Sunday, June 01, 2008

Bingkai: Kebangkitan Bangsa dan Sastra?

-- Asarpin*

ADA dua momen penting di tahun 1908: Budi Utomo lahir di Batavia dan pemerintah kolonial Belanda mendirikan percetakan atau penerbit yang kemudian dikenal dengan nama Kantor Bacaan Rakyat atau kelak lebih dikenal sebagai Balai Pustaka. Dua momen yang telah berusia seratus tahun ketidaksunyian ini, menarik dilihat kembali.

Terlepas apakah benar Budi Utomo dulu menyerukan kebangkitan bangsa, bukannya justru etno-Jawa, tetapi ada yang paralel antara apa yang dinamakan kebangsaan dengan kesusastraan atau sastra dan politik. Seratus tahun usia kesusastraan Indonesia, walau sebelum 1908 telah lahir puluhan novel yang ditulis peranakan Tionghoa di Indonesia serta telah lahir puisi modern di tangan Raja Ali Haji di Riau yang dikenal dengan Gurindam Dua Belas, serta perjalanan politik di negeri kita, bukanlah seratus tahun kesunyian, melainkan kemeriahan, kegaduhan, bahkan penuh percaturan yang terkadang meletihkan.

Berdirinya Pujangga Baru pada tahun 1933 sempat mencetuskan buku Kebangkitan Puisi Baru dengan merapatkan sastra dengan nasionalisme. Namun, Pujangga Baru yang kemudian mengawali pemisahan antara kategori nasionalisme-politik dan nasionalisme-budaya. Tak ada sastra yang betul-betul murni sastra, demikian pula politik, karena di dalamnya sering muncul politik kebudayaan.

Tak ada pemisah absolut antara sastra dan politik di tangan Pujangga Baru. Bahkan para eksponen Pujangga Baru mendefinisikan sastra sebagai wilayah yang netral dari politik atau "politik bukanlah sastra dan sastra bukanlah politik", nyatanya gema nasionalisme dan persatuan justru menguat pada sastrawan Pujangga Baru.

Seorang kritikus sastra terkemuka dengan tegas menyimpulkan bahwa Takdir Alisjahbana menganut diskontinuitas sejarah. "Baiklah kita mencatat beberapa simpul dari suara Takdir Alisjahbana, tentang penandasan akan diskontinuitas sejarah antara Indonesia dan pra-Indonesia", kata sang kritikus yang tak perlu saya sebutkan namanya itu. Benar bahwa di mata Takdir, timur seolah baku, utuh-padu. Tapi Takdir menganut diskontinuitas sejarah?

Takdir seorang pujangga penganut filsafat-sejarah, karena itu jawaban Takdir atas kritik Sanusi Pane sangat tegas: "Saya pun insaf bahwa sejarah itu sesuatu yang terus dan tidak berhenti-henti. Bahwa tiap-tiap masa dalam sejarah itu bersambung dengan masa sebelumnya".

Ada suatu proses yang ditempuh dan diterima Takdir, bukan suatu garis patah antara yang lampau dan kini, masa pra-Indonesia dan Indonesia yang absolut, sebagaimana selama ini banyak dipahami. Tuduhan Goenawan Mohamad (GM) bahwa Takdir secara mutlak memisahkan Barat dan Timur, baiklah kita minta Daniel Dhakidae (2003) menjawabnya: "Pengertian antara barat dan timur tidak absolut dalam pikiran Takdir".

Baru-baru ini GM menyimpulkan secarik puisi Takdir yang melukiskan subjek awanama yang terombang-ambing di dua bahtera, padahal belum tentu Takdir di situ yang bersuara, tapi subjek awanama yang dilukiskan itu yang mengalami keresahan. Pemaknaan sejarah dan kebudayaan secara proses sempat menjadi pendirian Takdir, tapi telanjur disimpulkan bahwa Takdir anti-Timur, Takdir menganut diskontinuitas sejarah.

Pandangan Takdir tentang Barat juga adalah tafsir yang melebihi pandangan Takdir sendiri. Barat dipeluk Takdir karena kenyataannya, sebelum abad ke-20, Arab dan Hindu sudah kuat pengaruhnya di Hindia: "Pengaruh kebudayaan Barat akan sama dengan pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab, bahkan pengaruh itu akan lebih besar adanya kini dan nanti". Siapa yang mengingkari ketepatan pendapat Takdir ini sekarang? Bukankan pengaruh Barat merambah di segala bidang? Walau ratusan dai berbusa menyeru-nyeru awas Barat, anti-Barat, toh kini pendapat Takdir yang terbukti akan pengaruh Barat yang kuat.

Saya memahami Timur dalam pandangan Takdir sebagai kritik dan Barat sebagai harapan. Dari pada Barat ditolak, tapi nyatanya tak ada alasan untuk menolaknya, atau daripada dipeluk teguh diam-diam oleh para sastrawan seperti di hari-hari ini, lebih baik terang-terangan masuk ke jantung Barat, ambil Barat! Munafik yang namanya menolak tapi nyatanya menerima. Kemunafikan inilah yang digugat habis oleh Takdir dan kemudian Pram, tapi tak terbendung karena yang lain lebih senang dengan budaya hipokrisi; Emoh, Barat tapi darah-dagingnya sendiri Barat!

Kontinuitas sejarah sastra terus berjalan hingga munculnya generasi sastrawan tahun 1945, yang tak ketinggalan mendendangkan madah nasionalisme-kebudayaan dan nasionalisme-politik. Demikian pula Lekra di tahun 1950-an dan Manifes Kebudayaan tahun 1960-an. Hampir tak ada kritik telak, kecuali Lekra. Ketika kudeta 1965 pecah dan aktivis Lekra dibunuh serta dipenjara, pemisah sastra dan politik kian tajam, tapi semua (karena nyatanya yang menolak politik sebagai panglima sendiri masih menulis puisi bertenden politik).

Keith Foulcher (1991) sendiri memberi judul bukunya Kesusastraan dan Nasionalisme. Ini artinya imajinasi tentang pemisahan kesusastraan dan nasionalisme atau sastra dan politik begitu kuat. Begitu lama pemisahan itu terjadi, hingga di tahun 1970-an muncul karya-karya yang minus politik, yang akhirnya tampil Arief Budiman dan Ariel Heryanto menggugat pemisahan sastra dan politik yang kelak dikenal sebagai perdebatan sastra kontekstual.

Masih banyak sastrawan yang keberatan menyatukan sastra dan politik, kendati keberatan itu tak sekuat dulu. Di lapangan kajian politik sendiri, muncul perbedaan dalam menafsirkan nasionalisme pascakolonial. Mochtar Pabotinggi percaya bahwa nasionalisme itu adalah political community, yang dibantah oleh beberapa cendekiawan Andersonian.

Tarik-tolak antara sastra dan politik sama-sama menemukan pembenaran: Lekra serta para pencetus sastra kontekstual seringkali mendramatisasi nilai politik ke arah pemaknaan politik praktis dalam bentuk partai politik, bukan nilai politik sebagai yang berlaku dalam ilmu politik. Demikian pula Manifes Kebudayaan dan mereka yang keberatan sastra berbaur dengan politik, kerap kali menampilkan pemaknaan politik yang sama dengan partai politik, sama dengan slogan, sama dengan yang berbau kampanye di jalanan.

Hal-hal semacam ini kerap kali dieksplorasi oleh sastrawan dan kritikus sastra di Utan Kayu, seakan-akan begitulah nilai hakiki politik; selalu "seribu slogan", "teriakan di jalan", "agitasi", "massa" (kata-kata Goenawan Mohamad dan Nirwan Dewanto). Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto yang muncul 1970-an dianggap puncak dari pengabaian sastrawan terhadap politik itu, ternyata tidaklah sepenuhnya berada dalam menara gading. Belum ada puisi menara gading di Indonesia!

Di lapangan kebudayaan, ada benarnya juga pertanyaan seorang kritikus ini: "Wewenang apa yang kita gunakan untuk mendesain kebudayaan?" Sebab, dalam dirinya wewenang itu tak mutlak-mutlakan. Tapi saya ragu pula, jika sejarah perjuangan antara 1885-1915 dianggap sebagai "fajar nasionalisme Indonesia" apa pun metafora fajar itu. Sama seperti ketika kita membaca pergerakan Budi Utomo, ada yang mengklaimnya sebagai "kebangkitan nasional" padahal tak lebih dari kebangkitan etno-Jawa.

Jangan-jangan memang tak pernah ada hamba-hamba kebudayaan di Indonesia. Apa yang disebut bangsa dalam sejarah pergerakan yang dimulai Budi Utomo seratus tahun lalu itu sinonim dengan sastra, sesuatu yang mengandung ketidakjelasan juga dalam dirinya. Sebab itu, sejarah menjadi satu dalam tiga, tiga dalam satu: tritunggal dalam hal waktu, waktu geometris sekaligus waktu psikologis. ***

* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2008

No comments: