-- Lugiena Dé*
DALAM buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 yang ditulis Mikihiro Moriyama, dikemukakan bahwa kebijakan pembakuan bahasa Sunda dialek Bandung sebagai bahasa Sunda standar di wilayah Karesidenan Jawa Barat, mulai ditetapkan pemerintah kolonial sejak tahun 1872. Selanjutnya bahasa Sunda standar ini diterapkan dalam lingkungan pemerintahan kaum menak pribumi. Selain dalam lingkungan pemerintahan, bahasa Sunda standar ini juga diajarkan di sekolah-sekolah.
Pembakuan ini merupakan tindak lanjut dari "penemuan kembali" bahasa Sunda pada tahun 1841. Sebelumnya, banyak peneliti Belanda paling menonjol adalah adanya undak-usuk basa. Apakah pemerintah dan para sarjana kolonial waktu itu salah perkiraan? Atau memang sebetulnya mereka memanipulasi data perbandingan bahasa?
Perkiraan yang lebih tepat, tampaknya penetapan dialek Bandung sebagai bahasa Sunda standar disebabkan fungsi lokasinya sebagai ibu kota pemerintahan. Artinya, sangat dimungkinkan demi terciptanya efisiensi mobilitas birokrasi secara vertikal. Karena bahasa Sunda dialek Bandung dianggap cocok untuk meneruskan sistem feodalisme, yang sebelumnya sudah dijajaki Mataram. Namun, ternyata kebijakan pembakuan tersebut juga melahirkan efek negatif yang masih ada sampai sekarang.
Efek pertama, adanya dikotomi hierarkis bahasa Sunda lulugu-wewengkon. Ditilik secara harfiah, kata "lulugu" mempunyai arti yang terpenting atau yang paling utama (Danadibrata, 417:2006). Dengan penambahan keterangan "lulugu" tersebut, kedudukan varian-varian dialek bahasa Sunda yang sebelumnya egaliter (sejajar), berubah posisi menjadi hierarkis. Sebab, bahasa Sunda dialek Bandung yang sebetulnya hanya merupakan salah satu varian dalam bahasa Sunda, dijadikan lulugu dan patokan bagi bahasa Sunda wewengkon, dan posisinya dianggap lebih tinggi.
Efek kedua, karena bahasa Sunda terdikotomi secara herarkis, muncul gejala inferior di kalangan penutur bahasa wewengkon. Hal ini sering tercermin dari sikap urang Sunda yang berasal dari wewengkon yang cukup jauh dengan Bandung, seperti Banten atau wewengkon pantura. Mereka sering kali merendah manakala berkomunikasi dengan penutur bahasa Sunda lulugu. Pun dengan sikap urang Sunda lulugu sendiri yang sering menertawakan, atau bahkan mengolok-olok para penutur bahasa wewengkon. Kiranya hal itu memang merupakan akibat dari persepsi zaman feodal yang masih berakar sampai sekarang: bahwa bahasa Sunda lulugu adalah satu-satunya bahasa Sunda yang baik dan benar.
Efek ketiga, terjadi kesalahan persepsi di masyarakat. Mungkin karena bahasa Sunda lulugu -dalam hal ini bahasa Sunda dialek Bandung- masih termasuk pada varian bahasa Sunda Priangan, ada anggapan bahwa yang dimaksud bahasa Sunda lulugu adalah bahasa Sunda Priangan. Karena memang bahasa Sunda dialek Bandung relatif sama dengan bahasa Sunda di daerah priangan lainnya, seperti Cianjur, Garut, Sumedang, atau Tasikmalaya. Padahal, pada hakikatnya bahasa Sunda tiap daerah selalu mempunyai keunikan dan kekhasannya sendiri.
Jauh sebelum lahir dikotomi lulugu-wewengkon, di Tatar Sunda juga pernah terdapat dikotomi bahasa Jawa-Sunda. Dikotomi tersebut merupakan efek dari hegemoni bahasa Jawa terhadap bahasa Sunda, akibat politik ekspansif Mataram terhadap Tatar Sunda. Waktu itu bahasa Jawa merasuk ke dalam kehidupan urang Sunda, terutama di kalangan menak, hingga tercipta stigma bahwa bahasa Sunda adalah bahasa kaum rendahan. Sedangkan bahasa Jawa adalah bahasa yang tinggi derajatnya, karena digunakan oleh kalangan berkelas serta elite penguasa. Sudah barang tentu, dari hegemoni bahasa Jawa ini pun timbul efek inferioritas bagi penutur bahasa Sunda.
Salah satu sisa dari hegemoni bahasa Jawa adalah undak-usuk basa, yang sampai sekarang masih menjadi bagian integral dari bahasa Sunda Priangan. Undak-usuk basa adalah salah satu perangkat bahasa, yang pada hakikatnya hanyalah rekayasa kultural, karena didasarkan atas tingkatan kelas sosial.
Bahasa nasional
Hegemoni bahasa, oleh bahasa apa pun dan dalam bentuk apa pun, selalu menyisakan efek negatif, terutama gejala inferior di kalangan penuturnya. Karena pada dasarnya, hegemoni bahasa tak lain dari dominasi bahasa. Fenomena di atas hanyalah sekelumit permasalahan mengenai hegemoni bahasa yang pernah terjadi dalam bahasa Sunda.
Sekarang pun pada hakikatnya bahasa Sunda masih terhegemoni oleh bahasa nasional (baca: Indonesia). Meskipun pemerintah menghormati dan memelihara bahasa daerah, seperti yang tertera dalam UUD pasal 32 ayat kedua, namun ruang napas yang diberikan terhadap bahasa Sunda masih teramat sempit. Bahasa nasional sudah demikian jauh merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan urang Sunda, hingga peran bahasa Sunda sebagai bahasa ibu semakin terpinggirkan. Tak heran jika sekarang gejala inferior pun mulai terlihat di sebagian urang Sunda. Banyak urang Sunda yang merasa malu berbicara dalam bahasa ibunya sendiri.
Kiranya, kunci pertama untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan mengubah regulasi, agar lebih berpihak kepada bahasa dan budaya lokal. Perubahan regulasi tersebut terutama yang menyangkut media komunikasi penyiaran serta pendidikan. Karena kedua bidang itulah yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat.
* Lugiena Dé, Pengarang Sunda. Mahasiswa Jurusan Basa Sunda UPI
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Juni 2008
No comments:
Post a Comment