-- Atep Kurnia*
DALAM cerita-cerita Ambri, gambaran siluman masih sebatas yang tampak dari realitas kehidupan orang-orang lembur. Dan pada cerita-cerita siluman Ki Umbara, walau sudah dikaitkan dengan agama Islam, gambaran siluman masih terasa samar, karena masih terkesan bertarik ulur dengan kepercayaan tradisional.
Siluman ternyata bukan saja milik orang Timur, seperti yang dituduhkan orang Barat. Dalam kesusastraan Inggris, misalnya, Shakespeare menyodorkan tokoh siluman gentayangan ayah Hamlet untuk memberi tahu siapa yang telah membunuhnya. Atau dalam kesusastraan Jerman, Goethe memberi jawaban mengapa Faust bisa menguasai berbagai ilmu yang sangat dahsyat, karena Faust telah menggadaikan jiwanya kepada sang Memphistopeles.
Memang. Cerita seputar siluman juga sama-sama telah mentradisi dalam kehidupan budaya orang Barat. Apalagi di akhir abad ke-18 cerita-cerita siluman itu mewujud suatu genre sastra, yaitu gotik. Istilah gotik mulanya menggambarkan bangunan-bangunan di Eropa pada abad ke-18. Cerita-cerita gotik yang penuh horor itu pun umumnya berlatarkan bangunan-bangunan gotik yang serbabesar, kokoh, tetapi penuh dengan kesunyian dan kengerian. Drakula, siluman yang suka mengisap darah manusia karya Bram Stoker, misalnya tinggal di suatu kastil yang sangat besar dan kokoh namun juga penuh kengerian.
Akan tetapi, bagaimana dengan cerita siluman dalam khazanah budaya orang Sunda? Umumnya orang Sunda, dari dahulu hingga sekarang, memercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami alam gaib. Dengan demikian, tidak aneh bila dari dahulu orang Sunda sangat mengenal cerita-cerita siluman.
Dari dulu misalnya kita diingatkan kepada cerita Sangkuriang yang ngotot mau menikahi ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Untuk memenuhi permintaan Dayang Sumbi membendung Sungai Citarum dan membuat perahu untuk melayarinya, Sangkuriang dibantu sepasukan siluman taklukannya. Atau dari daerah Priangan Timur kita mengenal cerita "Onom" yang konon menguasai Rawa Lakbok. Demikianlah yang terbaca dari buku susunan R.A. Danadibrata, Onom jeung Rawa Lakbok (1979).
Moh. Ambri
Dalam jagat sastra Sunda modern, Moh. Ambri (1892-1936) adalah sastrawan yang mulai menulis novel siluman. Beberapa karyanya dapat disebutkan di antaranya Burak Siluman (1932), Ngawadalkeun Nyawa (1933), dan Munjung (1933), dan satu lagi dia timba dari kebudayaan India, Pusaka Ratu Teluh (1932).
Melalui Munjung dan Burak Siluman, misalnya, dengan jelas Ambri menggambarkan kepercayaan orang Sunda terhadap adanya makhluk-makhluk gaib. Munjung menceritakan kepercayaan orang Sunda akan cara-cara menjadi kaya dengan memuja siluman.
Jalan-jalan menjadi seperti ini, antara lain memuja siluman monyet (nyupang), siluman ular (ngipri), siluman babi hutan (nyegik), memuja tuyul (kecit), dll. Yang menarik, cerita Munjung dituturkan melalui percakapan orang-orang kampung yang sedang meronda di gardu.
Penggambaran realistis ini, diulanginya dalam Burak Siluman. Kisahnya dituturkan orang yang bertamu kepada kawannya untuk meminta benih jagung. Dalam percakapan itulah cerita tentang siluman itu dituturkan.
Kisahnya mengenai Nyi Asmanah yang kagembang oleh Arjuna dalam wayang golek. Padahal Arjuna tersebut adalah "burak siluman". Ia pun tergoda lalu tersesat ke alam siluman, hingga mempunyai anak. Ketika ia rindu kepada orang tuanya, ia pun kembali. Namun malang, fajar sudah menjelang. Dengan demikian, ia tak dapat kembali baik ke alam manusia maupun ke alam siluman.
Tentang asal-usul mengapa Ambri mengarang cerita siluman, saya membaca "Surat-surat Moh. Ambri" yang dimuat dalam Pancakaki: Kumpulan Esey (1996). Dari delapan surat Ambri yang diumumkan Ajip Rosidi itu terbaca bahwa Moh. Ambri menganut ilmu kebatinan yang disebut "Ajian Kasumedangan".
Ambri mulai belajar kebatinan karena Nyi Oneng Karnasih, istrinya, sakit keras dan tidak sembuh ketika berobat ke dokter. Atas saran seorang kumitir di Sumedang, ia membawa istrinya berobat ke seorang dukun dan ternyata sembuh. Kejadian tersebut berpengaruh besar kepada Ambri.
Mulai saat itulah ia belajar kebatinan dan hal-hal lain yang bersifat gaib. Ia mulai belajar tirakat, bertapa, berziarah ke tempat-tempat keramat. Oleh karena itu, kepercayaannya akan hal-hal yang mistis dan gaib inilah yang berpengaruh terhadap karya-karyanya yang bertemakan siluman.
Ki Umbara
Selain Ambri, sastrawan Ki Umbara (1914-2005) pun termasuk pengarang yang menulis cerpen siluman. Pengarang yang lahir di Desa Bendungan, Kuningan itu, konon sedari kecil sudah menyukai hal-hal yang berbau gaib. Misalnya, ia sering tidur di kuburan, padahal menurut anggapan orang di kampungnya tempat itu merupakan sarang bangsa siluman. Selain itu, ia pun suka bertanya kepada ajengan, ahli jin, atau dukun beranak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila di dalam karya-karyanya suka dijumpai jampi-jampi atau jangjawokan yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
Ki Umbara mulai mengarang cerpen siluman pada tahun 1963. Yaitu cerpen berjudul "Kasilib" yang dimuat dalam majalah Mangle. Kemudian karyanya tersebut dianugerahi Hadiah Sastra Mangle tahun 1964. Dari sana cerita silumannya kemudian banyak bermunculan. Cerita-cerita silumannya telah dibukukan dalam beberapa antologi. Di antaranya: Diwadalkeun Nyawa (1965), Teu Tulus Paeh Nundutan (1966), Jurig Gedong Setan (2003), dan satu lagi Harewos nu Gaib (2005).
Menurut Ajip Rosidi dalam Eundeuk-eundeukan (1998), Ki Umbara pernah menerangkan bahwa niat mengarang cerita siluman antara lain untuk menghilangkan ketakhayulan di kalangan orang Sunda. Selain itu, ingin menanamkan keyakinan bahwa menjalankan syariat agama seperti salat, puasa, dan lain-lain merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan orang Islam.
Oleh karena itu, karya-karya Ki Umbara sangat kaya dengan nilai-nilai keislaman serta mengandung amanat dakwah islamiah. Maksudnya, tentu saja mengingatkan para pembacanya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Lebih mulia daripada makhluk lainnya, baik jin maupun malaikat. Oleh karena itu, manusia jangan sampai terpengaruh siluman.
Bagaimana gambaran siluman pada cerpen-cerpen Ki Umbara? Dalam antologi Jurig Gedong Setan, misalnya, kita dapat membaca cerpen-cerpen yang mencerminkan kepercayaan orang Sunda bahwa orang yang telah meninggal dengan tidak sempurna sebab mati penasaran atau meninggalnya tidak umum, bila belum disempurnakan suka menjadi ririwa yang bergentayangan, menakut-nakuti, dan menuntaskan rasa penasarannya. Cerpen yang dimaksud antara lain, "Jurig Gedong Sétan", "Ngabedegel", "Kunti," dan "Jurigna Datang".
Bila demikian, bagaimana posisi agama Islam dalam cerpen-cerpen Ki Umbara? Tampaknya nilai-nilai keislaman dijadikan benteng untuk menolak setan, seperti yang dapat kita baca dari "Digusuran Jurig".
Anasir Islam lainnya seperti doa dipakai sebagai jampi untuk mengusir siluman gentayangan, atau yang merasuki manusa. Dan tokoh-tokoh Islam seperti ajengan, kiai, dan merebot diminta untuk mengusir bangsa lelembut yang mengganggu, seperti dalam cerita "Ngabedegel" dan "Kunti".
Rais Purwacarita
Salah seorang pengarang yang meneruskan tradisi cerita siluman dalam sastra Sunda, di antaranya bisa disebut Rais Purwacarita. Setidaknya ini dapat dibuktikan dengan terbitnya buku Dedemit Kiarapait (2004). Buku ini, seakan-akan mengokohkan kembali tradisi cerita siluman Sunda yang telah dirintis para pendahulunya.
Hal pertama yang patut kita cermati dari antologi ini adalah, bergesernya identifikasi siluman. Dalam cerita-cerita Ambri, gambaran siluman masih sebatas yang tampak dari realitas kehidupan orang-orang lembur. Dan pada cerita-cerita siluman Ki Umbara, walau sudah dikaitkan dengan agama Islam, gambaran siluman masih terasa samar, karena masih terkesan bertarik ulur dengan kepercayaan tradisional. Rais dalam hal ini mengidentifikasi siluman sebagai jin yang suka nyiliwuri, mancala putra mancala putri.
Selain itu, melalui cerita-cerita silumannya, Rais telah membawa pandangan baru dalam memandang eksistensi makhluk gaib. Makhluk-makhluk gaib tidak hanya dipandang dalam kerangka berpikir tradisional orang Sunda, melainkan dibawa ke area yang lebih luas, seperti sains.
Umpamanya cerita "Nyi Rambut Kasih" dan "Kalangkang Riwan". Tokoh "Kuring" dalam "Nyi Rambut Kasih" serta sebuah tim dalam "Kalangkang Riwan" dapat mendeteksi sekaligus menangkap eksistensi makhluk gaib, melalui peralatan komputer yang ultramodern. Ya, seperti yang terjadi dalam film "Ghostbuster" saja layaknya.
* Atep Kurnia, Penulis Lepas tinggal di Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Juni 2008
No comments:
Post a Comment