Monday, June 02, 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati

-- Rikard Bagun

TAK terbayang, Kebangkitan Nasional dapat berlangsung di dunia hampa, tanpa roh. Hanyalah ilusi dan sia-sia jika kebangkitan tidak dimulai dengan penguatan ideologi sebagai élan vital.

Kebangkitan mesti dimulai dari dasar, dari tatanan nilai yang menjadi infrastruktur eksistensi bangsa dan negara, bukan dari retorika murahan pada level suprastruktur yang hanya melahirkan kesadaran palsu. Itulah keniscayaan.

Namun, dalam kenyataannya, Pancasila sebagai tatanan nilai dasar berbangsa dan bernegara dibiarkan telantar dan merana. Jangankan dibangkitkan, dibicarakan pun terkesan ogah-ogahan. Bahkan muncul sinisme dan ketawaan. Padahal di tengah olengan arus perubahan yang sedang menerjang keras, peran Pancasila justru kian vital dan strategis sebagai pusat orientasi, acuan, dan pegangan bersama.

Ironisnya lagi, wacana tentang Pancasila tersingkir jauh ke pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung yang telah dibajak oleh petualang politik yang hidup dari oportunitas, tanpa visi berjangkauan jauh ke depan.

Gambaran suram itu antara lain terlihat jelas pada peringatan kelahiran Pancasila, 1 Juni, hari Minggu kemarin dan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, yang berlalu tanpa banyak berkesan, tidak sampai menghadirkan momentum yang menggetarkan jiwa raga untuk menggerakkan perubahan dan perbaikan.

Pasungan waktu

Pancasila benar-benar sedang dalam pasungan waktu yang menyesakkan, dan merana dalam lakon kehidupan yang kerdil dan sempit. Tanpa harus menghujat waktu dan tabiat seperti diteriakkan Cicero, O tempora, o mores, justru sangat diperlukan upaya revitalisasi, renaisans, dan transformasi atas nilai-nilai yang dirumuskan pada Pancasila.

Namun, apa daya, lagi-lagi kegairahan membicarakan Pancasila sebagai sistem nilai yang mempunyai fungsi integratif bagi bangsa Indonesia yang bhinneka terasa melemah dalam jiwa-jiwa manusia Indonesia yang kerdil dan gersang.

Semakin sulit ditemukan tokoh yang mampu berbicara di atas nama semua kepentingan golongan, dan dapat memberi kawalan terhadap konstitusi, the guardian of the constitution. Lebih banyak elite justru berakrobat dengan pragmatisme, mudah terombang-ambing oleh permainan waktu demi kepentingan diri, kelompok, dan aliran.

Sebagai dampaknya, penguatan penghayatan dan pengamalan Pancasila cenderung kedodoran. Semakin timbul kegamangan, bahkan kehampaan yang mendalam, the existential vacuum.

Lebih mencemaskan lagi jika ke ruang hampa itu bertiup ideologi lain yang akan cepat menjadi amukan badai yang dapat memorakporandakan Pancasila sebagai bangunan dasar rumah bersama Indonesia.

Jika Pancasila ditinggalkan, dicampakkan, dasar keberadaan negara dan bangsa Indonesia pun otomatis selesai. Posisi Pancasila sebagai dasar negara sangat vital dalam pengertian ideologis ataupun sebagai kontrak sosial (John Locke, Jacques Rousseou) dan ramuan kehendak bersama (Ernest Renan).

Sadar atau tidak, kontrak sosial dan kehendak bersama itu senantiasa rawan terhadap bahaya internal berupa sektarianisme dan pengotakan. Sikap saling percaya surut, sementara sikap saling curiga dan takut menguat. Kelompok minoritas curiga, cemas, dan takut kepada mayoritas. Begitu juga kelompok mayoritas curiga, cemas, dan takut kepada minoritas. Jika psikologi ini dibiarkan, akan muncul perasaan, ”bersama kita tersiksa”.

Kondisi itu diperburuk pula oleh fenomena kekerasan, termasuk yang bersifat horizontal. Tidak jelas kawan atau lawan, saudara sebangsa atau bukan. Pendeknya, semua melawan semua, bellum omnium contra omnes. Itulah tanda datangnya zaman edan, kalabendu.

Apa kata dunia atas obral kekerasan itu? Dunia, terutama tetangga, tidak hanya berkata-kata, juga memanfaatkannya dalam persaingan industri wisata dengan mendiskreditkan Indonesia sebagai negara tidak aman untuk dikunjungi pelancong.

Tentu saja, sebagai roh dan jiwa kebersamaan, Pancasila merupakan harga mati, tidak dapat ditawar-tawar, karena telah diletakkan pada inti terdalam dari keberadaan negara dan bangsa.

Sekalipun harga mati, Pancasila bukanlah harta mati. Tidak perlu disakralkan atau dimitoskan karena Pancasila merupakan ideologi terbuka dan dinamis. Proses adaptasi selalu diperlukan di tengah impitan dan kepungan fundamentalisme pasar dan radikalisme yang bersifat sektarian.

Fungsi adaptasi perlu diperkuat fungsi sinergi dalam program konkret dan terukur untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi agar tidak sampai terjadi ”bersama kita tersiksa”.

Makna Pancasila akan hambar jika tidak membawa kesejahteraan, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat keadilan.

Tamatnya ideologi?

Kewibawaan Pancasila sebagai ideologi tidak boleh dilecehkan. Makna dan pengaruh kekuatan ideologi tidak boleh dianggap enteng. Banyak negara besar melesat naik, tetapi kemudian ambruk, the rise and fall of the great powers (Paul Kennedy), antara lain karena basis keberadaannya lapuk.

Betapa pentingnya ideologi sampai-sampai menggiring dunia ke dalam konflik besar pada tingkat global. Perang Dingin, menyusul usainya Perang Dunia II sampai awal dasawarsa 1990-an, lebih menjelaskan pentingnya ideologi.

Pernyataan cerdik cendekia seperti Daniel Bell tahun 1950-an tentang tamatnya ideologi, the end of ideology, lebih bersifat provokatif ketimbang menjelaskan realitas. Setelah pernyataan itu dikeluarkan, persoalan ideologi masih terus berlangsung sampai saat ini.

Juga pandangan Francis Fukuyama soal tamatnya sejarah, the end of history and the last man, lebih banyak menimbulkan kontroversi ketimbang menjelaskan dialektika perkembangan sejarah. Sistem demokrasi liberal diyakini sebagai ujung perkembangan sejarah, tetapi dalam kenyataannya, dialektika perubahan tidak pernah berhenti.

Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2008

No comments: