Jakarta Kompas - Keragaman deposit budaya masyarakat adalah ladang ekonomi kreatif yang akan ikut menentukan masa depan Indonesia. Pluralisme dalam bidang kebudayaan kini ibarat lahan tambang baru yang akan menjadi sumber kesejahteraan bagi bangsa ini.
Optimisme itu muncul dalam ”Workshop Perlindungan Warisan Budaya Antarbangsa Indonesia-Malaysia-Singapura 2008” di Solo, Sabtu (31/5).
Di tengah keterpurukan yang menimpa negeri ini sejak 10 tahun terakhir, bidang kebudayaan diyakini bisa tampil ke depan sebagai mata budaya dalam wujud industri kreatif. ”Akan tetapi, optimisme itu baru bisa terwujud bila tiap mata budaya yang berpotensi di negeri ini dapat diolah secara profesional sehingga pada gilirannya bisa mengangkat kesejahteraan warga bangsa,” kata Mukhlis PaEni, Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial.
”Gelombang keempat”
Menurut Mukhlis, saat ini dunia sudah melampaui tiga gelombang peradaban sebagaimana dikemukakan Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave.
Peradaban yang ditulangpunggungi bidang pertanian jelas sudah terjadi. Begitu pun peradaban yang berbasis revolusi industri. Adapun gelombang peradaban yang ditopang revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi kenyataan. Kini, fenomena global menampakkan kecenderungan baru, yakni ekonomi kreatif. Kecenderungan yang budaya menjadi komoditas utamanya.
Dalam konteks ini, kata Mukhlis, Indonesia yang amat kaya dengan deposit budaya menjadi sangat penting. ”Masalahnya, apakah kita sudah siap mengolah deposit budaya kita yang kaya itu?” ujarnya.
Sejumlah peserta workshop yang diselenggarakan Kantor Sekretariat Wakil Presiden bersama sejumlah pihak ini justru meragukan kesiapan itu.
”Kesadaran semacam itu belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat kita,” kata Pudentia MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, yang juga tampil sebagai pembicara pada sesi lain.
Kasus naskah ”I Lagaligo”, karya epos mitologi Bugis yang telah dipopulerkan Robert Wilson, adalah contoh aktual. Spiritnya memang masih dimiliki orang Bugis, tetapi nilai ekonomisnya sudah jadi milik sutradara Amerika Serikat itu. (ASA/KEN)
Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2008
No comments:
Post a Comment