HUJAN baru saja reda. Sehingga acara Pembacaan dan Musikalisasi Puisi Abdul Hadi: Kado untuk Maestro berjalan lancar yang digelar di halaman kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu.
Malam itu merupakan hari kedua acara Tapak Budaya Paramadina: Tiga Hari Bersama Prof Dr Abdul Hadi WM, menjelang pengukuhan penyair Dr.Abdul Hadi Wiji Muthari sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, pekan lalu.
Sejumlah penyair membacakan puisi-puisi karya Abdul Hadi yaitu Sutardji Calzoum Bahri membacakan puisi Sarangan dan Tanya, Slamet Sukirnanto.membacakan puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat, Diah Hadaning memilih puisi Surat Atas Hidup. Kemudian tampil beberapa penyair lainnya seperti Leon Agusta, Wowok Hesti Prabowo, Adri Darmadji Woko, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D Rahman, Endang Supriadi, dan Wanda Leopolda. Tak ketinggalan cerpenis Hamsad Rangkuti setelah membaca puisi Abdul Hadi juga membaca cerpen sendiri Ayahku Seorang Guru Mengaji.
Pembacaan puisi diawali Ayusha Ayutthaya - putri bungsu Abdul Hadi yang membacakan puisi ayahnya Akhirnya Kita Bertemu Lagi terjemahan dalam bahasa Mandarin.
Acara malam itu diisi dengan orasi budaya Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Kebudayaan Indonesia oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.
Sehari sebelumnya diselenggarakan diskusi kebudayaan menampilkan pembicara Sukron Kamil mengusung topik Sastra Islam Dalam Perspektif Abdul Hadi WM. Sementara Sutedjo mengetengahkan masalah Menimbang Paradigma Sastra Profetik Abdul Hadi Dalam Pembelajaran Sastra, dan Ahmadun Yosi Herfanda mengemukakan isu Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Sastra Indonesia.
Abdul Hadi, kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946, menerbitkan 12 antoloji puisi, di antaranya Arjuna in Meditation bersama Darmanto Jt dan Sutardji Calzoum Bachri, dan antoloji puisi dalam bahasa Inggris (At Last We Meet Again). Sejumlah puisi Abdul Hadi diterjemahkan dalam 14 bahasa yaitu Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Mandarin, Thailand, Spanyol,Urdu, Arab, Rusia, Korea, Bengali dan Turki.
Penerima berbagai penghargaan dalam dan luar negeri ini juga menulis sebanyak 7 buah buku fiksi, beberapa kajian sastra dunia dan terjemahan karya, serta lebih dari 500 artikel, esai, dan karangan ilmiah di berbagai media tentang sastra Indonesia, sastra dunia, kebudayaan, dan falsafah. Lebih dari 35 tahun ia menggeluti kesusasteraan, sufisme dan khazanah intelektual nusantara.
Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan mantan redaktur berbagai media cetak ini meraih gelar MA dan Ph.D di Universitas Sains Malaysia (1992-1996). Beberapa tahun sebelumnya kakek dari 3 cucu dan ayah dari 3 putri ini menimba ilmu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Fakultas Sastra (1964-1967) dan Fakultas Filsafat (1968-1971).
Pengukuhan sebagai Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Abdul Hadi WM menyampaikan orasi bertajuk Paradoks Globalisasi : Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita dalam sidang terbuka Senat Universitas Paramadina, dihadiri sejumlah undangan, di Auditorium Nurcholish Madjid, Rabu lalu. Dengan pengukuhan Abdul Hadi, perguruan tinggi yang didirikan oleh Prof. Dr.Nurcholish Madjid (almarhum) ini memiliki tiga orang Guru Besar.
Dalam orasinya Abdul Hadi mengemukakan, bidang yang ditekuninya adalah sejarah falsafah dan kesusastraan. Namun disiplim ilmu seperti ini tidak dituntut sekadar sistematis dalam menelaah sesuatu. Tetapi lebih dituntut. sifat reflektif.
Menurut Abdul Hadi bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif sesuatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Tanpa bahasa, manusia tidak akan berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Karena, tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa.
Berbicara kebudayaan dalam pengertiannya bersifat memelihara, baik kebersamaan maupun kebebasan individu yang terkendali. Kebersamaan ada jika ada solidaritas atau apa yang disebut gotong royong oleh Bung Karno dan koletivisme oleh Bung Hatta. Kebersamaan membuat hidup menyenangkan.
Selain itu kebudayaan dapat memulihkan kesatuan apabila masyarakat terancam perpecahan. Kebudayaan juga mengembalikan apa yang sering hilang pada manusia, yaitu cinta dan rasa persaudaraan dengan sesamanya. Karena, tujuan kebudayaan ialah menciptakan kesatuan dan kebersamaan maka yang menjadi ancaman utama bagi kebudayaan ialah politik praktis dan anarkis.
Kebudayaan dimaksudkan untuk mengangkat martabat atau harkat manusia sebagai makhluk spritual. Simbol dan tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan dan kreativitasnya. Kebudayaan yang sejati adalah milik bersama anggota sebuah komunitas yang disebut bangsa atau etnik. Karena itu, kebudayaan selalu dikaitkan dengan komunitas. Dan kebudayaan tidak pernah dikaitkan dengan orang seorang atau suatu kelompok kecil manusia, seperti kelompok aliran keagamaan tertentu. (Susianna)
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Juni 2008
No comments:
Post a Comment