-- Julius Pour
TAHUN 2009 merupakan tahun terakhir masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seandainya dia nanti kalah dalam pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pertengahan tahun depan. Sayang, sejarah tidak pernah mengenal suku kata seandainya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Dengan demikian, menjelang masa-masa paling menentukan selama puncak karier SBY, begitu dia biasa disapa, jauh lebih baik melihat bagaimana pola pikir kepala negara asal Pacitan itu. Pensiunan jenderal berbintang empat, putra tunggal seorang perwira militer yang lahir di pelosok daerah tandus Jawa Timur.
”... seorang pemimpin yang kuat dan memiliki tekad kokoh. Saat Indonesia beralih dari sistim pemerintahan otoriter menjadi republik yang demokratis, kepemimpinannya yang berdiri di atas prinsip selalu tampak jelas. Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi bangsa multi-etnis dan multi-relegi, kita memerlukan sosoknya yang tenang namun tetap terfokus di tengah-tengah kancah politik. Banyak fihak mengkritiknya sebagai sosok yang terlalu berhati-hati…” (hal 308).
Yenny Wahid, lewat koran The Straits Time terbitan Singapura, langsung menjawab pertanyaan tadi, ”… saya berpendapat, Dr Yudhoyono dan para anggota kabinetnya menggunakan kekuasaan dan kewenangan dengan tegas dan berprinsip. Dalam suatu negara dengan penduduk lebih dari 230 juta jiwa, tidak perlu kita menghabiskan tenaga untuk mencoba menyelesaikan setiap tantangan. Isu dan target harus diidentifikasikan dan ditangani dengan cara-cara terkoordinasi.”
Reformasi birokrasi
Komentar tersebut ditulis Yenny dua tahun lalu dengan judul ”Yudhoyono, Pria Penuh Keberanian”. Apakah sampai sekarang dia masih memberi penilaian seperti itu, saya tidak tahu. Namun, dari sudut pandang lain, wartawan asal Norwegia, Finn Holmer-Hoven, melukiskan, ”SBY berkeinginan untuk memainkan peran aktif dalam membangun rekonsiliasi antara negara-negara Islam dan dunia Barat. Dia telah menerapkan reformasi birokratis di tanah airnya dan mendeklarasikan perang melawan korupsi di negara terkorup di dunia…” (hal 294).
Sebutan ”negara paling korup” mungkin predikat yang bisa kita perdebatkan panjang lebar, tanpa jaminan akan menyelesaikan persoalan. Maka, sangat mengejutkan bahwa dalam kondisi semacam itu, Finn juga menunjukkan bahwa SBY ”... telah menerapkan reformasi demokratis sekaligus mendeklarasikan perang melawan korupsi.”
Korupsi dan upaya pemberantasannya sejak beberapa bulan lalu telah tampil sebagai berita utama dalam berbagai media. Terkait dengan kenyataan tersebut, SBY secara langsung sudah pernah mengeluarkan pernyataan, ”Saya harus jujur mengatakan bahwa korupsi bukan hanya sebuah masalah, melainkan merupakan ancaman terbesar kepada demokrasi. Saya menyadari barangkali akan memakan waktu selama 10-15 tahun untuk memberantasnya. Kendati demikian, kami harus tetap selalu melakukan pembersihan, dan hal itu telah kami mulai…” (hal 300).
Preventif
Menurut SBY, strategi yang akan dia lakukan terdiri dari beberapa langkah. Namun, dalam pilihan tindakan semacam itu, langkah preventif tetap merupakan kebijakan terpenting. Meski akibat pilihan termaksud, ”… akan terjadi dampak preventif bahwa 65 pegawai negeri sipil, gubernur, wali kota, dan anggota parlemen kini sedang diperiksa atas tuduhan korupsi. Setidak-tidaknya upaya awal semacam ini telah mengirim sebuah sinyal dan tampaknya mulai berhasil…” (hal 300).
Pada kesempatan wawancara dengan Finn Holmer Hoven di Jakarta, awal April 2006, SBY terus terang menyatakan, ”… korupsi juga terkait dengan kesejahteraan pegawai negeri itu sendiri. Gaji yang rendah harus bisa ditingkatkan sebagai langkah preventif.” Selain itu, SBY memberikan suatu pernyataan melegakan, ”Akhirnya, peran melawan korupsi merupakan tanggung jawab pimpinan dan tanggung jawab tersebut saya terima, dengan pembentukan kerangka kerja yang diperlukan untuk proses termaksud….”
Membaca buku Indonesia Unggul, kumpulan pemikiran dan tulisan pilihan oleh Presiden Republik Indonesia, kita akan bisa semakin memahami sikap berikut pandangan SBY dalam menghadapi berbagai macam isu serta pilihan langkahnya dalam mengatasi beragam persoalan selama masa bakti kepemimpinannya sebagai kepala negara.
SBY menjelaskan, ”… saat hak rakyat Indonesia pada pemilihan umum presiden langsung yang pertama pada tahun 2004, rakyat membuka bab baru dalam kehidupan bernegara kita, yang secara efektif menegaskan bahwa kita telah mencapai titik baru dalam transisi demokratis. Namun, di tengah harapan dan kegembiraan ini, kita sama sekali tidak menyangka akan menghadapi tahun tersedih dan menantang dalam sejarah negara, yakni tsunami dan berbagai bencana alam yang seakan tiada berhenti. Tahun kedua juga dipenuhi berbagai cobaan, walaupun pada skala lebih kecil.”
Berutang
Di kondisi terpuruk pada dua tahun awal masa jabatannya tersebut, SBY dengan plastis mengungkapkannya lewat kata pengantar buku, ”Namun, rakyat Indonesia tetap teguh dalam menjalankan perubahan ke arah yang lebih baik. Saat saya bertemu mereka dalam berbagai kunjungan ke berbagai kota dan pedesaan di seluruh Indonesia, rakyat dari segala latar belakang kehidupan selalu berkata; jangan menyerah, tetaplah pada tujuan, kita akan berhasil, kita dapat mengatasinya…” (hal iii).
Pengalaman berikut kenyataan yang harus dia hadapi, mendorong SBY sampai kepada kesimpulan, ”… keyakinan mereka terhadap demokrasi dan reformasi, serta harapan untuk memperbaiki Indonesia, adalah dorongan bagi saya untuk terus berupaya memenuhi semua janji kampanye—yaitu memperkuat demokrasi dan penegakan hukum, memajukan kemakmuran, mempromosikan pemerintahan yang baik, menjaga keamanan, mengurangi korupsi, menyelesaikan konflik, dan mengangkat kedudukan kita di dunia internasional….”
Lebih lanjut SBY dengan sikap tulus serta rendah hati kemudian menegaskan, ”… bahkan saya berutang kepada rakyat Indonesia, yang merupakan saudara sekaligus mitra pembangunan bangsa, yang selalu menyuarakan hati nurani saya” (hal iv).
Tahu diri
Membaca pengakuan SBY bahwa dia berutang kepada rakyat Indonesia, saya langsung teringat kepada buku terakhir karya Jenderal TB Simatupang, terbit dalam tajuk Saya Orang ber-Utang. Almarhum adalah seorang jenderal sekaligus pemikir ulung yang pernah dimiliki Tentara Nasional Indonesia dalam tahun-tahun awal pembentukan bangsa dan proklamasi kemerdekaan negara kita.
Tidak semua orang ingat kepada janji-janji SBY selama masa kampanyenya untuk merebut posisi Presiden Indonesia. Posisi yang dia sebutkan, ”… kantor politik tertinggi di kepulauan yang luas ini. Jabatan ini juga mengemban tanggung jawab sangat besar, yang akan ikut mengarahkan perjalanan sejarah Indonesia.”
Saya sendiri tidak ingat janji-janji SBY.
Begitu juga puluhan juta rakyat yang tinggal nun jauh di puncak pegunungan atau di balik lautan, di penjuru Nusantara. Mereka yang mungkin sampai sekarang belum semuanya memiliki akses untuk bisa melakukan komunikasi secara memadai.
”Saya berutang,” kata SBY dengan tulus tanpa ada yang meminta. Dia ucapkan bukan karena desakan para wakil rakyat, yang dalam transisi menuju kehidupan demokratis pada dewasa ini, selalu bersikap dan bersuara sangat garang.
Tidak pernah ada yang memaksa SBY.
Tetapi, justru pengakuan dari lubuk hatinya tersebut telah bisa menunjukkan bahwa dia adalah sedikit di antara pemimpin bangsa dan negara kita yang tahu diri.
Modal dasar utama bagi seorang ksatria.
Sosok ideal untuk seorang prajurit TNI. Sosok yang oleh sebuah kalimat bersayap dalam budaya kita memang selalu diingatkan, ”tahu kapan harus maju untuk memikul tanggung jawab, tahu kapan harus mundur sekaligus memikul tanggung jawab, jika waktu yang disediakan telah bisa diselesaikan.” (Julius Pour, Wartawan dan Penulis Buku)
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Desember 2008
No comments:
Post a Comment