Friday, June 27, 2008

Kerukunan Agama: Salam dari Amsterdam...

-- CM Rien Kuntari

ADA rasa yang sedikit menyentak ketika mata tertumbuk pada iring-iringan pemuda dengan sepeda onthel di pinggiran jalan di Amsterdam, kota terbesar di Belanda. Ingatan pun kembali ke masa lalu. Tak pelak lagi, pemandangan itu mengingatkan adanya kaitan erat antara Amsterdam dan Indonesia.

Kenyataannya, tak hanya dalam kasus sepeda onthel, tetapi juga upaya menguatkan jalinan persaudaraan antarbangsa. Pertemuan pada awal Juni 2008 menjadi salah satu bukti atas upaya itu. Tepatnya ketika Amsterdam menjadi tuan rumah dialog antaragama atau Interfaith Dialogue IV Asia-Europe Meeting (ASEM).

Forum ini merupakan wujud nyata kepedulian akan pentingnya menjalin kerukunan dan pemahaman tentang banyaknya perbedaan di antara bangsa Asia maupun Eropa. Meledaknya bom di Bali pada 17 Oktober 2002, yang disusul dengan serangan di London, 7 Juli 2005, membuka mata dan hati kedua ”bangsa” dari dua benua tersebut akan pentingnya dialog yang bermuara pada mendekatkan segala perbedaan.

Sejak itu, kedua ”bangsa” secara rutin bertemu, diawali pertemuan di Bali (2005), lalu Larnaca (Siprus, 2006), kemudian Nanjing (China, 2007), dan Amsterdam (Belanda, 2008). Tentu dengan satu tujuan, membantu meningkatkan perdamaian global.

Dengan semangat itu, tak heran jika pertemuan di Nanjing, China, lebih mengutamakan upaya memperdalam pemahaman tentang dialog antaragama untuk mencapai perdamaian, pembangunan, dan keselarasan (harmoni). Satu kemajuan yang patut dicatat dalam pertemuan ini adalah kesediaan kedua pihak untuk menerima dan mengakui adanya peran positif dari dialog antaragama.

Mereka yakin, melalui upaya itu, kedua bangsa pun akan mampu meningkatkan perlindungan dan penghormatan pada hak asasi manusia. Lebih dari itu, langkah ini pun dipercaya bisa menjadi jalan untuk lebih menghormati martabat manusia, kesetaraan, kewajaran, keadilan, kebebasan beragama dan kepercayaan, serta inklusi dan integrasi sosial. Upaya itu diharapkan mampu membawa seluruh bangsa pada persaudaraan sejati.

Hormati keberagaman

Aliran Sungai Amstel, yang menembus sebuah dam dan akhirnya menjadi nama kota Amsterdam, memperkuat keyakinan tersebut. ”Tidak akan pernah ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa adanya perdamaian di antara agama. Dan, tidak akan pernah ada perdamaian di antara agama tanpa adanya dialog di antara agama-agama itu, dan tidak akan pernah terjadi dialog yang serius di antara agama-agama itu tanpa adanya standar norma dan etika yang berlaku umum,” kata Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen mengutip teolog Hans Kung.

”Karena itu, tantangan utama di depan kita tidak hanya masalah mengadakan dialog itu sendiri. Tantangan kita ke depan adalah bagaimana mewujudkan dialog, kata-kata, dan gagasan kita ke dalam tindakan nyata. Bagaimana melaksanakan dialog antaragama ini, bagaimana menyebarkan dan memanfaatkan dengan baik gagasan, kearifan, dan pengalaman yang kita dapatkan selama ini,” ujar Menlu Thailand Noppadon Pattama.

Dengan dasar pemikiran seperti itu, sangat dimengerti jika pertemuan Amsterdam menggarisbawahi dengan tinta tebal pentingnya pemahaman, toleransi, dan penghormatan pada keberagaman agama dan budaya. Ditekankan, pemahaman dan penghormatan pada keberagaman agama dan budaya itu harus menjadi bagian integral dari kehidupan, stabilitas, kesejahteraan, dan perdamaian.

Mereka pun sepakat memenuhi tanggung jawab dalam mendukung upaya global untuk meningkatkan pemahaman agama dan budaya serta menolak penggunaan kekerasan yang mengatasnamakan agama, keyakinan, atau ideologi. Upaya itu ditempuh sebagai salah satu wujud nyata sikap mereka dalam menentang ekstremisme, mencegah dan menghadapi terorisme, selaras dengan upaya ASEM memerangi terorisme. Disepakati pula untuk menerima segala perbedaan, keragaman, dan kebhinnekaan yang ada di masyarakat: bukan sebagai ancaman, melainkan peluang.

Walau begitu, tak ada salahnya untuk tetap mempertimbangkan kenyataan yang digambarkan oleh China. ”Hingga saat ini, kita telah melalui serangkaian dialog antaragama dan keyakinan yang memberikan kontribusi penting dalam upaya mencapai perdamaian dan mempererat persaudaraan Asia-Eropa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masih ada ketidakselarasan dalam hubungan antaragama dan keyakinan yang dari waktu ke waktu terus ada. Saya yakin, tujuan utama dialog ini adalah membangun jembatan sehingga tercapai pemahaman, toleransi, dan penghormatan. Namun, jelas jalan masih sangat panjang untuk mencapai tujuan itu,” kata Duta Besar China Wang Xue Xian.

Ya, jalan memang masih sangat panjang untuk sampai pada titik persaudaraan sejati. Namun, setidaknya Amsterdam telah mengirim salam perdamaian. Semoga semua itu menjadi makna nyata, bukan berhenti pada makna kata.

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008

No comments: