Jakarta, Kompas - Persatuan bangsa Indonesia saat ini bukanlah pemberian yang jatuh begitu saja dari langit. Kesatuan bangsa yang plural dan multikultur ini dapat pecah sewaktu-waktu jika para pemimpinnya tidak memiliki pandangan jauh ke depan dan hanya memanfaatkan bangsa untuk kepentingan pribadi.
Pendiri Maarif Institute, Jeffrie Geovannie (kiri) dan Syafii Maarif (kanan), bersama dengan penerima penghargaan dalam malam penganugerahan Maarif Award 2008 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (3/6). Para penerima penganugerahan, yakni Ahmad Tafsir (kedua dari kiri), Cicilia Yulia Hendayani, dan Hasanain Djuaini, adalah aktivis dan pemimpin lokal yang memelopori dan berkiprah dalam proses perubahan sosial pada tingkat masyarakat akar rumput. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Hal itu diungkapkan pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif, dalam Malam Penganugerahan Maarif Award 2008 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (3/6) malam. Hanya kepedulian para pemimpin bangsa akan nasib dan tujuan bangsanya yang akan menyelamatkan bangsa hingga akhir zaman.
Namun, saat ini yang terjadi justru jauh dari harapan itu. Para pemimpin justru sibuk menjual bangsa untuk keuntungan diri dan abai dengan kondisi bangsa sesungguhnya. Para pemimpin masih bermental budak dan bertindak demi kepentingan bangsa lain. Hati nurani mereka juga telah mati melihat berbagai keterpurukan bangsa.
”Parahnya, pragmatisme konyol yang menggerogoti kedaulatan bangsa ini terus-menerus diulang oleh para pemimpin bangsa,” kata Syafii.
Sikap pemimpin ini tidak terlepas dari kemunculan mereka secara mendadak, tanpa kaderisasi berkualitas, sebagai buah keterbukaan dari proses reformasi. Hal ini dapat diatasi jika para pemimpin bangsa kembali mempelajari dan melaksanakan semangat Soekarno dan Muhammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kehadiran para pemimpin lokal yang mau dan mampu mencerdaskan masyarakat sekitarnya memberikan harapan adanya calon pemimpin bangsa yang peduli serta tumbuh berkembang di tengah masyarakatnya.
Maarif Award
Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni mengatakan, Maarif Award adalah penghargaan yang diberikan kepada aktivis dan pemimpin lokal yang memelopori perubahan sosial di tingkat masyarakat akar rumput. Penerima anugerah ini juga dinilai gigih memperjuangkan pluralisme, toleransi, moderasi, dan keadilan sosial, serta mampu menjembatani perbedaan agama, etnis, dan sosial yang ada.
Tahun ini Maarif Award diberikan kepada tiga pemimpin lokal yang konsisten dengan perjuangannya dan memiliki pemikiran jauh ke depan, yaitu Cicilia Yulia Handayani (Blitar, Jawa Timur), Tuan Guru Haji Hasanain Djuaini (Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat), dan Ahmad Tafsir (Semarang, Jawa Tengah).
Cicilia adalah inisiator kelompok pendidikan multikultur bagi anak pedesaan di Blitar bagian selatan yang menjadi korban stigmatisasi Partai Komunis Indonesia. Hasanain merupakan penggerak masyarakat pesantren untuk mengonservasi hutan dan air di Lombok Barat. Sementara Ahmad Tafsir adalah penggiat perdamaian komunitas dan pemerjuang ide-ide progresif dalam organisasi Muhammadiyah di Semarang.
Para penerima anugerah dinilai mampu merekatkan kembali semangat pluralisme sebagai bagian integral bangsa. (MZW)
Sumber: Kompas, Rabu, 4 Juni 2008
No comments:
Post a Comment