-- Daniel Dhakidae*
BERAGAM reaksi dunia terhadap plagiarisme. Pertanyaannya, apakah dengan keterbukaan ruang tersebut tidak ada masalah etis dan moral dalam arti khusus dalam dunia akademia dan kecendekiaan secara umum? Masalah etika harus diangkat dan dijaga, dan malah penjagaannya harus ditingkatkan bukan demi puritanisme akademis atau intelektual, akan tetapi demi kebutuhan yang sangat praktis, yaitu demi perkembangan masyarakat itu sendiri, kualitas perkembangan sosial. Tanpa itu “cendekiawan kelas kambing” akan mengusai medan dan para ahli sesungguhnya yang bekerja keras malah dipinggirkan.
Ketika menulis Commentarii de Bello Gallico, Laporan Perang Galia (gabungan wilayah Perancis, Belgia, dan Swiss sekarang), Caesar sebagai imperator dan sekaligus orator menyelesaikan tujuh jilid buku, sedangkan jilid kedelapan ditulis oleh pengagumnya, Aulus Hirtius, seorang konsul, yaitu seorang hakim agung, kepala angkatan perang, dan imam agung dalam sistem republik Romawi kuno. Namun, tidak seorang pun menuntut Caesar sebagai plagiator.
Alasannya sederhana, pertama, jilid ke delapan ditulis setelah Caesar dibunuh; kedua, dalam tujuh jilid pertama pun begitu banyak tambahan, sisipan, yang ditulis orang lain terhadap commentarii, laporan, yang sejatinya disampaikan kepada Senat di Roma. Banyak sisipan dalam bentuk etnografi fantastik tentang suku-suku di Jerman dan tanah Galia. (HJ Edwards, ed, 1917, Caesar, The Gallic War, Harvard Uni Press)
Mengapa plagiarisme menjadi soal?
Contoh de Bello Gallico hanya untuk mengatakan bahwa tidak ada konsep plagiat seperti dalam paham modern ketika buku-buku, dokumen tua disalin dengan penna, bulu burung, bulu ayam yang dicelup dalam tinta. Karena itu, dalam setiap penerbitan buku Caesar, de Bello Gallico, delapan jilid itulah yang selalu dihitung sebagai karya agung Caesar, yang melukiskan kegeniusan sang jenderal yang dua ribu lima puluh lebih tahun lalu mungkin tidak menemukan, akan tetapi memanfaatkan sepenuh-penuhnya speed, kecepatan atau celeritas, menggelar pasukan penyerbu, power, dalam bentuk kekuatan dan keterampilan pasukan dan keunggulan teknik, dan leadership untuk mengangkat moral pasukannya. Kadang-kadang dia harus membesarkan hati pasukannya, dengan sedikit menipu, ketika harus menghadapi musuh yang jauh lebih kuat dan terlatih seperti orang-orang Belgia yang gagah perkasa karena dia yakin bahwa setiap pasukan mampu menang karena memberi kesan mampu, possunt quia posse videntur, dengan kata lain ”gertak namun bukan gertak sambal”.
Dugaan saya plagiat, plagiarisme, plagiator dalam pengertian modern sebagai ”pencurian atau penjiplakan buah pikiran yang tertuang dalam bentuk tulisan” baru muncul ketika percetakan ditemukan, dan industri massal perbukuan mulai berkembang yang memungkinkan lahir sampai memuncaknya print capitalism, kapitalisme cetak modern, dalam industri suratkabar, dan bersamaan dengan itu hak cipta menjadi taruhan.
Semuanya sama sekali tidak terbayangkan penutur Latin klasik karena plagium/plagiarius/plagiator hanya berarti perampok, pencuri budak dalam suatu sistem sosial dan mode of production yang mengandalkan tenaga kerja ratusan ribu budak untuk mendukung kebudayaan adiluhung Romawi. Baru dalam bahasa Latin mutakhir, latinitas postera, paham seperti mencuri karangan mulai diterima sebagai kosakata Latin.
Siapa mencuri apa dari siapa?
Dalam pergaulan intelektual modern gejala sosial yang dengan mudah dikatakan sebagai ”pencurian” ternyata begitu kompleks untuk dengan serta-merta diketahui duduk soalnya. Hal yang kelihatannya begitu jelas akan menjadi begitu kelam bilamana ada usaha untuk membongkarnya; yang kelihatannya begitu pasti berubah menjadi begitu penuh tanda tanya bilamana akan ditindak, secara etis, moral, dan, terutama dan apalagi, secara hukum.
Kompleksitas plagiarisme terletak dalam kenyataan bahwa gejala sosial ini melibatkan begitu banyak pihak, dan begitu berjenis-jenis tahap teknis. Plagiarisme bisa dilihat secara mikro dalam pengertian technicalities tentang metodik dan etik kutip-mengutip dalam suatu karya akademik terutama dalam hal daftar acuan, referensi berbagai penemuan, penulisan, dalam karya-karya akademis. Untuk memberikan batasan plagiarismus sebagai tindakan pencurian/penjiplakan/perampokan saya mengutip saja definisi yang diuraikan dengan sangat bagus seperti yang diberikan oleh Brian Martin dari American Historical Association sebagai berikut: ”Plagiarisme paling jelas terjadi ketika seorang menyalin ungkapan atau deretan kalimat-kalimat dari suatu karya yang sudah diterbitkan tanpa memakai tanda kutip, tanpa memberikan penghargaan kepada sumber, atau kedua-duanya”.
Ini paham lumrah yang diketahui setiap insan cendekiawan, akademisi, penulis, wartawan, dan lain-lain lagi. Namun, plagiarisme dalam bentuk makro selalu luput dari perhatian sementara inilah yang berlangsung terang-terangan, yaitu apa yang disebut plagiarisme institusional. Yang dimaksudkan di sini adalah plagiarisme yang melekat secara kelembagaan dan dikerjakan sedemikian rupa sehingga tidak disebut sebagai plagiarisme dan dalam konteks ekonomi-politik yang luas, sebegitu luasnya, dan sebegitu besarnya, dan sebegitu jelasnya sehingga plagiarisme tersebut malah menjadi sesuatu yang terhormat.
Paradoks atau lebih tepat kontradiksi ini hampir-hampir mustahil dipecahkan karena di sana terjadi sesuatu yang lebih kompleks lagi karena soalnya bukan lagi ”rampok-merampok” dalam tulis-menulis, akan tetapi menjelma menjadi”power relations” yang asimetrik, yaitu hubungan atas-bawah, staf dan big boss di mana tulis-menulis hanya suatu bentuk ekspresi. Brian Martin memberikan pemahaman yang bagus sebagai berikut: Plagiarime institusional adalah bentuk sistem hierarki formal di mana karya intelektual lebih menjadi konsekuensi dan bukan sebab dari hubungan tidak seimbang dalam kekuasaan dan posisi (Mitroff and Bennis, 1988). Untuk berterus terang sang bawahan ”wajib” menulis untuk bos.
Hubungan kekuasaan ini berlangsung dalam bentuk ghost writing yang oleh Brian Martin disebut sebagai ”plagiarism of authorship”. Dalam hubungan itu ada penulis kolom yang begitu sibuknya sehingga tidak pernah menulis dan setiap tulisan yang diterbitkan adalah tulisan orang lain yang dibubuh ”stamping”, nama sang kolumnis.
Yang secara terbuka sangat kerap diumumkan sebagai speech writer, sesuatu yang juga sangat dikenal di Indonesia, adalah salah satu bentuknya. Ketika John Fitzgerald Kennedy berpidato maka kalangan elite kecil sangat tahu bahwa itu buah pena Ted Sorensen. Ketika Soeharto berpidato politik kita tahu bahwa itu bukan miliknya, akan tetapi milik penulis hantu yang tidak pernah kita kenal.
Semua yang disebut dalam jenis terakhir tidak pernah dipersoalkan orang, dan malah para penulis hantu mendapatkan kedudukan sosial tinggi dan menikmati keuntungan finansial yang tidak kecil. Yang dicerca sampai lumat adalah dalam kategori teknis, yang tidak mengutip dengan pantas dengan puncaknya apa yang disebut ”plagiarism of authorship” brutal, yaitu pencurian terang-terangan dan tinggal menempel nama pada suatu karya.
Yang berlaku di sini persis seperti apa yang diceritakan oleh St Augustine dalam de Civitate Dei tentang Alexander Agung yang menangkap seorang pelaut dan mendakwanya sebagai pengacau. Ketika ditanyakan apa yang ada di dalam pikirannya dengan mengacaukan semuanya ini dijawab pelaut tersebut sebagai berikut: ”Seperti apa yang dilakukan Sri Paduka Yang Mulia ketika Sri Paduka mengacaukan seluruh dunia (orbem terrarum). Hanya karena saya melakukannya dengan armada cilik tak berarti, saya dibilang perompak (latro vocor); karena Sri PadukaYang Mulia melakukannya dengan armada raksasa disebut imperator.”
Jadi yang mau dikatakan di sini adalah bahwa mencuri yang kecil seperti yang teknis, diributkan di kampus-kampus akademia, di surat kabar, sedangkan plagiarisme institusional sebagaimana dikatakan di atas menjadi wilayah kerja para pakar yang tidak pernah digugat. Dengan pengecualian yang hanya sedikit hampir bisa diduga setiap pidato presiden, menteri, presiden direktur adalah plagiat dalam kategori plagiarism of authorship, mendaku jadi pengarang dari tulisan orang lain dengan memanfaatkan posisi birokratik dalam setiap bidang.
Dengan perkembangan teknologi seperti internet, e-mail dan lain-lain kita memasuki suatu zaman yang sama sekali baru, dan dengan itu juga tingkat perkembangan plagiarisme seolah-olah melakukan suatu quantum leap memasuki suatu zaman baru. Internet mampu menciptakan suatu virtual community of international plagiarists, gerombolan internasional pencuri buah pikiran.
Bagaimana menilai plagiarisme
Plagiarisme boleh dibilang gejala universal. MM Baktin, seorang tokoh post-modernis, mengatakan tidak mungkin masyarakat manusia terhindar dari plagiarisme karena ”tutur kata kita penuh dengan bahkan dibanjiri oleh kata-kata orang lain” (dalam Russ Hunt, In Praise of Plagiarism). Kalau kita baca koran, yang kita temukan adalah berita-berita, komentar berita, analisis berita yang tidak luput dari proses bajak-membajak, curi-mencuri, dan hampir boleh dikatakan yang berlangsung adalah an orgy of plagiarism. Namun, institutional plagiarism semacam ini berlangsung sedemikian rupa sehingga para wartawan, komentator, analis malah disebut sebagai kaum ”media pundits”, pujangga dalam istilah Amerika, para pakar dalam istilah kita.
Semuanya membawa akibat relativisme moral yang membingungkan. Apakah relativisme moral ini bisa ditarik tanpa batas? Sejarah membuktikan, sekali lagi, kompleksnya masalah itu sebagaimana diungkapkan kasus berikut ini. Senator Joe Biden harus mundur dari pencalonan presiden Amerika Serikat beberapa tahun lalu ketika diungkapkan media cetak dan elektronik bahwa salah satu pidatonya adalah plagiat dari seorang tokoh dan politikus Inggris. Bob Dylan melakukan aksi plagiat ketika mengumumkan lagu dalam album Love and Theft (Cinta dan Pencurian) yang praktis mencuri ide dan rumusan yang ditulis seorang penulis Jepang, Dr Junichi Saga, ”Confessions of a Yakuza”, ”Pengakuan Yakuza”, organisasi hitam di Jepang. Namun, ketika dikonfrontasikan kepada penulisnya, Dr Saga memberi jawaban kepada Associated Press bahwa dia tidak marah, malah ”gembira melayang di awang-awang” karena mampu memberikan inspirasi kepada penggubah lagu kelas dunia, apalagi karena peristiwa itu penjualan bukunya meningkat tinggi, dan buku tersebut meloncat ke tingkat utama dalam daftar best seller (NYT, July 12, 2003).
Andrew Dib Serfan membongkar bahwa kata-kata yang selalu diasosiasikan dengan John Fitzgerald Kennedy adalah sesungguhnya milik Kahlil Gibran, cendekiawan dan sastrawan Lebanon, yang sudah menulis dalam esainya dalam bahasa Arab, 50 tahun sebelum Kennedy mengucapkannya yang mengimbau masyarakat Arab untuk masuk ke dalam new frontier, medan baru, kalau ingin berkiprah di pentas dunia. Karena informasi ini menarik, saya terjemahkan apa yang ada di dalam esai Gibran sebagai berikut: ”Datang dan katakan padaku siapa dan apakah engkau. Apakah engkau politikus yang bertanya ’what your country can do for you’ atau seorang aktivis fanatik yang bertanya ’what you can do for your country’. Kalau engkau masuk ke kelompok pertama engkaulah sang parasit itu. Kalau tergolong pada kelompok kedua engkaulah oase di padang gurun,” (Sherfan, ed, 1965, A Third Treasury of Kahlil Gibran, hal 53).
Kita lihat, sekurang-kurangnya, ada tiga jenis reaksi terhadap kasus plagiarisme di atas. Pertama, kepatuhan etik yang menyebabkan Joe Biden mundur dengan pengakuan bersalah. Kedua, pragmatisme etik situasional, dalam bentuk kebanggaan korban ketika ”tindak kriminal” dianggap beata culpa, kesalahan yang membahagiakan, bagi Junichi Saga. Ketiga, sublimasi karena salah-tindak etis menjadi suatu civic virtue ketika Kennedy mendapatkan kehormatan dengan mengangkat suatu civic responsibility demi kemajuan suatu bangsa dan umat manusia.
Ternyata begitu beragam reaksi dunia terhadap plagiarisme. Pertanyaannya apakah dengan keterbukaan ruang tersebut tidak ada masalah etis dan moral dalam arti khusus dalam dunia akademia dan kecendekiaan secara umum? Saya pikir justru sebaliknya, yaitu masalah etika harus diangkat dan dijaga, dan malah penjagaannya harus ditingkatkan bukan demi puritanisme akademis atau intelektual, akan tetapi demi kebutuhan yang sangat praktis, yaitu demi perkembangan masyarakat itu sendiri, kualitas perkembangan sosial. Tanpa itu ”cendekiawan kelas kambing” akan mengusai medan dan para ahli sesungguhnya yang bekerja keras malah dipinggirkan.
Di mana letak etika itu? Wright Mills, sosiolog Amerika, mewariskan sesuatu yang disebutnya sebagai the ethics of responsibility, etika pertanggungjawaban, dalam pembelaannya terhadap kaum New Left tahun 1960-an. Etik itu harus ditingkatkan dan dipertajam untuk mengontrol perkembangan demokrasi. Dengan begitu, kita tahu bahwa kegagalan bukan karena pekerjaan syaitan, dan keberhasilan bukan karena mukjizat, akan tetapi karena karya manusia yang dirancang dan dikerjakan dalam keringat dan darah.
Dengan pikiran seperti ini bolehlah dikatakan bahwa suatu ethics of responsibility harus diperkuat di bidang ini ketika setiap insan cendekiawan mampu mempertahankan suatu originalitas terbatas, kejujuran akademis semaksimal mungkin, dalam menghasilkan karya yang didorong oleh kepentingan kontribusi intelektual bagi perkembangan ekonomi-politik suatu bangsa.
* Daniel Dhakidae, Peneliti Senior, Penulis Buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
* Tulisan ini disampaikan pada diskusi bertema ”Plagiarisme dan Intelektualitas” tanggal 24 Maret 2008 di Jakarta, yang diselenggarakan oleh rubrik buku ”Pustakaloka” Kompas, bekerja sama dengan komunitas Diskusibulanpurnama dan Mejabudaya.
Sumber: Kompas, Jumat, 6 Juni 2008
No comments:
Post a Comment