapat diakses melalui internet. Di sinilah pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan orangtua secara bersama-sama dituntut berperan aktif membantu anak-anak sehingga mendapatkan apa yang patut bagi mereka. Yang diperlukan bukanlah blokade atau berbagai larangan sebab internet adalah fenomena dunia yang bocor. Cukuplah kita renungkan kutipan berikut ini dari Han Suyin (A Many-Splendoured Thing), ”Betapa senangnya menjadi anak Cina,” kata Pater Low. ”Mereka selalu diajak ke mana-mana. Mungkin itulah sebabnya mereka selalu mudah diurus dan tidak mempunyai banyak kesulitan. Mereka tidak dipisahkan dan dilindungi dari kehidupan nyata sehingga tidak shock saat terjun ke dunia nyata. Kami mendidik orang-orang yang keliru, tapi kalian mendidik pria-pria dan wanita-wanita untuk hidup di dunia orang dewasa. Anak-anak itu tidak ikut-ikutan berbicara atau meniru kelakuan orang dewasa sebab tak banyak yang disembunyikan dari mereka, dan mereka tak percaya orang dewasa lebih banyak tahu daripada mereka.”

* Kurnia JR, Pengarang

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Desember 2008

Nobelis Harold Pinter Meninggal Dunia

-- Dwi Fitria

PEMENANG Nobel Harold Pinter, salah satu penulis naksah drama terbaik yang pernah dimiliki Inggris, meninggal dunia pada Rabu(24 12) lalu. Pinter yang berusia 78 tahun meninggal dunia akibat penyakit kanker yang dideritanya sejak lama.

Adalah naskah-naskah dramanya yang membuat Pinter dianuegerahi Nobel Sastra pada 2005 lalu. “Pinter mengembalikan teater pada elemennya yang paling dasar: sebuah pertunjukan di sebuah tempat tertutup dengan dialog-dialog yang tak dapat diprediksi. Di mana keberlangsungan hidup seseorang amat bergantung pada orang lainnya, dan kepura-puraan menguap begitu saja,” begitulah bunyi penghargaan kepada Pinter oleh Nobel Academy saat mengumumkan kemenangannya. “Dengan plot yang minimum, drama muncul dari perang kepentingan.”

Pinter melesat ke jajaran penulis naskah papan atas di tahun 1960 saat ia memproduksi drama-drama berjudul The Caretaker, The Dumb Waiter, and The Birthday Party. Namun Pinter juga dikenal karena kepiawaiannya sebagai penulis naskah film, aktor dan sutradara.

Di tahun-tahun akhir kehidupannya, Pinter menjadi aktivis hak asasi manusia, yang melontarkan protes keras terhadap pelanggaran HAM di seluruh dunia, termasuk penduduk Irak oleh Amerika. Pada 2003 lalu, ia bergabung dengan para seniman lain seperti Blur dan Ken Loach mengirimkan sebuah surat ke Downing Street yang memprotes pendudukan tersebut.

“Invasi Irak adalah tindakan para bandit, sebuat tindakan kasar terorisme, yang menggambarkan pelanggaran terang-terangan terhadap konsep hukum internasional,“ ujar Pinter saat memberikan kuliah Nobelnya di Stockholm pada 2005.

Sepanjang hidupnya Pinter telah menulis 32 naskah drama, sebuah novel berjudul The Dwarfs pada 1990, dan terlibat dalam penulisan setidaknya 22 skenario film di antaranya The French Lieutenant’s Woman pada 1980 dan Quiller Momerandum pada 1965.

Pinter meninggalkan seorang anak, Daniel dan seorang istri, Lady Antonia Fraser. (The Guardian/AP/Devi)

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 Desember 2009

Pustaka: Balada Orang-orang Kecil

-- Dwi Fitria

BUKU pertama Nala Arung. Tuangan kegelisahan, sekaligus cuplikan keseharian masyarakat.

Saripin adalah seorang pemuda di sebuah desa. Hidupnya seperti kebanyakan pemuda lainnya. Ia hidup di sebuah kampung di mana semua orang begitu mengidolakan artis molek bersuara merdu, Krisdayanti.

Suatu hari Saripin bermimpi naik ke ranjang bersama Krisdayanti. Saripin tak kuat menahan kisah ini sendiri. Ia pun berbagi kisah dengan teman yang benar-benar ia percayai, Dudung. Dudung kemudian menyampaikan cerita ini kepada istrinya, yang menceritakannya kepada orang lain, dan seterusnya, sehingga kemudian satu kampung itu mengetahui mimpi Saripin.

Saripin kemudian dibenci dan dijauhi. Ia dianggap orang aneh karena sudah berani-beraninya bermimpi tak senonoh mengenai artis pujaan seluruh masyarakat desa. Apa yang dilakukan Saripin dianggap aib, bahkan oleh kekasihnya, Titin, yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.

Cerita berjudul Balada Saripin & KD ini adalah satu dari sebelas cerita pendek dalam kumpulan cerpen berjudul sama karya Nala Arung. Ada sedikit penjelasan yang kurang dalam Balada Saripin & KD, karena sesuatu yang hanya mimpi bisa membuat Saripin dihujat orang satu kampungnya. Di bagian akhir cerita tokoh Saripin bahkan harus memberikan penjelasan kepada orang kampung untuk membela diri dan mimpinya yang tak pantas.

Nala Arung ingin menampilkan begitu luar biasanya efek pengkultusan terhadap seorang individu. Meskipun mungkin bukan sesuatu yang luar biasa bermimpi panas tentang Krisdayanti, karena pada masanya, kemolekan wajah dan kesempurnaan fisik adalah hal kelebihan yang ditonjolkan seorang Krisdayanti.

Tak ada tema spesifik yang menjalinkan kisah dalam kumpulan cerpen ini. Sebagian menampilkan realita kehidupan masyarakat yang dekat dengan kesehariannya, masyarakat Kutai. Namun, sebagian melompat jauh menampilkan gaya hidup yang sudah terbilang metropolis.

Semisal dalam Gunawan, Nama Kekasihku, yang mengisahkan keseharian hidup seorang laki-laki bernama Jim. Jim terhitung laki-laki yang sukses, berkelimpahan materi, perusahaan yang dikelolanya maju dengan cepat merambah hingga ke luar negeri. Hanya saja, Jim tak juga memiliki istri, dan ini menjadi pertanyaan orang-orang terdekatnya.

Padahal tak satu dua perempuan yang mendekatinya. Di belakang kisah terungkap juga bahwa Jim sebenarnya sudah memiliki kekasih, Gunawan namanya.

Di beberapa cerita, Nala Arung menampilkan potret masyarakat Kutai. Cerpen Sepatu misalnya bahkan dibuat dalam versi bahasa Indonesia dan bahasa Kutai. Sepatu bercerita tentang seorang laki-laki bernama Busu Haron (Busu berarti paman atau pakde dalam bahasa Kutai). Hari-hari Busu yang terbiasa menghabiskan hari dengan tidur sampai siang, terganggu saat anaknya meminta dibelikan sepatu baru. Sekolah anaknya mengharuskan tiap siswa memakai sepatu seragam.

Adegan beralih amat dramatis. Busu Haron naik pitam. Ia merasa bahwa peraturan ini terlalu mengada-ada. Busu Haron yang sekilas terlihat sebagai seorang karakter yang santai kemudian menggalang masa: para tetangga yang terkena imbas kebijakan yang sama, agar protes pada pihak sekolah. Busu Haron dan para tetangganya sudah bermimpi berdemonstrasi ala mahasiswa. Mereka akan membawa kasus ini hingga ke PBB jika perlu.

Puncak yang dramatis menurun dramatis juga. Sebab tanpa sebab yang jelas pihak sekolah membatalkan permintaan itu.

Nala Arung membuat kisah ini terlebih dahulu dalam bahasa Kutai, baru kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. “Tujuan utama saya sebenarnya hanya memperkenalkan bahasa Kutai kepada masyarakat Indonesia yang lebih luas. Kalau dicari di pasaran, orang akan dengan mudah menemukan kamus bahasa Jawa atau Melayu misalnya. Tapi tidak demikian halnya dengan bahasa Kutai,” ujar laki-laki kelahiran Tenggarong, 1977 itu. Nala menuliskan ini dengan kesadaran untuk tetap melestarikan bahasa daerah asalnya tersebut.

Beberapa kisah dalam buku ini, termasuk Sepatu, sengaja menyampaikan kondisi sehari-hari masyarakat Kutai Kertanegara. Sebuah bentuk keresahan Nala Arung melihat kecenderungan masyarakatnya sendiri.

“Masyarakat Kutai adalah orang-orang yang tak terlalu suka berkonfrontasi. Dan ada kecenderungan menjadi apatis. Tidak ada kompetisi, dan ini sesuatu yang meresahkan,” ujar laki-laki yang sebelumnya sempat berprofesi sebagai wartawan ini.

Protes masal adalah sesuatu yang amat berkebalikan dengan kecenderungan masyarakat Kutai yang tak suka konfrontasi. Kisah dalam Sepatu, misalnya, dimaksudkannya untuk menjadi semacam penggedor kesadaran pada masyarakat tempat ia bermukim itu.

Kisah-kisah dalam buku ini terkesan komikal karena dalam beberapa cerpen tindakan yang dipilih karakternya agak berlebihan.

Kumpulan cerpen ini adalah kumpulan cerpen pertama Nala Arung. Banyaknya cerpen yang sudah ia hasilkan mendorongnya untuk mengumpulkan cerpen-cerpen itu menjadi sebuah buku. Awalnya ia hendak menerbitkan buku itu hanya di Kutai Kertanegara saja. “Setelah diterbitkan mungkin dibagikan di sekolah-sekolah setempat,” ujar Nala.

Namun beberapa orang teman dari Jakarta mendorongnya untuk menerbitkan juga buku tersebut di Jakarta. Ia kemudian mengumpulkan sebelas cerpen yang pernah dimuat oleh media setempat. Dimulai bulan Juli, sebelas tulisan yang dibuat dalam jangka waktu antara 1997 hingga 2008 akhirnya terpilih untuk mejadi bagian kumpulan cerpen ini.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 Desember 2009

Wacana: Nasib Sastra di Sekolah pada Era KTSP

-- Achmad Bashori*

SEJAK 2006, pemerintah menggulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk SD hingga SMA. Kurikulum baru ini akan direalisasikan secara bertahap. Tahap awal akan dilaksanakan selama 3 tahun sampai 2009.Hadirnya KTSP sangat diharapkan bisa menyempurnakan dan mengukuhkan pelajaran sastra sebagaimana kurikulum 2004. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, nasib pelajaran sastra belum jelas. Berbagai rekomendasi dari berbagai forum sastra, seminar sastra, dan saran akademisi sastra serta para sastrawan agar pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran bahasa, bagai angin lalu saja.

Secara materi ajar, sastra memang mendapatkan porsi yang sama dengan aspek kebahasaan yang meliputi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Tetapi ada dua hal dalam KTSP yang justru mengaburkan posisi pelajaran sastra Indonesia.

Pertama, pelajaran sastra tidak secara ekplisit disebutkan dalam standar isi KTSP 2006. Sejak pertama membaca standar isi yang jelas terbaca adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan untuk penyebutan guru pun sudah tidak ada embel-embel guru sastra, yang ada adalah guru bahasa Indonesia. Padahal, dalam KBK 2004 secara jelas tercantum pelajaran (apresiasi) sastra, walaupun masih melekat pada pelajaran bahasa Indonesia.

Kedua, KTSP tidak memunculkan nilai sastra (dalam rapor) untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Dari berbagai pertemuan dengan para guru bahasa Indonesia hampir semuanya bingung untuk memberikan nilai evaluasi sastra. Karena nilai sastra menjadi satu (terintegrasi) dengan nilai bahasa Indonesia. Apalagi sampai saat ini belum ada panduan sistem penilaian dan evaluasi KTSP, sebagian besar masih mengacu pada KBK 2004.

Penghambat
Pergantian penguasa, kekuasaan, dan kurikulum tidak akan mengangkat sastra ke tempat yang lebih baik bila beberapa penghambat pengajaran sastra tidak mendapatkan solusi yang serius.

Pertama, masih melekatnya pelajaran sastra dengan bahasa Indonesia. Pelajaran sastra yang masih 'ikut' pelajaran bahasa Indonesia pada pelaksanaannya akan bergantung pada guru-guru bahasa. Kalau guru bahasa mempunyai apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapatkan perhatian yang lebih. Namun sebaliknya, jika guru tidak memiliki minat terhadap sastra atau apresiasi sastranya rendah, maka pembelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai tuntutan 'pemenuhan' kurikulum. Apalagi selama ini pelajaran sastra hanya menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai Bahasa Indonesia pada rapor, persentase nilai lainnya lebih banyak pada kebahasaan.

Kedua, rendahnya budaya baca di kalangan guru dan siswa. Faktor ini disebabkan banyak hal: terbatasnya kemampuan guru untuk membeli buku atau majalah sastra, budaya baca belum tercipta, dan arus konsumerisme akibat kapitalisme menjadikan buku sebagai kebutuhan yang kesekian kali. Salah satu indikasinya, banyaknya keluhan dari para sastrawan disebabkan enggannya penerbit mencetak buku-buku sastra karena tidak laku jual. Penelitian Taufiq Ismail tahun 1997 yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia yang membaca sastra 0% dibanding negara lain saat ini pun masih relevan. Bagaimana mungkin budaya baca tumbuh di kalangan siswa bila para gurunya juga enggan membaca?

Ketiga, minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Penyebabnya antara lain, masih kuatnya pola pengajaran lama walaupun tuntutan perubahan begitu kuat. Rutinitas membaca buku paket, menggarisbawahi apa yang disampaikan guru, membuat ringkasan, dan menghafal teori, nama sastrawan, dan karyanya dengan orientasi persiapan ulangan atau ujian.

Pelajaran apresiasi puisi mungkin salah satu materi ajar yang menarik. Namun dapat membosankan karena guru tidak memiliki wawasan yang luas, keterampilan yang memadai, dan fasilitator yang proporsional. Tidak seperti pengajaran teori sastra atau sejarah sastra yang lebih menekankan aspek kognitif. Apresiasi puisi membutuhkan persiapan khusus, karena semua pihak yaitu guru, siswa, dan puisi itu sendiri berposisi sebagai objek. Alur komunikasi dalam kegiatan tersebut tidak mungkin satu arah untuk mendapatkan pemahaman, tetapi melalui proses diskusi atau dialog.

Kurangnya kecintaan guru kepada sastra selain malasnya guru untuk membaca juga diperparah dengan tidak adanya pembinaan secara merata untuk meningkatkan kualitas guru dalam pengajaran sastra. Padahal, guru sastra profesional selalu berusaha melakukan berbagai improvisasi agar pelajaran sastra menyenangkan. Guru dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop) dengan pandangan mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai narasumber dan fasilitator.

Idealisme pada kurikulum 2004 dan KTSP 2006 yang memberikan ruang kreativitas kadang terkendala dengan target mengejar nilai (angka) ujian yang tinggi sehingga kreativitas sastra 'tergusur' demi tuntasnya materi pelajaran agar sesuai dengan SKL ujian. Bisa dilihat soal-soal dalam Ujian Nasional (UN) yang lebih mengedepankan sisi kognitif daripada apresiatif. Akibatnya, pelajaran sastra yang seharusnya memberi pencerahan bagi komunitas sosialnya, menjadikan siswa sebagai 'manusia' bagi dirinya.

Kesulitan juga muncul saat praktik penulisan sastra, karena para guru belum biasa terlibat dalam kegiatan tulis menulis. Memang pelajaran sastra di sekolah bukan untuk mencetak siswa menjadi sastrawan. Sastra diajarkan di sekolah dan dimasukkan kurikulum karena masih diyakini bahwa sastra memberi manfaat, mengasah kepekaan siswa terhadap berbagai masalah kehidupan beserta alternatif solusinya.

Keempat, kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dicermati dari langkanya perpustakaan sekolah yang menyediakan berbagai referensi yang up to date (novel, cerpen, puisi, naskah drama, dan penunjang apresiasi sastra), lebih banyak buku-buku lama. Kondisi hampir sama pun dialami perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah. Akses informasi untuk mencerahkan (majalah, intrnet, dan alat komunikasi) bagi guru terbatas. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak adanya tempat untuk berekspresi (sanggar sastra, gedung/aula teater) yang representatif. Bandingkan dengan pelajaran yang lain seperti sains yang mempunyai laboratorium cukup lengkap.

Kelima, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat. Penghargaan kepada sastrawan yang nyaris tidak terdengar. Justru penghargaan yang diperoleh sastrawan Indonesia bersal dari negara lain. Berbeda dengan profesi di bidang lain (olahraga, ekonomi, IPTEK, dan politik) yang begitu meriah, dielu-elukan, dan mendapat berbagai fasilitas. Jangan kaget apabila sebagian besar siswa di sekolah enggan menggeluti sastra sebagai profesi yang tidak begitu menjanjikan untuk jaminan masa depan.

Mencermati berbagai kondisi dan realitas saat ini sastra yang kurang mendapat tempat di masyarakat dan pemerintah, rasanya cukup sulit untuk mewujudkan bahasa dan khususnya Sastra Indonesia menjadi pelajaran yang menarik dan favorit. Kiranya perlu memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk mengangkat sastra ke tempat yang lebih terhormat. Jangan sampai ada anggapan bahwa belajar sastra membuang waktu sia-sia. Karena tidak satu dua rekan guru bahasa dan sastra Indonesia yang berkeluh kesah bahwa pelajaran sastra kurang menarik atau diminati para siswa.

* Achmad Bashori, Guru bahasa dan sastra Indonesia

Sumber: Republika, Minggu, 28 Desember 2008

Pustaka: Buku, Ombak, dan Laut

-- Ahmadun Yosi Herfanda*

DI sekitar peringatan empat tahun bencana tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya (28 Desember), beberapa buku tentang laut dan ombak diluncurkan. Ada buku yang secara khusus mengangkat bencana tsunami Aceh. Ada pula yang membahas laut sebagai sumber daya alam yang sangat kaya dan belum dikelola secara maksimal.

Dua di antara buku-buku tersebut adalah novel Aotar atau Amuk Ombak Tanah Rencong karya Chavchay Syaifullah, serta Pemuda dan Kelautan karya Dr Adhyaksa Dault MSi keduanya diluncurkan di Jakarta, pekan lalu.Perpusat pada upaya para relawan tsunami Aceh dalam mengevakuasi mayat-mayat dan para korban yang selamat, novel Aotar< tidak hanya mengangkat bencana alam maha dahsyat tersebut sebagai latar utama cerita, tapi juga mengorek sejarah pergulatan rakyat Aceh sejak masa kerajaan, masa kolonial, masa penindasan pada era Daerah Operasi Militer (DOM), sampai menjelang tsunami.

Novel ketiga Chavchay itu juga menjadi semacam postcriptum yang kembali merangsang pembacanya untuk mengorek nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa sebelum dan di balik bencana alam tersebut. Prediksi sejumlah ahli bencana alam sebelum tsunami terjadi yang diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat pun dihadirkannya sebagai peringatan bagi kita agar tidak abai lagi pada prediksi dan gejala alam yang terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya menimpa.

Buku Adhyaksa Dault tentu berbeda dengan novel Chavchay. Novel Aotar jelas fiksi yang diangkat dari realitas dan kisah nyata di seputar bencana tsunami Aceh. Sedangkan buku Adhyaksa adalah sebuah wacana ilmiah yang mengangkat potensi kelautan kita yang sangat kaya.

Dan, sebagai menteri pemuda dan olahraga, tentu wacana utama yang dikemukakan Adhyaksa adalah bagaimana menyiapkan para pemuda sebagai SDM yang terampil dan berwawasan luas dalam mengelola kekayaan sumber daya kelautan kita. Di sinilah, Adhyaksa menampakkan kepakarannya dalam pemberdayaan pemuda dan pengelolaan potensi kelautan kita.

Dimulai dari wacana tentang peran pemuda secara umum dan peran pemuda dalam membangun laut di Nusantara, Adhyaksa lantas menguraikan secara detail sekaligus panjang lebar tentang berbagai potensi dan kekayaan laut kita serta pengelolaannya selama ini dan bagaimana seharusnya pengelolaan untuk masa yang akan datang.

Laut adalah sumber daya besar kita yang selama ini belum dikelola dan dieksplorasi secara baik. Sebagaian besar wilayah Indonesia pun terdiri dari laut. Tapi, sumber devisa negara kita selama ini lebih banyak bergantung pada daratan. Pengembangan kekuatan militer kita pun lebih terfokus pada angkatan darat. Sehingga, penjagaan keamanan laut kita kurang memadai. Tak heran, jika penyelundupan lewat laut meraja-lela, dan pulau-pulau terpencil kita satu demi satu diklaim orang lain.

Agak aneh, memang, wacana-wacana tentang kelautan kita selama ini jarang terdengar. Dan, anehnya lagi, yang rajin melontarkan wacana tentang kelautan kita justru seorang penyair, yakni WS Rendra, dalam banyak forum diskusi dan seminar. Menurut Rendra, budaya Mataram yang banyak menjadi kiblat Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat potensi besar kelautan kita agak terlupa.

Sebagaimana masa Kerajaan Mataram, kultur ekonomi yang dominan pada masa Orde Baru adalah ekonomi pertanian. Memang cukup berhasil dengan program swasembada beras. Tapi, potensi laut menjadi terbengkelai, dan kekuatan angkatan bersenjata kita pun lebih terkonsentrasi di darat, sehingga kekuatan angkatan laut kita menjadi rapuh, dan sumber daya kelautan kita pun agak terlupakan.

Di tengah kenyataan itu yang kurang menggembirakan itu, kita layak menyambut gembira hadirnya buku Pemuda dan Kelautan karya Adhyaksa Dault itu. Buku ini tidak hanya mewacanakan peran pemuda dan potensi kelautan kita, tapi juga mencoba mengajak kita untuk mulai lebih peduli pada masalah kelautan. Sebab, di laut, ribuan triliun kekayaan kita masih terpendam dan menunggu untuk dikelola bagi kesejahteraan bersama.

Laut yang mengamuk lewat gelombang ombak raksasanya, seperti tergambar pada novel Aotar, dan terjadi pada tsunami Aceh empat tahun lalu (28 Desember 2004), adalah 'pembunuh' yang tak kenal ampun. Betapa tidak. Lewat satu sapuan gelombang tsunami, Aceh dan sekitarnya porak-poranda dan sekitar 200 ribu nyawa menjadi korbannya.

Tetapi, laut yang tenang adalah sahabat bagi nelayan dan siapa saja yang ingin mencicipi kekayaan dan keindahannya. Melalui bukunya itu, Adhyaksa membeberkan potensi kekayaan lautan kita sekaligus tantangan untuk meraup dan mendayagunakannya bagi kesejahteraan anak-anak bangsa.

* Ahmadun Yosi Herfanda, Wartawan Republika

Sumber: Republika, Minggu, 28 Desember 2008

Inspirasi: Peter Brook

DUNIA teater dan film mesti menyebut Peter Stephen Paul Brook atau Peter Brook sebagai salah satu sutradara dan penulis naskah berpengaruh abad ke-20. Dramawan kelahiran Chiswick, London, 21 Maret 1925 ini menelurkan karya-karya fenomenal. Dia juga menggarap film-film besar di Inggris dan Prancis.

Brook tidak bisa lepas dari Grotowski, Bertolt Brecht, Meyerhold, Gurdjieff, Edward Gordon Craig, dan Stuart Davis. Mereka menginspirasi Brook khususnya dalam dunia teater.

Empty space (ruang kosong) adalah konsepsi yang dikenalkan Brook dalam buku Empty Space yang diterbitkan 1968. Brok menulis: I can take any empty space and call it a bare stage. A man walks across this empty space whilst someone else is watching him, and this is all I need for an act of theatre to be engaged.

Konsepsi yang dipengaruhi Grotowski ini mengukuhkan pentingnya relasi ruang, aktor, dan audience dalam suatu pentas. Dan menurut Brook, ruang menjadi prasyarat terjadinya peristiwa teater.

Dramawan Putu Wijaya, saat mengomentari Mahabharata garapan Brook--Brook menggarap banyak "kisah dan gagasan besar" seperti King Lear dan Hamlet karya Shakespeare--menyatakan Brook berhasil menyampaikan kisah Mahabharata dalam konteks berbeda. Tidak sebagai seorang guru kepada murid, tetapi sebagai sahabat yang sederhana, begitu kata Putu.

Dari konsep teater, seni laku, citra tontonan, Putu menilai Mahabharata garapan Brook adalah sebuah master piece. n DARI BERBAGAI SUMBER/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2008

Saturday, December 27, 2008

Globalisasi Kebudayaan: Rasa Kesatuan Dalam Identitas "Hybrid"

-- Afthonul Afif*

GLOBALISASI kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.

Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia-dalam konteks ini adalah contoh terbaik pascaruntuhnya kekuasaan sentralistik pemerintahan Orde Baru.

Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal.

Kondisi ini mengingatkan kita kepada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai ”komunitas yang terangankan”. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius—sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.

Haus keseragaman

Akhir-akhir ini istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, itu mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua merayakan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) awal Desember 2008 lalu adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.

Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui suatu proses eksklusi yang represif.

Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.

Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika setiap elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerja sama-kerja sama yang bersifat mutual.

Dekategorisasi identitas (eksklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan Pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial.

Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia—karena makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lain, seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik—tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual.

Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dan kelompok lainnya saling memandang?

Persilangan Identitas

Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah FranƧois Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.

Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ”narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.

Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang.

Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula.

Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.

Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang.

Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R & Gaertner, S (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain.

Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.

Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.

* Afthonul Afif, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Desember 2008

Naskah Ungkap Fakta Baru: Sumpah Gadjah Mada pada Zaman Raja Tribhuana Wijayatunggadewi

Mojokerto, Kompas - Hasil penerjemahan naskah Kakawin Gadjah Mada atau Nyanyian Gadjah Mada mengungkap fakta baru, antara lain, Sumpah Palapa Gadjah Mada tidak diucapkan pada zaman Raja Hayam Wuruk, tetapi pada zaman raja Majapahit sebelumnya, yakni Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Naskah itu juga mengungkapan, Majapahit menyerbu Bali bukan pada zaman Raja Sri Kresna Kepakisan, tetapi pada zaman Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu dari Raja Hayam Wuruk. Adapun Sri Kresna Kepakisan bukanlah Raja Majapahit, melainkan orang yang dipersiapkan untuk menjadi raja di Bali.

”Banyak fakta baru dari hasil penerjemahan naskah Kakawin Gadjah Mada,” kata Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajaya, Jumat (26/12). Ia adalah Ketua Tim Penerjemahan Kakawin Gadjah Mada, sedangkan penerjemahan dilakukan guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, Prof Dr I Ketut Riana.

Informasi lainnya yang juga terungkap dalam naskah itu adalah peran Arya Wiraraja yang tidak banyak diketahui orang. ”Peran Arya Wiraraja jarang diungkap, padahal ia adalah penasihat ulung pada Kerajaan Majapahit,” kata Made Kusumajaya.

Tak ada peminat

Meski naskah asli yang tertulis pada 93 lembar daun lontar itu sudah diterjemahkan, menurut Made Kusumajaya, belum ada pihak yang berminat untuk membiayai penerbitannya dalam bentuk buku.

”Sudah diajukan ke Bupati (Mojokerto), swasta, dan (Dinas) Parsenibud Provinsi (Jatim),” urai Made. Namun, ia menyatakan, hingga saat ini belum ada pihak atau instansi yang tertarik menerbitkan naskah tersebut.

Made berharap, jika pada perkembangan selanjutnya ada pihak-pihak yang berminat untuk menerbitkan naskah tersebut menjadi buku, diharapkan bisa menjalin komitmen lebih serius.

Wakil Bupati Mojokerto Wahyudi Iswanto yang dikonfirmasi mengenai telah diselesaikannya naskah terjemahan ulang Kakawin Gadjah Mada mengaku pihak Pemkab Mojokerto belum mengetahui soal tersebut.

Sementara itu, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Prof Dr I Ketut Riana tidak terlalu memusingkan soal royalti apabila naskah itu diterbitkan. Ketut adalah penerjemah naskah asli Kakawin Gadjah Mada yang ditulis dalam bahasa Bali Kuno dan ditulisnya ulang kembali dalam bahasa Indonesia lengkap dengan nyanyiannya.

”Saya tidak terlalu memikirkan royalti, yang penting adalah bagaimana masyarakat bisa tahu,” kata Ketut saat dihubungi pada hari yang sama.

Naskah yang sama, imbuh Ketut, memang pernah diterjemahkan pertama kali pada 1984 oleh Prof Dr Partini Sarjono Prodotokusomo dengan bantuan penerjemah I Ketut Ginarsa.

Karya ilmiah yang dijadikan disertasi doktoral itu dipertahankan di depan sidang terbuka Senat Guru Besar Universitas Indonesia di bawah pimpinan Prof Dr Nugroho Notosusanto di Jakarta pada 21 Januari 1984. Namun, ada beberapa koreksi terhadap terjemahan terdahulu. (INK)

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Desember 2008

Jilfest 2008: Karya Sastra Indonesia Dibaca di Mancanegara

KARYA sastra Indonesia umumnya novel dan puisi ternyata sudah merambah ke berbagai mancanegara. Selain dibaca, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, juga penelitian untuk jenjang strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Bahkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Novel Pramoedya Ananta Toer pernah masuk nominasi sebagai calon pemenang hadiah Nobel yang diselenggarakan Akademi Swedia, di Stockholm, Swedia.

Informasi ini terlontar dalam seminar sastra yang merupakan rangkaian Jilfest 2008 Jakarta International Literary Festival (Festival Sastra Jakarta), berlangsung 11 -14 Desember 2008.

Festival pertama kali yang diikuti sejumlah sastrawan nusantara dan mancanegara ini di selenggarakan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DK Jakarta bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI).

Yang cukup menarik, mungkin baru pertama kali terjadi sebuah seminar sastra diselenggarakan di Kawasan Kota Tua mengambil tempat di hotel bersejarah The Batavia Hotel, Jumat (12/12/08).

Alasan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman Provinsi DKI Jakarta Pinondang Simandjuntak memanfaatkan kawasan bersejarah ini untuk memperkenalkan Kawasan Kota Tua sebagai kota wisata budaya kepada pihak luar. Ternyata pihak dalam pun yaitu orang Indonesia baru mengenal kawasan bersejarah ini seperti diakui peserta Jakarta cerpenis kondang Hamsad Rangkuti dan peserta Bali - Warih Wisatsana.

Mereka menilai topik yang disuguhkan yang disuguhkan 9 pembicara cukup menarik, informatif dan menambah wawasan.

Para pakar ini membahas 3 topik. Pertama, Sastra Indonesia di Mata Dunia dengan pembicara Dr. Katrin Bandel (Jerman), Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) dan Prof. DR. Abdul Hadi WM. Kedua, Prospek Penerbitan Sastra di Mancanegara dikemukakan Prof. DR. Mikihiro Moriyama (Jepang), Jamal Tukimin, MA (Singapura) dan Putu Wijaya. Topik ketiga membahas Politik Nobel Sastra disuguhkan Henri Chambert Loir, Dr. Stefan Danarek, Swe, dan Prof. Dr. Budi Darma.

Katrin Bandel menginformasikan novel Saman karya Ayu Utami diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan diterbitkan di Jerman meskipun oleh penerbit yang tidak terkenal.

Mikhiro Moriyama mengemukakan sejak 1970, Jepang sudah menterjemahkan lebih dari 30 novel, beberapa cerita lainnya dan beberapa buku puisi. Bahkan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dicetak sebanyak 2000 eks.

Politik Nobel

Lain di Korea seperti disampaikan. Koh Young Hun, sastra Indonesia dijadikan sebagai bahan jenjang untuk S-2 dan S-3. Antara lain karya YB Mangunwijaya, WS Rendra, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan Umar Khayam

Demikian juga di Singapura seperti diungkapkan Djamal Tukimin, karya sastra diajarkan di sekolah-sekolah menengah dan menengah atas. Bahkan buku-buku sastra Indonesia pernah dijadikan buku teks sastra dan rujukan khusus untuk kajian sastra Melayu modern.

Berbeda pengalaman Putu Wijaya, ketika menghadiri festival sastra di Berlin (1985) ternyata ada penyair kulit hitam dari Amerika tidak mengenal Indonesia, tetapi mengenal Bali. Yang cukup menyakitkan muncul pertanyaan apakah di Indonesia ada penyair? Di balik itu Putu boleh berbangga ketika berkunjung ke Moskow bulan Juli lalu, dramawan kondang itu mendapat informasi bahwa sejumlah novelnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia sekitar tahun 70-an.

Indonesia boleh berbangga pula bahwa novel Pramoedya Ananta Toer pernah masuk nominasi Nobel. Bahkan menurut Stefan Pram sudah 26 kali masuk nominasi pencalonan. Hendri menambahkan Nobel sastra pada umumnya erat kaitannya dengan politik. Sebagai contoh Pramoedya yang bukan saja pengarang sastra, tetapi juga tokoh politik. Dan Pram salah satu korban rezim totaliter. Konon ketika nama Pram disebut sebagai calon pemenang ada lobi politik agar Pram dicegah sebagai pemenang.

Jika ditelusuri ada yang tidak beres dalam penilaian untuk Nobel sastra. Maka tak heran setiap pengumuman pemenang Hadiah Nobel selalu memunculkan kritik baik melalui media cetak maupun internet seperti dilansir Prof. Dr. Budi Darma.

Budi membeberkan kritik James Atlas (Straits Time, 5 Oktober 1999), pemenang-pemenang Hadiah Nobel adalah sastrawan kelas 2 dibanding dengan Tolstoy, Proust, dan sebagainya. Salah seorang pemenang Nobel - Toni Morrisson dituding hanya seorang ahli retorika.

Ditemui seusai seminar, Putu Wijaya mengaku ada kecurigaan di balik pemberian Hadih Nobel yang berlatar belakang politik. Dan ini sudah bersifat umum. Sebenarnya di Indonesia ada beberapa hadiah sastra, tetapi tidak ada gaungnya.

Namun demikian ada suatu kebanggaan kalau kita memperoleh Hadiah Nobel seperti halnya dalam pertandingan sepak bola. Jika kita menang di kandang sendiri kurang sreg, tetapi kalau memang di kandang orang lain kita merasa puas. Nobel ini semacam pertempuran juga. (Susianna)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Desember 2008

Catatan Dunia Kecil Teater

-- Silvester Petara Hurit*

RANGSANGAN kerja kreatif teater adalah persoalan dan pergulatan konkret di mana karya itu lahir. Artinya, peristiwa teater tak bisa dilepaspisahkan dari konteks real manusia dan masyarakatnya. Ia bisa merefleksikan realitas kemarin, peristiwa aktual hari ini, maupun bayangan kejadian yang bakal dihadapi di masa mendatang. Hal tersebut bisa dilihat dari kecenderungan pementasan teater dalam kurun waktu satu tahun ini.

Ruang hidup manusia terutama merangsek masuknya pelbagai peralatan dan benda elektronik yang secara fungsional menggeser peran dan kehadiran orang lain serta mengondisikan manusia pada pola kerja yang mekanik adalah fenomena yang barangkali mengkhawatirkan. An Ordinary Day karya Dario Fo dimainkan oleh kelompok teater Behindtheactor`s sutradara Asep Budiman (30-31/01/08) merekam bayangan kekhawatiran tersebut. Melalui tokoh Yulia (Evi Sri Rezeki) yang berprofesi sebagai seorang advertising, Behindtheactor`s memperlihatkan ironi hidup manusia megapolitan yang sebagian besar waktu hidupnya habis untuk sekian omong kosong kebutuhan. Untuk memproduksi dan membeli pelbagai produk yang tidak berguna. Hidup dalam iming-iming godaan, sensasi-sensasi kebutuhan yang lebih banyak mengada-ada sifatnya.

Kegelisahan yang sama diangkat oleh Mainteater dalam pertunjukan "Electronic City" karya pengarang Jerman Falk Richter di Gedung Kesenian Rumentang Siang (25-26/10/08). Pertunjukan yang disutradarai Wawan Sofwan mengetengahkan kisah romantik antara Tom (Kemal Ferdiansyah) dan Joy (Atin) di dalam jerat angka-angka dan dalam campur baur akrobatik fakta dan fiksi (dunia objektif dan tontonan). Di kota global, di zaman elektronik, manusia terperangkap dalam jebakan komunikasi digital, menjadi kaku, dan serba terukur. Dengan hidup yang bertumpu pada standaritas global di mana segala sesuatu menjadi mekanik dan massal. Terlihat sama, terasa sama. Hidup melaju, bergerak begitu cepat. Pergi datang ataupun diam seakan berimpit, tak dapat dibedakan lagi.

Kedua pertunjukan tersebut menertawakan ironi peradaban metropolitan-megapolitan sekaligus mengingatkan kita supaya waspada atau menunggu giliran. Bahwa semua peralatan itu, sebagaimanapun lengkap dan canggihnya ia, tetap "tak dapat memuaskan kehausan jiwa manusia", demikian Carl Gustav Jung. Bahkan, menciptakan keterasingan dan keterpecahan jiwa akibat kekosongan hubungan antarmanusia dalam pandangan Baudrillard.

Representasi

Realitas kemiskinan, ketidakadilan, potret wong cilik paling sering muncul dalam pertunjukan selama setahun ini. Relasi subjek-objek mengondisikan manusia pada dua kenyataan. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Hidup jadi pertarungan. Kemenangan adalah keniscayaan walau dengan konsekuensi mengorbankan orang lain. Pertunjukan "Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I" karya Arifin C. Noer yang disutradarai Fathul A. Husein (5-6/5/08) menghadirkan tokoh Sandek (Irwan Jamal) dalam sejarahnya sebagai orang yang kalah. Sejarah Sandek adalah sejarah orang sederhana dan lugu yang selalu sengsara. Tidak dipandang apalagi diakui oleh sejarah. Sebagai buruh, ia tak lebih dari angka di antara sekian angka dalam tata pembukuan perusahaan. Cuma figuran dalam pelbagai lakon atau barangkali hanya selokan yang harus dibersihkan. Sedangkan direktur umum (Yadi Mulyadi) menjelma Malin (Malin Kundang dalam legenda Minang) yang adalah manusia yang terlalu jauh berjalan. Sampai-sampai melupakan ibunya, kampung halaman, tanah air tempat ia dibesarkan dalam kemiskinan. Manusia yang terlalu percaya pada rasionalisme, pada sains, dan teknologi yang jadi ukuran kemuliaan hidup. Terserap begitu jauh, sampai-sampai melupakan keutuhan dan integritas dirinya sebagai manusia. Ia tak mengenal lagi Sandek yang adalah dirinya yang lain.

Dari sisi korban, tokoh Sandek berada pada posisi yang sejajar dengan tokoh Srintil (Opey Sophia) dalam pentas monolog "Srintil" karya/sutradara Gusjur Mahesa yang merupakan karya adaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari (7/6/08). Srintil adalah korban percaturan politik (kekuasaan). Juga sama dengan tokoh Otong (Giri Mustika) dalam pertunjukan "Sandekala" adaptasi novel Godi Suwarna, dengan judul yang sama, produksi Mainteater yang disutradarai Wawan Sofwan (23-24/5/08). Otong bangkrut usahanya karena semua harga kebutuhan melonjak. Mimpi, usaha, dan semangatnya besar, tetapi kondisi ekonomi mencekiknya hingga depresi dan gila. Sama pula dengan tokoh Adinda (Petricia Sabattani) dalam monolog "Senandung Adinda" karya/sutradara Rahman Sabur (27/10/08) yang dibunuh masa depannya oleh keterbatasan akses ekonomi dan oleh syahwat penguasa. Tak jauh beda dengan tokoh Woiseks (Yusef Muldiyana) dalam petunjukan "Woiseks" adaptasi karya pengarang Jerman Georg Buchner produksi teater Bel (14-5/11/08). Woiseks yang karena derajat kepangkatan yang rendah membuatnya hanya jadi pelayan dan bahkan objek eksperimen gila atasan-atasannya. Kebutuhan ekonomi dan kelas sosial (derajat kepangkatan) yang rendah membuat dia menelan kekalahan demi kekalahan hingga akhirnya menjadi pembunuh.

Tokoh-tokoh tersebut terempas oleh kondisi, sistem, kebijakan, serta kuasa otoritas. Nasibnya seakan merupakan keharusan hidup yang harus diterima. Sandek misalnya, pada akhirnya tak mau berharap lagi pada siapa pun. Karena semua orang juga tak mengenalnya. Seniman narsis semua, ilmuwan, agamawan sibuk dan asyik sendiri, politikus apalagi. Sebagai orang kalah, ia hanya diam. Tak ada arti lagi kata, suara, dan tangisnya. Diam, hanya itu. Sambil mengharap suara dan bahasa Tuhan. Pun halnya dengan Otong yang pada akhirnya tak tahu lagi entah apa yang harus ia lakukan selain daripada menertawakan nasib dan mimpi-mimpinya yang tak pernah dan tak akan pernah kesampaian.

Kehadiran pertunjukan lengkap dengan wajah para tokoh yang kalah tersebut merupakan refleksi wajah kita sebagai bangsa. Mayoritas rakyat kecil di satu pihak berhadapan ketidakpedulian bahkan kesewenangan elite penguasa dan pengambil keputusan di pihak yang lain. Lebih ironis bahwa seluruh tokoh pertunjukan "Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I" misalnya merupakan para penderita penyakit paru-paru akut, termasuk dokter dan perawatnya. Itulah gambaran penyakit kronis yang berurat akar menjangkiti semua komponen bangsa ini. Hal ini, walau secara terpisah, dibuat lebih terang lewat "bobrokalitas" tokoh camat dalam "Sandekala". Serta muslihat dan kepalsuan tokoh Harto dalam monolog "Spinx Triple X" karya Benny Yohanes yang dimainkan oleh aktor Pery Sandi Huizche. Harto menyebut spinx sebagai raksasa angker, leluhurnya jin kafir, ibunya gendruwo. Memberi tahu Atmudin untuk hati-hati karena spinx itu licik, licin, terampil, berubah-ubah. Bisa menjelma menjadi anjing buldog berkaki katak. Menjilati anak-anak dengan birahi, membuat mereka menyerbu kantor bank, memimpin perusahaan hanya dengan modal keterampilan menjilat-jilat. Suka latah. Membaurkan teks proklamasi dengan surat talak. Spinx juga lihai menampakkan diri lewat sosok pribumi sarungan, berblankon. Sok kultural, tetapi miskin intelektual. Gaya ini banyak diadopsi para menteri yang ingin tampil alim seperti murid pesantren. Pokoknya, spinx itu suka menghalalkan cara agar ambisinya tercapai.

Demikian kacau-balaunya, Laskar Panggung yang disutradarai Yusef Muldiyana tampil "main-main". Memerkarakan kenyataan yang sebenarnya getir tersebut lewat pelesetan-pelesetan ringan, inversi, serta akrobatik gerak dan kata. Seakan memaksa kita menertawakan kegetiran yang bertubi-tubi menyertai hidup konkret keseharian kita dalam nada pesimis-putus asa melalui pertunjukan "Republik Indungna Sial Anakna Cilaka" di Gedung Indonesia Menggugat (16/8/08).

Alam & arah pandang

Problem alam lingkungan turut mengemuka. Dua pertunjukan Payung Hitam "Airmataair" (19/5/08) dan "Perahu Noah" (16/05/08) yang disutradarai Rahman Sabur meneriakkan seruan profetis untuk menyelamatkan alam dan kehidupan sebagai ritual yang paling sejati dan mendesak. Kehancuran lingkungan alam maupun lingkungan sosial menagih kerja yang cepat dan serempak, seperti yang terlihat dalam "Perahu Noah". Di tengah haru-biru tangis diamuk bencana bah, para aktor, cekat, dan sigap bekerja. Meraih bingkai bolong, menatanya jadi layar perahu. Lalu naik dan mendayungnya. Bertolak melayari semesta kosmos, menempuh jalan kehidupan.

Menghadapi karut-marut persoalan yang ada, secara tersirat ada semacam tawaran ataupun ajakan agar menoleh ke belakang. Melihat atau belajar pada sifat-sifat alam. Seperti yang tampak pada pertunjukan "Passage" karya Phellen Philipe Baldini yang disutradarai oleh Iman Soleh (7/6/08). Butir-butir kebijaksanaan mengalir dari alam sang Ibu Agung. Supaya manusia belajar dari tubuhnya, menyifati dirinya. Hal serupa tampak dalam prosesi ritual "Perahu Noah" di mana para aktor yang berbalur lumpur berjalan perlahan dengan tubuh basah, segar oleh kucuran air dari gentong di kepala. Mengarak perempuan berambut akar yang menari diiringi lengking tembang upacara ronggeng gunung. Mula kehidupan di mana alam menjadi bagian integral dari kesadaran kehidupan dan kebertubuhan manusia diagungkan. Perempuan (dewi bumi, ibu alam), simbol kesuburan, kehidupan, menjadi pemimpin yang diarak dan dipuja-puji.

Dalam Sandekala, peristiwa masa kini sengaja dihadirkan dan berdialog dengan setting peristiwa masa lalu. Ihwal kerajaan Galuh dan putri Dyah Pitaloka dijadikan sebagai simbol ikonik kejelitaan dan keagungan kepemimpinan Sunda tempo dulu. Diah Pitaloka (Puti Puspita), dalam pertunjukan tersebut adalah tokoh hidup dan mendapat porsi kehadiran yang besar, merupakan simbol harga diri dan perlawanan terhadap kekuasaan korup Camat Suroto (Tohari Yosdollac). Pertunjukan menghadirkan figur ideal, dara muda masa kini yaitu puteri Pak Camat (Dewi Candra) sebagai simbol perlawanan, pilar kejujuran dan harapan (regenerasi). Kedua-duanya, menemui akhir yang tragis lantaran sikap, prinsip, dan keberaniannya. Kematian mereka, di hadapan wajah garang kekuasaan, justru mengobarkan kerinduan akan sosok perempuan yang dalam kosmologi Sunda dikenal sebagai ibu kehidupan, simbol pemelihara, kelembutan, dan welas asih.

"Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I", tokoh ibu tua (Retno Dwimarwati) bersusah payah sambil berteriak lirih memanggil-manggil Malin anaknya agar kembali ke pangkuannya. Mengenal dan memandang pertiwi. Mengingat asal, kampung halaman, dan identitas dirinya. Bagi sang Ibu, Malin telah terlalu jauh terjebak. Bahkan sampai mendedikasikan hal yang paling penting dari hidupnya yakni organ-organ tubuhnya seperti mata, jantung bagi omong kosong kehidupan. Panggilan ibu tua adalah panggilan untuk kembali. Melihat, merumuskan, dan membangun diri kita sebagai bangsa.

Pertunjukan-pertunjukan tersebut masih terlihat samar dan sendiri-sendiri. Belum merumpun menohokkan kebuasan dan kepal tinju bersama. Dan, masih banyak pertunjukan yang sayang sekali tidak mendapat ruang untuk disertakan. Apalagi jika harus sampai menyinggung kompleksitas persoalan serta tantangan yang dihadapi teater. Pun belum menyebut pertunjukan-pertunjukan dari luar yang bertandang ke Bandung selama 2008. Ini hanyalah catatan kecil yang sekenanya, sangat terbatas dan apa adanya. Sekadar mencicil gelisah melihat pergaulan dan pertumbuhan teater yang kian terisolasi dari pengalaman dan wacana publik serta tidak adanya isu bersama yang signifikan, yang terus digulirkan di tingkat internal (antarkelompok-kelompok teater). Sementara di pihak lain, arus budaya instan jadi kian populis dan prestisius, menghipnosis dan merebut minat serta apresiasi publik.

* Silvester Petara Hurit, Esais, pengamat seni pertunjukan.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008

Kota Bandung dan Peristiwa Seni

DIGELARNYA acara "100 Tahun Pa Daeng" oleh Serambi Piraous di Gedung Merdeka Jln. Asia-Afrika Bandung, pameran seni rupa "Window Display" karya perupa Wiyoga Nuhardanto di Selasar Sunaryo Art Space, dan pameran seni rupa "Breakthrough" di Studio Jeihan yang menampilkan karya 47 perupa Kota Bandung, merupakan tiga dari sekian kegiatan seni di bulan Desember 2008 di Kota Bandung. Digelarnya acara tersebut diharapkan bisa memberikan makna yang signifikan bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di negeri ini.

Acara 100 Tahun Pa Daeng menjadi penting direnungkan karena dalam konteks yang demikian itu, kita mengenang seorang tokoh yang telah berjasa dalam mencipta angklung modern yang tangga nadanya berasal dari Barat, yakni do-re-mi-fa-so-la-si-do. Inti dari peringatan tersebut bagi kita yang hidup dewasa ini adalah merenungkan kembali makna daya kreatif dalam berkesenian, yakni menciptakan sesuatu karya seni yang berguna bagi nusa dan bangsa. Jasa Pa Daeng dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni tidak bisa dilupakan. Oleh karena itu, tidak aneh kalau negara memberikan berbagai tanda jasa dan bintang jasa untuk Pa Daeng.

Berkait dengan hal tersebut, pada sisi yang lain, sepanjang 2008, setidaknya di Bandung digelar 30 pameran seni rupa, baik tunggal maupun bersama. Sementara untuk pertunjukan teater, termasuk monolog di dalamnya digelar 20 pertunjukan. Pertunjukan teater dan pameran seni rupa, termasuk kegiatan seni cukup sering diselenggarakan di Bandung. Sementara untuk kegiatan sastra, tercatat 23 kegiatan. Di dalamnya termasuk acara baca puisi, diskusi sastra, pembagian hadiah sastra, dan peluncuran buku karya sastra.

Data-data yang saya catat dalam laporan akhir tahun ini, berdasarkan pada hasil olah data yang dilakukan oleh Hanif Hafsari Chaeza dari Pusat Data Redaksi HU Pikiran Rakyat Bandung, yang berdasarkan pada hasil liputan dan agenda budaya di suplemen Khazanah. Sementara data lain yang saya dapat dari Disbudpar Jawa Barat, untuk kegiatan seni pertunjukan di Jawa Barat sepanjang 2008 tercatat 98 kali. Peristiwa lainnya masih pada Desember 2008, di Bogor, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Kongres Kebudayaan 2008. Lalu di Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Pemda Jakarta menggelar Jakarta International Literary Festival 2008, yang pembicaranya antara lain datang dari Jepang, Portugal, Prancis, Korea, Singapura, serta Indonesia.

**

TENTU saja kegiatan seni yang berlangsung di Bandung sepanjang 2008 bukan hanya itu. Ada juga festival film pendek, pertunjukan musik, serta kegiatan-kegiatan lainnya seperti pertunjukan tari dan pertunjukan seni tradisional lainnya. Jika kegiatan seni rupa tampak dominan, itu terjadi karena di Bandung pameran seni rupa tidak hanya diselenggarakan di kampus-kampus yang memiliki jurusan seni rupa, tetapi juga diselenggarakan berbagai galeri seni rupa. Galeri yang paling aktif menyelenggarakan kegiatan seni rupa antara lain Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), yang telah menginjak usia ke-10 tahun.

Penyair Goenawan Mohamad menyebut SSAS sebagai permata, yang kian tua kian berkilau sinarnya. Berkilau karena SSAS mempunyai peran yang cukup besar dalam menumbuhkembangkan seni rupa di Kota Bandung, baik untuk merangsang daya kreatif para perupa agar lebih bergiat lagi dalam berkarya seni, maupun dalam hal menumbuhkan daya apresiasi siswa dan mahasiswa terhadap karya seni rupa yang digelar di situ.

"SSAS ingin menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di Kota Bandung, khususnya dalam bidang seni rupa kontemporer. Berkait dengan itu, aspek apresiasi seni sebagai bagian dari dunia pendidikan mempunyai peran yang cukup penting di dalamnya," ujar perupa Sunaryo, pemilik sekaligus salah seorang pengelola SSAS dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di tempat tinggalnya, Jln. Dago Pakar Timur, Bandung.

Lepas dari soal tersebut, tampak jelas bahwa berbagai kegiatan seni yang berlangsung di Bandung selama ini lebih banyak diselenggarakan oleh swasta daripada pemerintah. Untuk kegiatan sastra, misalnya, yang bisa dikatakan berskala besar adalah Temu Sastrawan 10 Provinsi, yang baru saja digelar di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, pada November 2008. Acara ini sepenuhnya didanai Pemprov Jabar c.q. Disbudpar Jabar. Sementara untuk seni pertunjukan yang berskala bersar adalah "Temu Taman Budaya se-Indonesia", yang dananya sebagian besar konon dikucurkan dari pusat. Acara tersebut sayangnya tidak dihadiri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, sebagai tuan rumah. Saat itu, Menbudpar Jero Wacik mengkritik habis tuan rumah yang diwakili Kadisbudpar Jabar, H.I. Budhyana, M.Si.

**

KOTA Bandung sebagai etalase budaya di Jawa Barat masih memegang peranan yang cukup penting dalam hal menumbuh-kembangkan seni dan budaya di Jawa Barat. Itu terjadi karena di Kota Bandung tidak hanya ada perguruan tinggi seni, baik untuk seni tradisional maupun seni kontemporer, baik untuk jurusan musik, karawitan, teater, tari, dan seni rupa, tetapi juga karena di Bandung bermukim banyak seniman yang cukup berwibawa dalam bidangnya masing-masing, yang hingga kini masih kreatif dan produktif dalam berkarya seni.

Sayangnya, dalam kondisi yang demikian itu, pemerintah yang seharusnya bijak menanggapi berbagai persoalan yang muncul dalam dunia kesenian di Jawa Barat, sepanjang 2008, pada satu sisi seakan "tutup mata & telinga" dalam menyelesaikan persoalan keuangan yang dihadapi manajemen Gedung Kesenian (GK) Rumentang Siang, sehingga terancam bubar. Bila memasuki 2009, manajemen GK Rumentang Siang benar-benar bubar maka sejarah kesenian di Bandung mengalami masa kelam. Apa pun kelebihan dan kelemahannya, GK Rumentang Siang mempunyai peran yang cukup penting dalam hal menumbuhkembangkan kesenian di Bandung, baik untuk bidang teater, pertunjukan sastra, tari, dan seni-seni lainnya.

"Studiklub Teater Bandung (STB) yang menyejarah itu tumbuh dan besar di Bandung. Mendiang Suyatna Anirun berjasa besar dalam menumbuhkan seni teater di Bandung, yang sebagian besar diproduksi di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Bila benar-benar bubar, ini berarti sejarah buram bagi dunia kesenian kita," ujar penyair Godi Suwarna dalam percakapannya dengan penulis, dalam suatu kesempatan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jln. Baranang Siang, Bandung. Selain itu, Godi mengakui bahwa dari tangan Suyatna banyak lahir peteater-peteater dari generasi kemudian yang kini sudah malang melintang.

Berkait dengan itu, dalam memasuki 2009, para seniman berharap Pemprov Jabar lebih bersungguh-sungguh dalam membangun kesenian di Bandung. Dalam bidang seni rupa, misalnya, begitu banyak seniman yang mengharapkan Pemprov Jabar maupun Pemkot Bandung mendirikan museum seni rupa berskala internasional. Apa sebab? Karena Kota Bandung dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni rupa kontemporer memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Hal itu antara lain dengan berdirinya sekolah seni rupa di ITB, yang dalam perjalanannya kini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Bandung.

"Seharusnya di Bandung ada museum seni rupa, apalagi Kota Bandung diposisikan sebagai gerbang pariwisata Jawa Barat," ujar Biranul Anas, Dekan FSRD ITB dalam sebuah kesempatan. Untungnya dalam situasi yang demikian itu di Bandung ada perupa yang murah hati, yang mendirikan museum seni rupa kecil-kecilan, apa pun namanya, meski yang dikoleksi di museum tersebut adalah karya pribadi mereka. Selain SSAS, ada Museum Barli, Studio Jeihan, Serambi Pirous, Museum Patung Nyoman Nuarta, dan beberapa tempat lainnya. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008

Bandung, Sastra, dan Perayaan

BAIK lupakan Komunitas Utan Kayu (KUK) dan newsletter Boemi Poetra dengan "perang" politik sastra mereka; begitu juga Sutarji Calzoem Bachri yang bersedia menerima Bakrie Award 2008 dengan tanggapan pro-kontra yang menyertainya; atau kumpulan "Jantung Lebah Ratu" karya Nirwan Dewanto dan novel Ayu Utami "Bilangan Fu" yang memenangi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008, atau Anugerah Pena Kencana yang untuk tahun ini hanya memilih enam puluh Puisi Indonesia Terbaik karena alasan kualitas yang dianggap menurun; juga pembentukan Asosiasi Sastra Indonesia (ASI) di Jambi dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia 7-11 Juli 2008, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) III di Lembang Jawa Barat 4-6 November 2008, juga Jakarta International Literary Festival (JILFest) di Jakarta 11-13 Desember 2008 yang mencoba memeriksa kembali politik jaringan sastra Indonesia ke dunia internasional; Sayembara Novel DKJ 2008 yang hanya menghasilkan satu pemenang.

Tentu saja semua itu sangat penting untuk membaca perkembangan sastra Indonesia di tahun 2008. Tapi, membaca perkembangan sastra Indonesia di Bandung dan di Jawa Barat sepanjang tahun 2008 adalah hal yang juga tak kalah pentingnya. Dan ini bukan melulu karena keniscayaan bahwa dinamika sastra di Bandung dan Jawa Barat merupakan bagian dari perkembangan sastra Indonesia. Melainkan juga bersebab pada dinamika yang berlangsung di Bandung dan Jawa Barat itu sendiri. Dinamika yang sayup-sayup mengisyaratkan adanya sesuatu yang hilang di dalamnya. Sesuatu yang hilang itu bukanlah semangat atau produktivitas.

Seperti tahun 2007, pertumbuhan sastra di Bandung berlangsung dalam semangat dan produktivitas yang menggembirakan dan menjanjikan berbagai harapan. Baik semangat dalam merancang atau menyelenggarakan acara-acara sastra, terutama launching atau peluncuran buku yang ditandai dengan pembacaan karya, hingga produktivitas dalam berkarya.

Dalam produktivitas berkarya, misalnya, paling tidak, dalam sepekan e-mail suplemen Khazanah menerima tiga hingga lima file naskah, puisi atau cerpen, yang umumnya berasal dari Bandung dan Jawa Barat. Satu file naskah, terutama puisi, selalu berisi lebih dari sepuluh karya. Dan tak jarang dalam waktu yang tak lama nama yang sama akan mengirimkan beberapa karyanya yang terbaru. Semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya juga tampak dalam sayembara penulisan puisi se-Jawa Barat yang diadakan Disbudpar Jabar Oktober 2008 yang menerima 1.150 puisi.

**

TENTU saja ini menggembirakan, terlebih lagi, di samping nama-nama seperti Jafar Fakhrurozi, Sang Denai, Heri Maja Kelana, Ahmad Faisal Imron, Widzar Al-Ghifari, Semmy Ikra Anggara, Dian Handiana, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Dian Hartati, Yopi Setia Umbara; mereka kebanyakan adalah wajah-wajah baru. Dan dari keseluruhan itulah terasa betapa semangat dan produktivitas berkarya menjadi kekuatan mereka, tapi sekaligus inilah yang menjadi kelemahannya. Semangat mereka menulis terasa tidak dibarengi dengan semangat dalam sebuah ruang proses kreatif yang ketat; kesabaran dalam mengolah bentuk pengucapan atau kegelisahan dalam mengeksplorasi tema.

Tak sedikit puisi dan cerpen yang terkesan ditulis sekali jadi, mrucut begitu saja, hambar dan sekali membaca jelas masalahnya. Begitu pula yang hadir dengan bentuk-bentuk ungkapan yang "meliar-liarkan" imajinasi namun lebih sering kehilangan fokus sehingga tak jelas juntrungannya. Belum lagi keseragaman pola dan style pengucapan atau bangun suasana yang banyak ditemukan dalam puisi. Entahlah, sampai sejauh mana kiranya ruang proses kreatif semacam ini bisa dicurigai sebagai pengaruh tak langsung dari revolusi teknologi informasi yang menyediakan berbagai ruang kehadiran, seperti blog, dengan kemudahan dan kebebasannya dalam memproduksi teks. Tentu saja bukan berarti puisi dalam blog-blog itu berarti seluruhnya buruk.

Seraya memaklumi begitulah pencapaian para pendatang baru, namun satu hal yang jelas, terutama dalam konteks kepenyairan, dibandingkan dengan Lampung, Yogyakarta, dan Bali; Bandung atau Jawa Barat belum pernah mengalami generasi kepenyairan yang berjalan lamban seperti sekarang. Ironisnya, itu terjadi di tengah semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya yang menggebu-gebu dengan berbagai acara peluncuran buku dan keramaian pembacaan puisi.

Satu hal yang amat terasa di Bandung sepanjang 2008 ini adalah bagaimana sastra terkesan hanya jadi perayaan. Sebuah buku diluncurkan dan dirayakan dengan seremonial pembacaan karya secara bergantian oleh kawan-kawan yang sekaligus jadi penontonnya, lalu semuanya berhenti sampai di situ. Sastra akhirnya bukan lagi menjadi pergaulan teks, melainkan hanya menjadi sebuah pergaulan di tengah kerumunan yang tak pernah memperbincangkan teks.

Namun demikian tidaklah berarti bahwa tak ada perkembangan yang tak layak untuk dicatat selama 2008 ini. Dalam puisi, sejumlah karya dari generasi terbaru tampak mulai memperlihatkan perkembangan yang menarik, sebutlah, Faisal Syahreza, Ginanjar Rahardian, Langgeng Prima Anggradinata. Beberapa karya mereka mulai memperlihatkan upaya dan pergulatan keras dalam melakukan penjelajahan bentuk, meski memang di sana-sini masih terasa belum adanya pendalaman dan fokus tematik yang serba canggung serta belum mampu lepas dari keseragaman style ungkap. Sedangkan dalam cerpen, belum tampak adanya karya generasi baru yang potensial untuk melapis generasi Fina Sato dan Dian Hartati.

Mengeluarkan sastra dari sekadar jadi perayaan dan kerumunan untuk menjadikan atau mengembalikannya sebagai sebuah pergaulan teks dalam ruang perbincangan, inilah agaknya yang mesti segera dilakukan oleh berbagai komunitas sastra di Bandung. Ruang perbincangan inilah yang diandaikan bisa menjadi bagian dari proses kreatif, baik untuk mengasah teknik penulisan, apresiasi, wawasan, atau pun jalan kepenyairan. Sejumlah komunitas seperti Genk Menulis Mnemonic, Asas, Forum Lingkar Pena (FLP), dan beberapa komunitas lainnya tentu menyadari hal ini bahkan telah melakukannya. Hanya, soalnya sampai di mana kemudian efektivitasnya dan bagaimana seluruh itu dikelola. Kehadiran Majelis Sastra Bandung yang hendak mengandaikan dirinya sebagai wadah bagi ruang perbincangan sastra, tentu saja penting dan menarik sepanjang ia tidak kemudian juga terjebak menjadikan sastra sekadar perayaan dan kerumunan. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008